Mongabay.co.id

Strategi Mendorong Ide Usaha Lestari Atasi Dampak Pandemi

Seorang penyelam sedang menikmati bangkai kapal (shipwreck) di perairan Tulamben, Bali. Foto : wandernesia.com

 

Sejumlah anggota kelompok nelayan dan pemandu selam dan di Tulamben, Kabupaten Karangasem, Bali, terpekur dengan kondisi pariwisata di sentra wisata bawah laut itu.

“Kami hanya mengandalkan pariwisata, tidak ada yang lain,” urai Nengah Putu, pemandu selam senior di Tulamben, ditemui Agustus lalu. Ia mengatakan ada banyak perubahan yang terjadi hampir dua tahun pandemi ini di pesisir yang biasanya dipadati ratusan penyelam ini.

Perubahan pada diri sendiri seperti tidak ada pemasukan harian dan perubahan menu makan. Berikutnya, perubahan di organisasi pemandu selam karena sudah jarang berkumpul dan gotong royong di pantai. Pembersihan sampah rutin makin jarang sebab tak ada kas untuk biaya konsumsi, dan lainnya karena kerap mengundang warga atau komunitas lain.

Pemandu dan instruktur menyelam Wayan Pasek juga menuturkan setelah 14 tahun jadi pemandu dan instruktur, ia kini jadi nelayan. Untuk itu, ia harus beli alat baru untuk menangkap ikan seperti jaring dan kredit pembelian mesin tempel.

Ia mengatakan aktivitas menyelam hanya 10 kali selama hampir dua tahun ini dan melatih murid kursus selam lima kali, sehingga ia kesulitan memperpanjang biaya sertifikasi instrukturnya. Namun, mencari ikan pun kini sulit. Nelayan kerap membawa tangan hampa saat mendarat.

baca : Pemulihan Terumbu Karang di Tengah Pandemi COVID-19

 

Papan kelompok nelayan Dusun Tulamben, Karangasem, Bali, tentang larangan praktek perikanan merusak. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kelompok nelayan Tirtha Wisata Tulamben di Dusun Tulamben saja berjumlah 34 orang. Sebelum pandemi, anggota kelompok rutin pertemuan atau sangkepan. Mereka juga menyisihkan penghasilan dari ongkos jasa jukung wisata sekitar 10% sebagai kas bersama. Kas inilah yang diputar sebagai simpan pinjam untuk beli peralatan. Namun kas sudah menipis.

Berkunjung ke Tulamben saat pandemi ini memang terasa berbeda. Lampu penerangan jalan padam dan tak banyak dagang-dagang di pinggir jalan. Halnya usaha kecil yang menjamur di tempat lain seperti dagang makanan, baju, dan lainnya sebagai adaptasi alih usaha.

Warga sangat menggantungkan diri pada pariwisata. Togge, anak muda pemandu selam di Tulamben juga mengatakan gagal jualan sate di pinggir jalan karena tak ada pembeli. Ia bersyukur mampu belajar otodidak service alat elektronik seperti handphone dan parabola. Jasa servis inilah yang bisa mengurangi tekanan biaya sehari-harinya.

Sejumlah perempuan di Dusun Tulamben kini sedang bersemangat mengolah sampah kresek aneka warna jadi sejumlah kerajinan seperti tas, tikar, dan alas makan. Kegiatan ini didampingi sejumlah relawan dari Marine Debris Rangers. Kegiatan ini terlihat di bale banjar mulai dari menyeterika kresek yang sudah dibersihkan, membuat pola warna baru dari kresek yang disatukan dengan seterika, lalu dirakit. Mereka berharap kerajinan olah sampah ini memiliki prospek sebagai alternatif penghasilan industri pariwisata bawah laut.

baca juga : Begini Mitigasi Dampak Pandemi ala Desa Tembok Buleleng Bali

 

Alternatif usaha olah sampah plastik kresek di Dusun Tulamben, Karangasem, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Ide Bisnis Lestari

Usaha seperti apa yang cocok dikembangkan di Bali saat ini ketika pariwisata belum bergerak?

