Mongabay.co.id

Bupati Sorong Serahkan SK Pengakuan Wilayah Adat Gelek Malak Kalawilis Pasa

 

 

 

 

 

Johny Kamuru, Bupati Sorong, menyerahkan surat keputusan pengakuan hak kepada Masyarakat Adat Gelek Malak Kalawilis Pasa atas tanah dan hutan di Distrik Sayosa, seluas 3.247 hektar, Jumat (15/10/21).

“Ini baru salah satu marga yang mendapat pengakuan karena pemetaan marga ini sudah jelas. Pemerintah akan terus mendukung dan mendorong marga-marga lain untuk pemetaan,” kata Johny.

Pemerintah, katanya, mendukung masyarakat dalam pemetaan agar guna kelancaran pengakuan wilayah adat mereka.

Dia bilang, surat keputusan Nomor 593.2/KEP.345/IX/TAHUN 2021 ini merupakan bentuk komitmen melindungi hak adat. Kalau hutan dan tanah dikelola masyarakat adat akan memberikan kehidupan bagi mereka.

Johny bilang, sebagai bupati memiliki momentum untuk evaluasi dan mencabut izin-izin perkebunan sawit.

April lalu, Bupati Sorong, mencabut empat izin perusahaan sawit, tiga perusahaan gugat balik kini masih proses persidangan di PTUN Jayapura.

Gelek Malak Kalawilis Pasa, satu bagian Suku Moi. Mereka masuk kelompok Moi Kelin, berdasarkan dialek dan bahasa. Komunitas Gelek Malak Kalawilis Pasa, tersebar di Kampung Sayosa, Distrik Sayosa, dan Kampung Malalilis, Distrik Klayili, Kabupaten Sorong.

Silas Kalami, Ketua LMA Malamoi mengatakan, melalui pengakuan hak ini, masyarakat akan lebih kuat menjaga hutan dan tanah adat. Masyarakat, katanya, menjaga hutan dan tanah adat, demi keberlanjutan kehidupan mereka.

“Bila ada pembangunan yang masuk harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat adat, jangan sampai mengorbankan masyarakat adat,” katanya.

Gelek Malak Kalawilis Pasa, katanya, jadi contoh dan awal dari perjuangan-perjuangan masyarakat adat Moi menjaga tanah adat dan menyelamatkan hutan Malamoi.

Matias Komegi, anggota MRP mengapresiasi keputusan bupati dengan mengeluarkan surat keputusan pengakuan marga Malak ini. “Tindakan ini adalah jawaban dari UU Otonomi Khusus. Masyarakat adat haru berdaulat di atas tanah mereka.”

Keluarga besar Gelek Malak Kalawilis Pasa adalah kelompok marga yang sejak awal tak menginginkan perkebunan sawit masuk ke daerah mereka. Mereka lakukan pemetaan wilayah adat dibantu Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Franky Samperante dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyambut baik keputusan Bupati Sorong ini. “Kami mengapresiasi tinggi kebijakan Bupati Sorong yang mengakui hak masyarakat adat Moi, Gelek Malak Kalawilis Pasa,” katanya.

Kebijakan dan komitmen bupati ini, kata Angky, sapaan abrabnya, sejalan dengan aspirasi Masyarakat Adat Moi. “Keputusan ini, sangat menentukan bagi perjuangan masyarakat adat Moi mengamankan tanah dan hutan adat.“

Nico Wamafma, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, pengakuan hak masyarakat adat ini merupakan model solusi yang bisa diterapkan di seluruh wilayah adat di Indonesia.

“Pengakuan hak masyarakat adat untuk mengelola tanah dan hutan adat mereka salah satu upaya menjaga hutan alam tersisa.”

Keluarga besar Gelek Malak Kalawilis Pasa berterima kasih melalui tarian dangsa. Dalam Bahasa Moi Kelim ini sebagai mengucapkan terima kasih kepada Bupati Sorong.

 

Baca juga: Cerita Pemilik Ulayat Setelah Bupati Sorong Cabut Izin Perusahaan Sawit

Johny Kamuru, Bupati Sorong, menyerahkan surat keputusan pengakuan hak kepada Masyarakat Adat Gelek Malak Kalawilis Pasa atas tanah dan hutan di Distrik Sayosa, seluas 3.247 hektar, Jumat (15/10/21). Foto: Natalia Yewen/ Mongabay Indonesia

 

Sidang adat tolak perusahaan sawit

Sehari sebelum itu, 14 Oktober 2021 di Keik Malamoi, Kota Sorong, sekitar 70 perwakilan masyarakat adat Moi, orang-orang tua dan pemilik tanah dan hutan adat, asal Distrik Seget, Distrik Bagun, Distrik Klamono, Distrik Segun, Distrik Konhir, Distrik Klayili dan Distrik Sayosa, mengikuti sidang adat yang diadakan LMA Malamoi. Sidang adat dipimpin lima orang nedinbulu atau hakim adat. Sidang ini sebagai sikap dari masyarakat adat Moi, yang tak ingin perusahaan sawit masuk wilayah mereka.

“Sidang adat ini forum resmi bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat untuk menyampaikan keluhan dan aspirasi mereka. Sidang adat akan memutuskan dan menyelesaikan perkara tuntutan permasalahan masyarakat adat secara adil,“ kata Silas Kalami, dalam rilis kepada media.

Dalam sidang adat ini, mereka juga mengundang perusahaan sawit seperti PT Inti Kebun Lestari , PT Papua Lestari Abadi dan PT Sorong Agro Sawitindo, tetapi tak hadir.

Hasil sidang adat memutuskan, mereka menolak kehadiran ketiga perusahaan sawit. Keputusan mereka merupakan keputusan tertinggi dan mengikat bagi semua pihak. “Pengadilan PTUN Jayapura haruslah mempertimbangkan keputusan dan hukum adat yang telah diputuskan sebagai bentuk penghormatan terhadap masyarakat adat.”

Matias Komegi, mengatakan, sidang adat diakui negara melalui UU Otonomi Khusus Papua. Komegi, juga Ketua Pansus MRPB untuk permasalahan sawit di Kabupaten Sorong. Dia aktif mendorong peradilan adat untuk menyelesaikan permasalahan hak-hak masyarakat adat.

“Kami tidak mau ada sawit. Kami mendukung Bupati Sorong (yang mencabut beberapa izin perusahaan sawit).,” kata Pieter Koso, Wakil ketua Dewan Adat Konhir.

Mereka juga mendesak sumpah adat bambu tui (bambu pamali) supaya tidak ada yang berani lepaskan tanah untuk perusahaan sawit.

 

 

***

Pada 15 Oktober saat Bupati Serahkan SK wilayah adat, Silas juga menyerahkan hasil sidang adat Masyarakat Adat Moi atas kehadiran tiga perusahaan perkebunan sawit. Mereka memutuskan mendukung bupati yang mencabut izin dan menolak kehadiran perkebunan sawit di wilayah adat Moi.

Bupati mengatakan, akan meneruskan keputusan sidang adat kepada PTUN sebagai bukti di persidangan.

 

Baca juga: Dukung Bupati Sorong, Koalisi: Kembalikan Hak-hak Masyarakat Adat

 

*****

Foto utama:

Johny Kamuru, Bupati Sorong (bermasker), usai menyerahkan surat keputusan pengakuan hak kepada Masyarakat Adat Gelek Malak Kalawilis Pasa atas tanah dan hutan Jumat (15/10/21). Foto: Natalia Yewen/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version