Mongabay.co.id

Kehidupan Nelayan di Pesisir Taman Wisata Alam Bangko-Bangko

Bentang Taman Nasional Bangko-Bangko dengan deretan perahu dan perkampungan nelayan di Pantai Bangko-Bangko, Desa Batuputih, Kecamatan Sekotong Lombok Barat. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Bentang Taman Nasional Bangko-Bangko dengan deretan perahu dan perkampungan nelayan di Pantai Bangko-Bangko, Desa Batuputih, Kecamatan Sekotong Lombok Barat. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pagi itu, Munawir tersenyum puas. Perahu hampir penuh dengan ikan tongkol. Dari dalam perahu ikan itu berpindah ke ember hitam yang dibawa para perempuan. Bolak-balik dari perahu ke lokasi pemindangan, Munawir meminta semua begerak cepat. Siang hari kalau kondisi bagus, dia akan melaut lagi.

Di belakang Munawir sudah antre perahu lain yang akan mendarat. Sekitar 200 an perahu sandar di Teluk Bangko-Bangko, Desa Batuputih, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, penghujung September lalu.

Posisi di teluk, perairan cukup tenang. Perahu dengan dominasi cat warna putih dan semua perahu memiliki layar itu berbaris rapi. Kalau ada selesai menurunkan ikan, mereka akan naik lebih atas memberikan giliran pada nelayan lain untuk sandarkan perahu.

Teluk itu tak cukup untuk menampung seluruh perahu. Beberapa terlihat terus melaju ke arah timur, mencari tempat pendaratan lain. Dari perahu-perahu yang tidak sandar di Bangko-Bangko itulah Munawir mendapatkan ikan.

‘Saya bayar langsung di tengah laut,’’ kata Munawir.

Membeli ikan di tengah laut dari nelayan yang langsung pulang memungkinkan Munawir mendapatkan hingga ribuan ekor sekali melaut. Dia juga ikut memancing, dan menjaring. Ketika panen berlimpah, dia sering membeli. Tongkol itu dia pindang terlebih dahulu. Lalu dia bersihkan, disusun di keranjang kecil 10-15 ekor, ditaburi garam kasar, lalu direbus beberapa menit agar awet beberapa hari ke depan.

Musim panen berlimpah tongkol pada pertengahan tahun. Nelayan dari berbagai daerah menangkap tongkol di ujung barat Pulau Lombok, tepatnya di Desa Batuputih. Jalur tongkol itu tidak jauh dari pelayaran kapal dari Bali–Lombok. Sesekali para nelayan dekat dengan kapal-kapal itu.

Panen ikan di perairan ini berlangsung sampai delapan bulan. Ada masa sangat berlimpah, ada waktu berkurang. Kadang nelayan juga istirahat beberapa hari. Mereka sadar kalau terlalu banyak ikan harga akan anjlok.

Di kampung nelayan Bangko-Bangko hanya ditempati 60 keluarga. Ketika musim tongkol, nelayan dari luar banyak sandar. Bahkan, pada waktu tertentu nelayan dari Bali datang menangkap ikan dan tinggal di Kampung Bangko-Bangko. Mereka kadang tinggal sampai satu minggu. Begitu juga dengan nelayan dari Ampenan, Gili Gede, bisa menetap selama musim tongkol. Para nelayan itu juga sudah memiliki ‘ibu angkat’ di Bangko-Bangko. ‘Ibu angkat’ mereka ini para perempuan yang memindang ikan. Berapa pun jumlah ikan mereka tangkap pasti dibeli ‘ibu angkat’. Harga tak ada perbedaan di seluruh tempat itu.

“Tapi tidak boleh mengambil nelayan orang. Kalau sudah dibeli oleh pemindang ini, yang lain tidak boleh merebut. Nanti ribut,’’ kata Sahmin, yang membuka usaha pemindangan.

 

Baca juga: Kala Hutan Gundul, Pulau Lombok dan Sumbawa jadi Langganan Banjir

Kesibukan di lokasi pemindahan di Bangko-Bangko, dengan perputaran uang ratusan juta rupiah sehari. Tapi tidak ada retribusi yang bisa ditarik karena seluruh aktivitas di kawasan ini belum berizin. Pemerintah daerah pun tidak bisa langsung membangun tempat pelelangan ikan (TPI). Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Perempuan ini sudah 21 tahun membuka usaha pemindangan ikan di Bangko-Bangko. Pada hari itu, dia mendapatkan sekitar 3.000 tongkol dari dua nelayan. Satu nelayan 1..500 ekor. Jumlah itu masih bisa lebih banyak kalau nelayan turun dua kali.