Salah satu ajakan untuk membuat ide usaha datang dari program Inkubator Usaha Lestari (Inkuri) yang diluncurkan 29 September 2021 secara virtual oleh Yayasan Pratisara Bumi Lestari.

Acara peluncuran program ini sekaligus menandai dibukanya pendaftaran program bagi 1000 anak muda Bali pada usia 18-35 tahun secara gratis melalui www.usahalestari.id/program-bali. Melalui program ini, anak muda Bali diharapkan dapat menjadi motor penggerak untuk ekonomi Bali yang lebih lestari dan membumi dengan berfokus pada kelestarian alam, kesejahteraan masyarakat lokal, dan identitas budaya.

Inkuri mendapatkan dukungan dari Pemerintah Australia melalui skema dana hibah alumni (Alumni Grant Scheme) yang dikelola oleh Australia Awards di Indonesia. Anthea Griffin dari Konsul-Jenderal Australia untuk Bali, NTB, dan NTT menyatakan kekhawatiran atas dampak pandemi COVID-19 di Bali. Karena itu sejumlah komunitas warga Australia membuka donasi dan mendistribusikan bahan pangan dan perlengkapan kesehatan. “Pemulihan ekonomi akan makan waktu, tapi keuletan memastikan pemulihan ini secepat mungkin,” katanya.

Ia mendorong pemanfaatkan keterampilan digital untuk membantu model pariwisata tradisional. Ide yang ditawarkan harus berkelanjutan dan inklusif.

baca juga : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi : Cara Baru Bertani [Bagian 3]

 

Terumbu karang di Liberty Ship Wreck, perairan Tulamben, Karangasem, bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Saniy Amalia, Ketua Yayasan Pratisara Bumi mengatakan ide ini lahir karena saat ini kita menghadapi berbagai masalah sosial dan lingkungan. Materi konten inkubator usaha juga masih banyak dalam Bahasa Inggris. Karena itu program ini akan membantu ekosistem pendukung yang membuat proyeknya sendiri. Aktivitas usaha harus berdampak pada ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Sekitar 80% penghasilan pariwisata di Bali hilang sehingga pertumbuhan ekonomi turun. Dari catatan Bank Indonesia, kutipnya, lebih dari 114 ribu pekerja diberhentikan karena kehilangan pekerjaan yang mendorong pengangguran lebih dari 6%.

Di sisi lain, Saniy menambahkan, akan ada krisis lain seperti pengembangan pariwisata yang tidak memperhatikan lingkungan. Tiga sektor utama yang akan mendapatkan beasiswa adalah sektor kerajinan tangan, agrofood, dan pariwisata berkelanjutan.

Program ini akan menyasar 5.000 masyarakat Bali dan ditargetkan 1.000 anak muda mengikuti tahapan awal program. “Ide peningkatan ekonomi lebih tangguh dan membumi,” katanya.

Seperti apa ide yang lestari itu?

Ida Bagus Mandhara Brasika, salah satu mentor dan pendiri bank sampah digital Griya Luhu meyakinkan ada banyak topik yang bisa dikembangkan karena Bali sudah ada sejumlah regulasi pendukung. Misalnya energi terbarukan dan pemanfaatan kendaraan listrik. “Sayangnya pandemi dan regulasi belum terimplementasikan,” katanya.

perlu dibaca : Pariwisata Mati, Rumput Laut Hidup Lagi (bagian 1)

 

Seorang nasabah Bank Sampah Taman Asri Ubud, Gianyar, Bali, memerlihatkan buku tabungannya. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Ia mengisahkan, Griya Luhu dimulai 2017 ketika isu sampah meningkat tapi belum banyak solusi. “Mengurus sampah di Bali itu seksi, pulau kecil, dan citranya bagus. Tapi banyak kegiatan fokus di daerah yang bisa dijual, misal lokasi wisata. Saya lihat desa sendiri tidak ada perubahan,” tuturnya.

