- Koen Setyawan adalah ilustrator satwa liar handal di Indonesia yang juga penulis buku.
- Sudah 16 tahun, dia mendedikasikan hidupnya untuk mengedukasi masyarakat Indonesia melalui ilustrasi dan cerita bertema satwa liar.
- Menurut Koen, ilustrasi dapat lebih unggul dari fotografi, yaitu saat foto tidak mampu menjelaskan sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh foto.
- Masih sedikit ilustrator dengan latar belakang biologi atau sains, sehingga bila ada yang menggambar satwa liar, sering kurang akurat. Apalagi bila menggambar perilaku jenis satwa, kebanyakan pedomannya satwa luar negeri yang terkadang tidak ada di Indonesia.
Koen Setyawan merupakan ilustrator handal satwa liar Indonesia. Sudah 16 tahun, dia berkecimpung di dunia seni ini. Koen, panggilan akrabnya, tidak hanya membuat ilustrasi dan buku anak, tetapi juga menulis novel, yang membuat namanya dikenal hingga mancanegara
Peran keluarga yang besar, misal memberikan masukan, memaksimalkan peran media sosial untuk memperkenalkan karyanya, hingga jenis menggunakan pewarnaan ilustrasi digital, membuat Koen “enjoy” melakukan pekerjaannya. Meski dulunya, ia lebih lihai menggunakan pewarnaan tradisional, seperti cat akrilik, cat air, dan pensil warna.
“Tren sekarang pewarnaan digital. Jadi, saya harus mengikuti perkembangan zaman. Meski begitu, banyak teknik baru yang harus dipelajari untuk memaksimalkan pewarnaan tradisional,” jelasnya, baru-baru ini.
Lelaki 51 tahun yang sangat menyukai karakter binatang ini, sudah mengembangkan karyanya melalui media sosial Instagram: @gooddsign.
Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia dengan Koen Setyawan di Bogor.
Baca: Perjuangan Tanpa Batas Hadi S. Alikodra untuk Dunia Konservasi Indonesia
Mongabay: Bagaimana Anda menyukai ilustrasi?
Koen: Sejak kecil saya senang coret-coret dan menggambar. Sepertinya, kemampuan saya dari bapak saya yang suka melukis dan musik. Sejak kecil juga, saya sudah diperkenalkan dengan dunia satwa.
Sejak itu, saya ada gairah untuk membuat ilustrasi, terutama binatang. Bapak juga sering mengajak saya menonton film dokumenter atau pergi ke bioskop menonton film bertema alam. Karena sudah bisa menggambar, saya sering membuat komik dan mengirimkan ke majalah, meski belum ada yang dimuat.
Kegemaran saya ini berlanjut hingga kuliah di Jurusan Biologi di Universitas Brawijaya, Malang. Hobi itu sangat membantu saya saat terlibat pembuatan buku perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah itu, saya mencoba peruntungan di PT. Elexmedia Komputindo, Grup Gramedia, dengan menerbitkan buku seri anak. Menariknya, bukunya langsung diterbitkan. Nah, karena sudah terjalin hubungan yang baik, berikutnya saya diberi kesempatan untuk menerbitkan buku lagi.
Mongabay: Buku pertama Anda tentang apa?
Koen: Setelah lulus kuliah, saya membuat buku tentang burung kangkareng [Anthracoceros sp], yang saat itu masih menggunakan pensil warna. Karya ini mendapat tanggapan dan saya diminta mengganti pewarnaan dengan pensil warna akuarel, agar lebih tajam.
Menariknya, sang editor menghadiahkan pensil warna akuarel. Jadi, saya hanya menggambar ulang ilustrasinya. Buku pun terbit. Setelah itu, saya diminta membuat buku serial lain seperti ayam, musang, kucing, dan primata.
Saat itu, saya juga bekerja di lembaga swadaya masyarakat [LSM] di Malang, namanya Semesta Biru.
Baca: Hanya Hutan Leuser di Hati Rudi Putra
Mongabay: Sudah berapa buku yang Anda buat?
Koen: Ada 85 buku. Beberapa dicetak dalam bentuk buku elektronik yang sebagian besar temanya tentang anak-anak.
Tema anak saya pilih karena membuat imajinasi saya lebih bebas. Saya bisa mengenalkan tentang biologi dan satwa liar Indonesia, melalui buku cerita dan buku aktivitas.
Mongabay: Bagaimana dengan buku untuk usia dewasa?
Koen: Ada beberapa buku yang saya buat seperti novel dan nonfiksi. Untuk dewasa lebih kepada fakta dan legenda atau tentang penelitian, temuan, dan mitos.
