Mongabay.co.id

Generasi Muda Ternate Belajar soal Perubahan Iklim dan Sosial Budaya Masyarakat Pulau

 

 

 

 

Sekitar 10 anak muda ‘mondok’ sepekan di Pantai Kastela, Kelurahan Kastela, Ternate, Maluku Utara, pada penghujung September lalu. Mereka ini ikut Kelas Estuaria.

Kelas belajar ini adalah gerakan yang digagas Perkumpulan PakaTiva. Lembaga ini mengampanyekan isu- isu lingkungan hidup dan paraktik lokal untuk kelestarian alam di Maluku Utara.

Kali ini, anak muda ini akan belajar memahami isu perubahan iklim, sosial masyarakat pesisir, laut serta ekosistem dan keanekaragaman hayati. Mereka juga dibekali pengetahuan melalui teori oleh praktisi maupun akademisi. Mereka dapat ilmu soal teknik hidup di alam bebas, navigasi darat dan laut, climbing dan snorkeling serta tekhnik transplantasi karang maupun pembibitan di hutan mangrove.

Zafira Daeng Barang, Koordinator Divisi Kampanye Perubahan Iklim dan Kaum Muda Perkumpulan PakaTiva, bilang, Estuaria merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas dan keterampilan kaum muda kepulauan. Terutama, menyangkut pemahaman ekosistem kepulauan guna minimalisir dampak perubahan iklim.

Ia juga gerakan dalam membangun kesadaran kaum muda terhadap lingkungan dan perubahan iklim.

Menurut dia, apa yang mereka rintis ini sebenarnya sudah berlangsung dua tahun terakhir. Mulai dari kampanye penyelamatan lingkungan dan penguatan budaya lokal hingga membangun kesadaran petani untuk mengolah lahan dengan berkelanjutan, seperti gunakan pupuk ramah alam.

Dengan kelas Kaum Muda Estuaria ini dapat melahirkan kader peduli lingkungan, beradat, juga dapat membantu penyelamatan ekosistem, juga kampanye lingkungan di kota.

 

Udai kelas teori selama tiga hari, peserta aksi langsung di sekitar, salah satu dengan bersihkan sampah di pantai. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

***

Hadr sebagai pemateri Badan Meteoriologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meterologi Ternate. Setyawan, Kepala Bagian Data dan Informasi (Datin) BMKG Stamet Ternate, menceritakan sejumlah fakta tentang iklim di Maluku Utara. Diawali menyampaikan teori dasar iklim, cuaca serta variabilitas iklim yang terjadi.

Setyawan bilang, cuaca dan iklim adalah proses interaktif alami baik biologi fisika dan kimia yang terjadi di alam khusus di atmosfer. Iklim, katanya, akan berubah menurut ruang dan waktu.

Dalam skala waktu, perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu. Dalam skala ruang, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan baik dalam skala global maupun lokal.

Dia jelaskan pula soal perubahan iklim dipicu oleh kenaikan suhu di permukaan bumi. Gas rumah kaca (GRK) merupakan faktor utama yang memicu kenaikan suhu di permukaan bumi itu.

“Faktor yang memengaruhi perubahan iklim adalah aktivitas manusia. Misal, ada pabrik. Peningkatan gas rumah kaca dapat menyerap dan memantulkan radiasi sinar matahari yang membuat suhu bumi memanas.”

Karena ada pemanasan global menyebabkan suhu muka air laut naik, hujan ekstrem, wabah penyakit, timbul berbagai hama dan penyakit kekeringan yang panjang dan es mencair di kutub.

Dia bilang, perilaku manusia itulah yang memengaruhi kondisi cuaca atau iklim sekarang. Dia contohkan, buang sampah sembarangan sampai kegiatan industri yang menggunakan bahan bakar fosil.

Peserta juga dapat pemahaman dan penguatan tentang ekologi kepulauan. Materi ini menjadi dasar memahami apa sebenarnya lingkungan dan hubungan dengan kehidupan mereka di pulau pulau kecil seperti di Malut ini.

Faisal Rumagia, dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate, memberikan pemahaman dasar bagi mereka terkait komponen dasar ekologi perairan, baik biotik maupun abiotik.

 

Mereka juga dapat kelas snorkling dan diving.Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dia tekankan arti penting pesisir dan pulau. “Laut menutupi 72% permukaan bumi. Sekitar 20% pesisir yang penting bagi populasi manusia.” kata Faisal.

Ekosistem pesisir juga memiliki produktivitas dan diversitas yang tinggi. Wilayah ini memproduksi 90% perikanan dunia dan sekitar 25% biologi dunia serta menampung 13.200 spesies biota laut pada 80% wilayah pesisir.

“Persoalan pulau pulau kecil itu sangat banyak. Dari kerusakan terumbu karang, konversi hutan mangrove, sedimentasi dan abrasi pantai, pencemaran karena limbah rumah tangga maupun industri hingga tumpahan minyak, serta pertanian dan banjir dan lain-lain.”

Belum lagi bidang sosial ekonomi , katanya, konflik antara nelayan kecil dan industri, konflik antara konservasi dan eksploitasi.

Herman Oesman, Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara juga sebagai pemateri. Dia beri materi soal sosial budaya masyarakat pulau.

Di kelas ini, mereka juga dapatkan pengetahuan mengenai kawasan konservasi.

Setelah mendapatkan materi kelas selama tiga hari, lalu turun lapangan, dengan belajar memperkenalkan   mereka dunia bawah laut, pembersihan pantai, menanam di hutan mangrove dan lain-lain.

“Tujuan paling mendasar kelas ini adalah mendidik dan memberikan pemahaman kepada mereka hidup di pulau kecil yang memiliki kerawanan akibat berbagai dampak pembangunan,” kata Faisal juga Direktur PakaTiva.

Pulau-pulau kecil, katanya, saat ini menghadapi persoalan serius yang perlu dipahami bersama teruatama kaum muda.

Dia contohkan di Malut, pulau, kekayaan alam dan manusia yang hidup di dalamnya ikut terancam kehadiran industri ekstraktif.

“Yang paling serius ada eksploitasi tambang dan perkebunan monokultur sawit di pulau-pulau kecil. Dua masalah ini, di Maluku Utara sudah terjadi hingga perlu gerakan membangun kesadaran bersama tentang perlu perlindungan bagi pulau pulau kecil.”

Generasi muda, katanya, perlu mengerti persoalan ini agar bisa beraksi demi keberlangsungan masa depan mereka dan lingkungan hidup.

 

Anak muda yang mengikuti kelas Estuaria di Ternate. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

*****

Exit mobile version