Mongabay.co.id

Buruh Sawit Koperasi Makmur di Kampar Menanti Kejelasan Upah

 

 

 

Puluhan buruh panen Koperasi  Petani Sawit Makmur (Kopsa M) mendatangi kantor PT Perkebunan Nusantara V di Jalan Rambutan, Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru, Riau. Siang itu, 6 Oktober lalu. Mereka hendak menjumpai Manager Kebun Plasma PTPN V, Muhammad Rudi untuk menuntut gaji yang belum dibayarkan selama dua bulan.

Ruslianto, sekuriti di gerbang kantor minta maaf ketika menyambut dan melayani rombongan yang datang dengan truk. Saat bersamaan, manajemen tengah turun ke kebun perusahaan areal Tandun, Kampar, Riau.

“Mungkin sudah separuh perjalanan dan tak mungkin balik lagi sekarang.” Dia janji menyampaikan keluhan para buruh dengan atasannya.

Kekecewaan buruh tambah panjang. Berbulan-bulan, mereka luntang-lantung mencari kepastian mengenai hak mereka yang tak kunjung dipenuhi. Jutaan rupiah sudah utang mereka di warung. Bahkan, sementara waktu tidak diizinkan mengambil sembako lagi.

Hari-hari mereka terancam kelaparan. Anak-anak mulai sakit. Beberapa buruh hari itu pun datang dalam kondisi tak enak badan.

Informasi mengenai gaji didengar simpang siur oleh para buruh sejak beberapa bulan terakhir. Kopsa M menyebut PTPN V menahan pencairan uang hasil penjualan buah sawit di rekening bersama (escrow account) yang terdaftar di BRI. Padahal, perusahaan negara ini telah menyalurkan duit ke rekening itu.

Setidaknya, sejak Agustus hingga penjualan hasil panen pada penghujung September, ada Rp3,4 miliar uang masuk ke rekening bersama. Hanya, bank berkenan mencairkan duit apabila perusahaan dan koperasi sama-sama membubuhkan tandatangan. Setelah itu, barulah Kopsa M dapat memindahkan duit ke rekening penampung, atau langsung tarik tunai untuk dibagikan ke pekerja maupun petani yang juga pengurus koperasi.

Kerjasama antara Kopsa M dan PTPN V sudah berlangsung sejak lahan koperasi yang bersumber dari ninik mamak ini dibangun pada 2003. Mulai saat itu terjalin hubungan yang disebut dengan anak dan bapak angkat.

PTPN V, sebagai penanggungjawab pembangunan kebun juga sekaligus menampung hasil panen buah sawit. Kerjasama ini mulai retak ketika pengurus koperasi menyoal transparansi.

Buntutnya, sangat panjang sampai berimbas pada masalah gaji dan bagi hasil petani.

 

Pos jaga kebun Koperasi Sawit di Kampar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Pengurus koperasi sudah dua kali menyurati PTPN V. Pertama, pada 18 Agustus. Dalam surat balasan 27 Agustus, PTPN V malah menyinggung terbentuknya pengurus koperasi baru hasil rapat anggota luar biasa (RALB) pada 4 Juli lalu, versi Muhammad Martius.

Kedua, PTPN V mengatakan pengurus koperasi versi Martius, meminta hasil penjualan buah sawit tidak dicairkan ke rekening bersama atas nama pengurus versi ketua Anthony Hamzah. Karena itu, PTPN V tidak dapat cairkan duit sebelum ada penetapan dari pemerintah terkait pengurus yang sah.

Pengurus koperasi versi Anthony Hamzah, kembali mengingatkan Manager Kebun Plasma PTPN V, Muhammad Rudi, segera mencairkan dana. Surat dilayangkan pada 1 September 2021. Warkah itu juga beri teguran bahwa, penahanan pencairan dana penjualan tandan buah sawit menghambat operasional kebun.

Bahkan, meresahkan pekerja maupun petani. Ihwal dualisme, pengurus koperasi versi Anthony Hamzah menyatakan, masih sah dan diakui hingga Desember 2021. PTPN V tidak membalas lagi surat terakhir ini.

Selain membawa pengurus koperasi versi Martius, para pekerja juga disuguhkan informasi oleh PTPN V, dengan tudingan bahwa Kopsa M tidak menyerahkan daftar penggunaan uang (DPU). Mendengar ini, para pekerja sempat bergejolak dan berulangkali meminta kejelasan pada pengurus koperasi.