Buku anak memang lebih sederhana. Tapi sekarang, banyak juga penulis buku anak, jadi harus pintar mencari. Intinya, harus unik dan jarang diangkat orang lain, sehingga buku kita banyak yang tertarik.
Baca juga: Panggilan Hati Ani Mardiastuti untuk Bergiat di Dunia Konservasi
Mongabay: Apa tantangan Anda menjadi seorang ilustrator?
Koen: Tentunya bukan jalan pintas. Dulu saya swadidik belajar ilustrasi, sempat les menggambar lukisan dengan cat minyak. Awalnya susah, lama-lama bisa karena saya senang, kalau sudah begitu tidak terasa lelahnya. Memiliki idola itu sangat penting, untuk penyemangat.
Saya biasanya riset, benda yang akan saya gambar, bisa melihat langsung di alam, dari internet, atau film. Setelah selesai, saya unggah di media social dan selain itu saya ikut komunitas.
Ada komunitas Kelompok Ilustrator Buku Anak Indonesia [Kelir], dan saya pernah diajak gabung ikut pameran di Jakarta. Pada 2018, saya diajak gabung oleh Komunitas Pencinta Buku Bacaan Anak Indonesia [KPBA], ketuanya Ibu Murti Bunanta -aktivis penulis buku anak, sastrawan, dan dosen. Ia dan timnya mengajak saya ikut “Asian Festival for Children Book Content [AFCC]” di Singapura. Di sana, saya menjadi pembicara juga.
Tahun 2021, saya kembali diundang sebagai pembicara di acara yang sama, secara virtual. Selain menghadiri pertemuan, saya juga pernah mengikuti pameran ilustrasi di Bratislava, Slowakia.
Mongabay: Menurut Anda, bagaimana masa depan pekerjaan sebagai ilustrator?
Koen: Saya merasa, ilustrator di Indonesia pendapatannya masih minim, berbeda dengan di luar negeri yang bisa diandalkan. Kita juga harus belajar dari ilustrator lain bagaimana metode yang baru dalam hal ilustrasi dan pemasaran. Kalau mau maju, kita harus berani mencoba hingga go international.
Mongabay: Bagaimana peran ilustrator mengenalkan konservasi di Indonesia?
Koen: Sangat besar. Dalam beberapa hal, ilustrasi lebih unggul dari fotografi. Kalau sering melihat majalah yang banyak berisi foto bagus, ternyata mereka tetap membutuhkan ilustrasi.
Pertama, membantu menggambarkan hal-hal yang tidak bisa tertangkap kamera, seperti jenis satwa langka, meskipun saat ini ada kamera pengintai [camera trap]. Kedua, misalnya kita ingin membicarakan bagian dalam tubuh hewan, dengan ilustrasi pembaca lebih mudah memahaminya. Ilustrasi menghidupkan yang jarang diketahui banyak orang atau kamera.
Namun, konservasi tetap menjadi tantangan bagi seorang ilustrator dan konservasionis juga. Ini dikarenakan minat membeli dan membaca buku di kita masih rendah, sehingga meski banyak buku konservasi dengan ilustrasi, tetap saja sulit.
Itu juga alasan saya membuat buku anak, agar sedari kecil mereka terbangun untuk membaca buku.
Mongabay: Saat ini banyak ilustrator muda, apa saran Anda?
Koen: Masih sedikit ilustrator dengan latar belakang biologi atau sains, sehingga bila ada yang menggambar satwa liar, sering kurang akurat. Apalagi bila menggambar perilaku jenis satwa, kebanyakan pedomannya satwa luar negeri yang terkadang tidak ada di Indonesia.
Tentunya, kita semua harus banyak belajar dan riset, bisa dari internet, membaca buku, atau ke lapangan.
Mongabay: Apa keinginan Anda mendatang?
Koen: Saya ingin banyak membuat buku tentang satwa langka Indonesia. Sebelumnya, saya pernah menulis tentang badak di Indonesia. Ketika saya perhatikan di pameran, biasanya foto badak yang dipajang adalah badak putih dan badak hitam afrika atau badak india. Padahal kita punya badak jawa dan sumatera.
Saat saya beberapa kali datang ke Suaka Rhino Sumatra [SRS] dan Taman Nasional Ujung Kulon, saya melihat badak ini sangat berbeda. Sangat langka. Banyak masyarakat yang tidak mengenalnya karena satwa ini memang langka.
Semoga tulisan dan dongeng tentang satwa langka bisa semakin berkembang. Lainnya, saya tertarik dengan satwa yang kurang dikenal, seperti keluarga musang atau kucing liar. Jarang yang mengangkat tema-tema itu.