Mongabay.co.id

Menelisik Tantangan dan Harapan Pertanian Organik di Sulsel

 

Arief Sore menunjukkan beberapa karung gabah padi organik yang dimilikinya. Ia juga menunjukkan tangkai padi yang masih utuh, yang akan digunakan sebagai bibit untuk masa tanam selanjutnya.

“Ini tinggal disemai sebelum ditanam di sawah,” katanya kepada Mongabay pertengahan September 2021 silam.

Arief adalah petani organik di Desa Pitu Sunggu, Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Ia telah menjalankan pertanian organik sejak 2010 silam, setelah mengikuti Sekolah Lapang Pertanian Organik yang diselenggarakan oleh program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam yang difasilitasi oleh pendamping dari Mangrove Project Action (MAP) yang kini berganti nama menjadi Yayasan Hutan Biru (Blue Forest).

Menurut Arief, menjalankan pertanian organik bukanlah hal yang mudah, butuh kesabaran dan harus tahan banting. Di awal-awal menekuni pertanian organik ia bahkan sempat dicemooh dan ‘gila’ oleh warga sekitar. Beberapa alumni sekolah lapang lainnya, meski sempat bertani organik, namun kembali ke pertanian konvensional.

“Umumnya mereka tak sabar menunggu hasil, apalagi di awal-awal itu adalah yang paling sulit. Ada serangan hama dan masa panen yang lebih lama. Belum lagi harus menyiapkan sendiri pupuk-pupuk organik untuk kebutuhan lahan,” katanya.

Keteguhan Arief untuk konsisten berorganik dilihat dari upayanya mengubah lahan kritis di desanya menjadi lahan yang subur dan bisa ditanami padi. Lahan kritis tersebut dulunya bekas tambak yang ditinggalkan pemiliknya. Sebelum disulap jadi sawah kembali, lahan itu hanyalah hamparan padang ilalang.

Setelah setahun diolah lahan-lahan tersebut akhirnya bisa subur kembali. Tak ada yang menyangka lahan yang awalnya tak dihiraukan itu bisa menghasilkan berton-ton padi. Setelah sukses, pemilik lahan meminta kembali lahannya. Arief tak mempersoalkannya. Ia puas bahwa usahanya ternyata tidak sia-sia.

“Berkali-kali gagal sempat menyurutkan tekad, namun ada rasa penasaran juga melihat bagaimana hasilnya. Ini yang memotivasi saya setiap menghadapi tantangan dan mau mundur.”

baca : Pertanian Organik, Pertanian Sehat yang Ramah Lingkungan

 

Arief Sore, petani organik yang sukses mengolah lahan kritis di desanya menjadi produktif kembali dengan penerapan pertanian organik. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Tidak hanya untuk sawah dan kebun, Arief juga menerapkan konsep organik ini di tambak ikan dan udang miliknya. Hasilnya sama menakjubkannya dengan pertanian padi dan kebun.

“Memang di awal terlihat tak ada hasil dan lambat namun semakin lama terlihat hasilnya. Produktivitas tambak organik semakin bagus, sementara tambak non-organik sebaliknya. Memang butuh waktu untuk melihat hasilnya, ini yang tidak bisa diterima petambak pada umumnya karena mau instan,” katanya.

Arief pun mulai gencar mengajak petani dan petambak lain untuk berorganik, termasuk alumni sekolah lapangan lainnya. Ia bahkan sering diundang untuk memberi penyuluhan ke petani dan petambak di desa dan kabupaten lain. Ia juga rajin memproduksi kompos dan pupuk cair mikroorganisme lokal (MOL), yang selain digunakan sendiri juga untuk dijual ke petani lain.

Arief bahkan punya metode tersendiri untuk mengetahui kualitas MOL yang dihasilkan menggunakan peralatan listrik rakitannya sendiri.

“Jika dua kutub listrik yang dihubungkan dengan cairan MOL membuat bola lampu menyala, itu berarti kualitas MOL nya bagus,” katanya.

Sedangkan Amiruddin, petambak dari Desa Bonto Manai, Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkep, merasakan sulitnya mengajak petambak lain untuk menggunakan pupuk organik karena ingin hasil instan. Namun kondisi kelangkaan pupuk, khususnya untuk tambak, membuat banyak petambak kemudian mulai melirik penggunaan pupuk kompos.

“Petambak kan tidak ada subsidi pupuk, mungkin karena dianggap kaya-kaya, sementara pupuk semakin mahal dan langka. Ini kemudian membuat banyak petambak menggunakan pupuk kompos, meskipun kualitas yang dijual itu jauh dari apa yang kami pahami dari sekolah lapang tentang pupuk kompos yang baik,” katanya.

baca juga : Agama Dorong Pertanian Berkelanjutan, Caranya?