Seorang pengurus koperasi yang enggan namanya ditulis, menepis tuduhan itu. Selain dengan cara menyerahkan langsung secara tertulis, katanya, pengurus juga mengirim DPU itu via WhatsApp.

Lagi pula, DPU biasa serahkan setelah ada pemakaian uang. “Bagaimana buat DPU sementara dana belum dicairkan? Tapi, walau bagaimana pun kami sudah menyerahkannya.”

Mongabay berusaha menghubungi PTPN untuk mengkonfirmasi soal ini, antara lain ke Humas PTPN V Risky Atriansyah dan Direktur Utama Jatmiko Krisna Santosa. Keduanya tak membalas permohonan konfirmasi.

Yusry Erwin, Kepala Desa Pangkalan Baru, bilang, PTPN V tidak mau terima DPU dari pengurus Kopsa M versi Anthony Hamzah karena dianggap tidak jelas. Padahal, bank hanya mau terima tandatangan pengurus versi lama.

Dinas Perdagangan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil, Kampar pun, katanya, belum mengakui pengurus versi Martius.

 

Mogok kerja

Sejak PTPN V tak mencairkan gaji, buruh yang tinggal di barak kebun koperasi mulai mogok kerja pada 9 September. Petani juga pengurus koperasi versi Anthony Hamzah, sampai berinisiatif membagikan sembako pada para buruh. Nurul Fajri, mandor Kopsa M juga bagian dari pengurus, mereka sampai cari pinjaman dan donatur untuk memenuhi kebutuhan pekerja di barak.

Dua minggu pasca mogok kerja, para buruh sebenarnya sudah pernah mendatangi kantor PTPN V. Itu kali pertama mereka menuntut langsung pembayaran gaji. Hanya, hari itu, perusahaan yang diwakili langsung Muhammad Rudi, tengah menuju Balai Desa Pangkalan Baru untuk memenuhi undangan kepala desa setempat.

Yusry sekaligus mengundang dua pengurus Kopsa M, baik kubu Anthony Hamzah maupun Martius. Rapat hari itu, dihadiri beberapa petani dan perwakilan pekerja, termasuk ninik mamak.

Awal Agustus, Martius meninggal dunia. Rapat hari itu diwakili Basrial, seorang pengurus.

 

Kebun sawit di lahan Koperasi Sawit Mandiri. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Pengurus koperasi versi Anthony Hamzah menolak hadir. Disna Riantina, kuasa hukum Kopsa M dari Kantor Equality Law Firm, sekaligus Koordinator Tim Advokasi Keadilan Agraria, layangkan surat, sehari sebelum rapat berlangsung. Dia menyatakan, pokok permasalahan yang akan dibahas dalam rapat itu tak jelas.

Surat yang dikirim ke Kepala Desa Pangkan Baru itu sekaligus menjelaskan, PTPN V yang menahan pencairan hasil penjualan buah untuk gaji pekerja dan bagi hasil buat petani Kopsa M. Pengurus koperasi versi Anthony Hamzah juga masih sah. Sedangkan RALB yang diselenggerakan pengurus versi Martius dinilai bertentangan dengan aturan.

Meski pengurus versi Anthony Hamzah tidak hadir, rapat tetap berjalan. Berdasarkan berita acara yang diperoleh Mongabay, peserta rapat sepakat membuat DPU hasil pekerjaan Agustus.

Widar Telaumbanua, koordinator buruh yang hadir saat itu, mengaku sempat kelimpungan mengurus sendiri laporan hasil kerja masing-masing anggota. Dia sekadar merujuk laporan mandor.

Dalam butir kesepakatan lain hasil pertemuan itu, PTPN V justru bersedia membayar gaji bila pengurus versi Anthony Hamzah menandatangani pencairan di rekening bersama. Pernyataan itu berbeda dengan isi surat yang dilayangkan kuasa hukum koperasi versi Anthony Hamzah, yang mengatakan PTPN V justru menahan pencairan dengan membawa alasan dualisme kepengurusan koperasi.

Alhasil, gaji pekerja maupun petani tetap tak dibayar sampai sekarang.

Buruh tetap mogok kerja. Pada 26 September, pagi, beberapa pemuda bersepeda motor, mengaku sebagai pengurus koperasi versi almarhum Martius, datang ke barak pekerja. Seorang diantara mereka dengan suara lantang memerintah para pekerja untuk memanen sawit hari itu.