Menjelang subuh dengan menjaring, dan siang hari gunakan pancing. Nelayan yang lebih kuat fisik, menangkap ikan dua kali sehari sudah biasa. Apalagi, tempat menangkap ikan tak terlalu jauh dari Teluk Bangko-Bangko.

“Berapa pun banyaknya ikan yang naik pasti habis.’

Ada belasan lokasi pemindangan di Bangko-Bangko. Ada yang berkelompok, ada sendiri-sendiri atau mengelola bersama anggota keluarga. Yang berkelompok, biasa memiliki beberapa buruh. Buruh ini tak hanya mengerjakan pemindangan untuk satu majikan, bisa beberapa majikan sekaligus. Karena lokasi satu kompleks mereka mudah pindah tanpa menganggu satu sama lain.

Gotong royong juga tinggi. Masih banyak nelayan dan keluarga membantu keluarga lain. Orang yang sudah terlalu tua, tidak kuat membantu tetap mendapatkan bonus beberapa ikan.

Berapa di jalur ikan berlimpah hampir sepanjang tahun, memiliki teluk dengan perairan tenang dan pesisir landai membuat Bangko-Bangko tidak pernah sepi. Pagi, siang, sore, malam, dini hari kampung ini terus berdenyut. Asap dari tungku-tungku pemindangan tidak pernah istirahat. Kendaraan tidak pernah sepi. Kendaraan itulah yang akan mengangkut ikan yang sudah dipindang ke pasar induk Bertais di Mataram, sekitar 70 kilometer.

“Ikan yang dipindang dibawa malam, tengah malam sudah beredar di pasar induk, pagi sudah bisa dijual ke pasar kecil dan eceran. Masih segar,’’ kata Sahmnin.

Keramaian kampung nelayan Bangko-Bangko ini juga membuka peluang usaha lain seperti pedagang mainan keliling, es krim, maupun warung-warung kecil. Perputaran uang, katanya, bisa mencapai ratusan juta rupiah per hari berdasarkan kalkulasi kasar.

Menurut Sahmin, ketika musim panen raya tongkol, seorang nelayan bisa dapatkan Rp750.000–Rp1.000.000 per hari.

Para nelayan itu dipastikan setiap hari turun melaut. Kalau sehari 200 nelayan sandar, bisa diprediksi uang yang beredar di tangan nelayan mencapai Rp200 juta. Angka ini, katanya, memang tidak pasti. Lebih sering lebih dari jumlah itu.

“Kalau bisa diatur uangnya, sebenarnya nelayan ini sejahtera,’’ kata Sahmin.

 

Anak-anak muda yang tertarik dengan pariwisata mengembangkan bakat mereka melalui pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan BKSDA NTB. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Bara di Bangko-Bangko

Para nelayan saling menjaga satu sama lain. Begitu juga dengan kelompok warga yang membuka usaha wisata. Mereka tak keberatan dengan keberadaan nelayan. Bahkan, gazebo yang dihajatkan untuk wisatawan sering digunakan menginap nelayan.

“Tidak masalah, kami bisa berdampingan. Kita sama-sama mencari rezeki,’’ kata Haji Saleh, pengelola wisata di Bangko-Bangko.

Saleh adalah tokoh cukup disegani di Bangko-Bangko. Pengalaman hidup yang keras, dan mengaku pernah masuk “dunia hitam”, menambah reputasi Saleh sebagai tokoh yang disegani. Kalau ada masalah di kampung nelayan dia akan turun tangan. Bahkan, suatu ketika pernah terjadi kekerasan, sampai pembakaran gubuk nelayan. Saleh turun langsung agar kasus tidak meluas. Kawasan tempat dia membuka usaha saat ini juga didapatkan tidak mudah.

Saleh memberikan kompensasi, ganti rugi kepada nelayan yang lebih awal tinggal di tempat itu. Dia tidak mau disebut membeli, karena nelayan yang tinggal juga bukan pemilik tanah. Dia memberikan kompensasi agar mau pindah. Kini, di lahan yang dikelola itu, berdiri tiga kamar bungalow, tiga gazebo besar, dan beberapa gazebo kecil.

Bangko-Bangko, memiliki pasir putih. halus. Pesisr landai, teluk kecil di kelilingi perbukitan.