 

Di tengah kelangkaan pupuk, petambak di Kabupaten Pangkep, Sulsel, mulai menggunakan pupuk kompos organik, bisa dibuat sendiri atau dibeli dari petani lain. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Ranperda Sistem Pertanian Organik

Di tengah sulitnya mendorong pertanian organik, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan membawa angin segar dengan menginisiasi lahirnya Peraturan Daerah tentang Sistem Pertanian Organik di Sulsel.

“Kita sedang susun Ranperda, merupakan inisiasi teman-teman di DPRD yang bermula dari sebuah keresahan terhadap keberlangsungan hidup dan kesehatan lingkungan. Selama ini kita hanya mengejar produksi dan ekonomi,” ungkap Haidar Madjid, anggota DPRD Sulsel dari Fraksi Demokrat.

Haidar menjelaskan bahwa salah satu fokus pada bidang pertanian saat ini adalah tidak hanya terhadap peningkatan produktivitas produk saja. Namun juga memperhatikan keseimbangan alam, kualitas, serta keamanan produk pertanian.

Haidar menuturkan pergeseran consern pertanian merupakan bentuk kritik terhadap pertanian konvensional yang dianggap memiliki dampak negatif. Berupa degradasi dan penurunan kesuburan tanah, mengurangi kelembaban tanah, merusak ekosistem yang berada di lingkungan sekitar, menyebabkan erosi, hingga masalah serius pada gangguan kesehatan konsumen.

“Dalil-dalil tersebut menegaskan urgensi untuk memitigasi dampak pertanian konvensional melalui pendekatan konsep dan model pembangunan di sektor pertanian menjadi sistem pertanian berkelanjutan,” terangnya.

Menurutnya, pengambilan keputusan oleh petani untuk melakukan adopsi bukanlah hal mudah. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan, sikap, keterampilan, dan persepsi petani tentang sistem pertanian organik melalui proses pembelajaran.

Haidar selanjutnya menyatakan peran penting pemerintah dalam penerapan sistem pertanian organik di Sulsel semakin kokoh dengan berdalil pada fenomena saat ini. Tentu hal itu berkaitan dengan peluang pasar (ekonomi) hasil pertanian organik.

“Bahkan selain peluang dari sektor ekonomi, sistem pertanian organik berorientasi jangka panjang untuk keberlangsungan jutaan kehidupan. Baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang,” tambahnya.

Untuk itu, Haidar menegaskan sistem pertanian organik penting untuk didorong dalam bentuk dukungan kebijakan berdasarkan kajian empiris dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait penyelenggaraan sistem organik.

menarik dibaca : Cerita Petani Milenial Bertani Organik

 

Ilustrasi. Petani sedang membajak sawah dengan latar gunung Cikuray di Desa Ciateul, Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Foto : Dony Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Muchlis, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan, mengatakan bahwa masalah sistem pertanian organik sebenarnya sudah lama dibahas. Bahkan, dia mengaku kerap memberikan pelatihan kepada penyuluh tentang penggunaan sistem organik pertanian ini.

“Persoalannya adalah masih lambat dalam penerapan. Untuk itu dengan adanya perda ini tentu diharapkan petani kita bisa menghasilkan produk organik ke depan,” sebutnya.

Menurut Muchlis, produk pertanian ini bisa berkembang kalau masyarakat paham tentang organik.

“Artinya begini, produk organik itu pasti lebih mahal, sementara masyarakat mencari yang murah. Tapi, organik itu lebih sehat. Jadi dalam persoalan ini adalah bagaimana memberikan pemahaman terlebih dahulu kepada konsumen terkait produk organik,” katanya.

Menurut Dr. Suhaerah Saleh, dosen pertanian dari Universitas Muslim Indonesia (UMI), tantangan mendorong pertanian organik karena ketergantungan petani pada bahan kimiawi yang sangat besar.

“Mereka sulit beralih ke organik karena mindset bahwa semua masalah di lahan pertanian hanya bisa diselesaikan dengan bahan-bahan kimiawi, bahkan terkadang dengan dosis dan takaran yang tinggi,” katanya.

Padahal menurutnya, penggunaan bahan organik bisa sangat bagus hasilnya jika digunakan secara tepat, meskipun butuh kesabaran. Petani juga takut bertaruh dengan lahan mereka, karena kegagalan satu musim akan sangat berat ditanggung oleh mereka.

“Petani butuh jaminan bahwa ketika menggunakan bahan organik akan ada hasil untuk mereka. Bahkan pengalaman di Luwu Timur, seorang istri petani baru mau lahannya dijadikan demplot setelah kami menjamin akan menanggung kerugian yang ditimbulkan jika proyek demplot itu gagal.”

 

Exit mobile version