Ia mencontohkan istilah ekonomi sirkular yang tidak dipahami warga kebanyakan. Awalnya ia mendampingi 2-3 bank sampah kecil, dan tiba-tiba harus tutup karena pandemi dan membengkaknya biaya operasional.

Alih-alih berhenti, Griya Luhu beralih ke digital. Strategi ini bisa mengurangi kerumunan manusia sesuai aturan penanganan pandemi Covid-19 dan aksesnya lebih mudah. Pada pertengahan 2020, keuangan Griya Luhu yang minus berubah pesat setelah fokus pengembangan platform digital untuk bank-bank sampah. Ia kini mengelola operasional 70-an unit bank sampah di Gianyar saja 4.500 nasabah, dan sekitar 20 ton per bulan sampah bisa dikelola.

Anggota tim yang dulu hanya volunter kini bisa direkrut jadi staf. Sebanyak 20 orang yang mendapat dampak penghasilan. “Ciri khas bisnis lestari itu lokal, walaupun ada bencana, bisa resilien,” sebut Brasika. Usaha bank sampah sistem digital juga makin dibutuhkan karena di tengah pandemi ini warga malah menghasilkan banyak sampah. Di antaranya dampak bungkus makanan pesan antar dan penggunaan kemasan sekali pakai.

Momentum saat pandemi ini menurutnya harus dimanfaatkan. Terlebih di pengelolaan sampah dan energi terbarukan karena sudah ada kebijakan dan ada surplus sumberdaya manusia yang menganggur. Sejauh ini, menurutnya tak banyak yang masuk ke pengembangan usaha lestari karena tidak fokus ke nilai ekonomi semata.

baca juga : Upaya Adaptasi Pandemi dengan Pendekatan Ekologi di Desa

 

Ilustrasi. Produk kerajinan dari daur ulang sampai yang ditampilkan pada Festival Teras Mitra di Kuta, Bali. Foto: Luh De Suryani/Mongabay Indonesia

 

Marianus Yoskar Panggo dari Ende, Flores adalah alumni program E-thical (kini Inkuri) 2019 di NTT. Ia salah satu 24 anak muda yang ikut di Ende. Dari kegiatan inkubasi ia mengaku mempelajari isu keberlanjutan, kepemimpinan, business model canvas, dan pitching ide usaha lestari. Saat ini ia sedang validasi pasar dan uji laboratorium produk abon ikan yang dikembangkan dari potensi daerahnya.

Delvy Gusmiranto, Kepala Livit, coworking space di Bali menyatakan akan memfasilitasi kegiatan inkubasi penerima beasiswa program. Ruang kerja bersama sudah jadi tempat inkubasi atau pengembangan usaha. Jika idenya sudah matang, ia mengaku bisa menghubungkan ke calon investor.

Sementara itu Irma Sitompul dari Yayasan Pratisara memaparkan program ini akan dimulai dengan lokakarya. Menggunakan 4 modul sistem ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Dari target 1.000 orang akan disaring 100 orang untuk bisa mendapatkan 20-30 ide yang bisa didampingi. Setelah itu peserta terpilih mendapat pelatihan intensif 2 bulan dan pengembangan ide usaha lestari. Seleksi akhir program ini akan mendapatkan 12 perencanaan bisnis terpilih.

Nengah Latra, pendiri Yayasan Puspadi Bali yang mendampingi penyandang disabilitas termasuk akses kerja meminta program beasiswa ini bisa diakses anak muda dengan disabilitas seperti tuna rungu, netra, dan lainnya. Mulai dari paket informasi yang inkusif dan pendampingannya.

Inkuri mengiyakan karena akan kerjasama dengan dua lembaga yang sudah mendampingi disabilitas untuk akses kerja yakni Difalink dan Dnetwork. Kategori penilaian usaha lestari ini di antaranya dampak lingkungan dan kerangka bisnis etisnya

***

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Seorang penyelam sedang menikmati bangkai kapal (shipwreck) di perairan Tulamben, Bali. Foto : wandernesia.com

 

Exit mobile version