Di bagian barat berdiri mercusuar sekaligus menjadi tanda titik 0 kilometer Pulau Lombok. Ujung bukit itu adalah daratan paling luar Pulau Lombok yang berbatasan dengan Pulau Bali. Di bagian timur, ada muara sungai cukup besar.

Pada hari-hari tertentu, muara itu jadi rumah bagi burung-burung migrasi antara lain, beranak pindak dan menetap. Di bagian selatan, di kelilingi mangrove, beberapa sudah rusak. Dalam beberapa tahun terakhir rutin penanaman di hutan mangrove.

Pemerintah desa, pemerintah kabupaten, hingga pemerintah provinsi tidak bisa banyak mengintervensi Bangko-Bangko. Pantai dan hutan, sebagian besar kritis adalah Taman Wisata Alam (TWA) Bangko-Bangko.

Daratan yang menjadi “ekor” Pulau Lombok itu jadi TWA 1 Juli 1992 seluas 2.169 hektar. Saat itu masih di bawah Desa Pelangan, lalu mekar jadi Desa Batuputih.

Sebelum penetapan kawasan, masyarakat sudah terbiasa beraktivitas di sana, berladang dan menangkap ikan. Makin lama, makin banyak nelayan dan makin banyak warga menggarap lahan. Ada ratusan keluarga tinggal di dalam kawasan.

Saleh mendengar BKSDA NTB akan memberikan izin bagi warga yang sudah terlanjur menggarap lahan di TWA Bangko-Bangko. Dia berharap, BKSDA hati-hati jangan sampai menimbulkan konflik baru. Yang menggarap lahan di TWA Bangko-Bangko itu tidak semua warga lokal, harus ada keadilan. Begitu juga dengan nelayan yang selama ini bertahun-tahun memanfaatkan Bangko-Bangko agar ada izin kemitraan.

Setelah itu, katanya, pemerintah bisa membangun fasilitas layak seperti akses air bersih, akses jalan, dan tempat pelelangan ikan. Saleh yakin, kalau fasilitas di Bangko-Bangko dibenahim nelayan siap memberikan kontribusi.

“Yang penting jangan ada gusur menggusur.”

 

Laut yang sehat menghasilkan ikan berlimpah. Nelayan Bangko-Bangko melaut dua kali sehari dan bisa mendapatkan 1.500 ekor ikan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Pariwisata

Makin siang pasir Pantai Bangko-Bangko makin indah. Air laut jernih dan semilir angin laut membuat tubuh terasa lebih nyaman. Joko Iswanto, Kepala Balai KSDA NTB, Kepala SKW I BKSDA NTB Lalu Fadli, dan beberapa staf BKSDA duduk menikmati tongkol bakar di sebuah gazebo.

Hari itu rombongan BKSDA NTB memberikan bantuan pada kelompok masyarakat di Desa Batuputih, termasuk yang mengelola wisata di Bangko-Bangko. Bantuan berupa perlengkapan untuk snorkeling.

Kelompok yang didominasi anak-anak muda itu membuka usaha snorkeling. Berkeliling di beberapa pulau kecil (gili) sekitar Desa Batuputih, hingga wisata eksplorasi hutan TWA Bangko-Bangko. Selain memberikan pelatihan, selam dua hari, 22-23 September, BKSDA juga melatih anak-anak muda itu untuk pengelolaan homestay, menjadi pemandu wisata, hingga penyusunan paket wisata.

Joko yakin, melalui pariwisata, masyarakat di TWA Bangko-Bangko bisa lebih sejahtera, tanpa harus masuk ke kawasan untuk berladang.

“Program pemberdayaan masyarakat kita arahkan untuk masyarakat yang ada di kawasan.”

Untuk masyarakat yang terlanjur masuk kawasan, BKSDA NTB sedang menyiapkan pola kemitraan. Mereka lakukan pendekatan humanis. Masyarakat didekati agar mau ikut mendukung upaya-upaya konservasi. Beberapa warga yang dulu sering berhadap-hadapan melawan BKSDA, sekarang dirangkul jadi mitra.

Dia berharap, kelompok yang mengelola pariwisata bisa jadi contoh bahwa keindahan alam di TWA Bangko-Bangko bisa mendatangkan manfaat besar bagi masyarakat.

 

 

*****

Foto utama:Bentang Taman Nasional Bangko-Bangko dengan deretan perahu dan perkampungan nelayan di Pantai Bangko-Bangko, Desa Batuputih, Kecamatan Sekotong Lombok Barat. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version