Rianu Zebua, yang duduk di depan pintu pun tidak nyaman dengan perintah ini. Rianu dan buruh lain pun turun dari barak dan mendekati rombongan. Mereka, tak bekerja sebelum gaji dibayarkan. Para buruh juga tidak memiliki persediaan beras lagi, hari itu. Perdebatan kecil itu pun sampai ke telinga Yusry.

Kepala desa itu sampai turun ke lokasi untuk berdialog. Solusinya, dia memberikan sembako asal semua buruh mau memanen sawit lagi.

Tawaran itu diterima. Sorenya, para buruh berbondong-bondong ke rumah Yusry. Rupanya sembako itu tidak gratis, seperti yang disalurkan pengurus koperasi versi Anthony Hamzah. Selain terima dua karung beras, dua papan telor, minyak goreng dan bensin serta rokok, para buruh juga terima bon utang Rp432.000. Berarti, setelah gajian nanti, mereka mesti mengganti utang sembako itu.

Heri Waruwu, buruh perawatan, tidak menyoal utang itu. Baginya, yang terpenting ada makanan dan keluarga tidak kelaparan. Begitu juga dengan Rianu. Mereka pun mulai kerja kembali keesokan hari tetapi hanya berlangsung empat hari. Masih tidak ada kejelasan mengenai gaji hasil penjualan buah sawit pada Agustus.

Keadaan itulah yang menggerakkan mereka mendatangi kembali kantor PTPN V pada 6 Oktober lalu.

Upah panen terakhir yang mereka kerjakan pada 27-30 September, baru dibayar pada 9 Oktober. Cuma bukan melalui koperasi tetapi diambil langsung di rumah kepala desa. Bahkan, tidak semua terima gaji utuh karena dipotong utang sembako yang dibagikan kepala desa, sebelumnya. Ada pula pekerja yang tidak kebagian sama sekali, karena gaji lebih kecil dari utang.

Rianu, misal, hanya dapat Rp330.000 dari hasil ikut panen dua hari, utangnya Rp430.000.

Yusry mengatakan, pemberian sembako dan pembayaran upah buruh untuk empat hari kerja terakhir adalah inisiatif pribadinya. Dia kasihan melihat para pekerja kelaparan dan menuding pengurus koperasi versi Anthony Hamzah, tidak beri perhatian. Padahal, sebelum dia bagi-bagi sembako dengan dana talangan, pengurus koperasi sudah beberapa kali bahkan lebih dulu melakukan serupa.

“Saya pakai duit pribadi karena merasa terpanggil. Orang itu tak kerja karena tak makan. Saya punya kebun dan punya usaha. Saya sebenarnya menyelamatkan warga saja,” katanya via telepon, 12 Oktober lalu.

Yusry bilang, telah mengeluarkan duit Rp9 juta saat menalangi kebutuhan pokok pekerja di warung.

Perlahan, sembako yang dibagikan ke para buruh pasti akan habis. “Kalau begini bisa mati kelaparan. Kami tidak tahu menahu urusan di atas. Yang penting hasil keringat kami itu dibayar. Sekarang kami menjerit,” ucap Widar, saat mendatangi kantor PTPN V.

Dia berencana mengangkut seluruh tenaga kerjanya keluar dari kebun ketimbang mati kelaparan dalam barak.

Pikiran sama juga tersemat dalam benak Heru dan Rianu. Hanya saja, keduanya masih punya pertimbangan. Bila hendak keluar dari barak, setidaknya mereka punya pegangan uang sebelum dapat pekerjaan baru. Kondisi saat ini, tak ada satu pun pekerjaan yang bisa mereka garap di sekitar tempat tinggal itu.

Mereka juga tidak ingin terlibat dalam persoalan dualisme kepengurusan koperasi. Bagi mereka, yang penting gaji dibayarkan dan tak menunggak begitu lama.

“Kalau boleh jujur, saya lebih senang dan tidak punya masalah dengan pengurus lama (versi Anthony Hamzah). Sejak dialah kebun ini terawat baik, kami diperhatikan termasuk fasilitas dalam ini,” kata Heru, tak dibantah Rianu.

 

Kantor Kopsa M di Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

*****

Foto utama: Anaka-anak buruh sawit ini juga akan terimbas kalau upah orangtua mereka tak dibayarkan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version