- Pengelolaan keuangan daerah dengan Ecological Fiscal Transfers (EFT) atau Transfer Anggaran Berbasis Ekologi telah diadopsi oleh sejumlah pemerintah daerah di Indonesia. Skemanya berupa Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan Skema Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE)
- Pemerintah NTT berkomitmen mewujudkan pembangunan ekonomi hijau yang salah satunya tercantum dalam misi RPJPD Provinsi NTT (2005-2025). Skema EFT diharapkan menjadi alternatif skema pendanaan untuk mencapai visi misi pembangunan Provinsi NTT
- Pada umumnya transfer fiskal untuk mendukung pengelolaan lingkungan hidup berbasis afirmasi, bukan berbasis kinerja. Ini yang coba diseimbangkan dengan tetap menghargai daerah-daerah yang sudah melakukan upaya untuk perbaikan lingkungan hidup sehingga didorong pola transfer fiskalnya berbasis kinerja
- NTT dari hasil pemetaan kemandiriannya masih menengah ke bawah namun pertumbuhannya meningkat sehingga perlu dioptimalkan pertumbuhan ini dengan melakukan beberapa perbaikan, utamanya RPJMD. Perlu inovasi baru dimana salah satu opsi terbaik yakni model bisnis jasa lingkungan, sebuah model bisnis masa depan
Pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar dialog daring Kebijakan Pengembangan Skema Transfer Fiskal Berbasis Ekologis di wilayah NTT, Rabu (6/10/2011). Dalam dialog tersebut Kepala Bappelitbangda Provinsi NTT Kosmas D. Lana menegaskan komitmen pemerintah NTT dalam menjaga ekologi.
Kosmas menyebutkan, berbagai riset menunjukan pengelolaan sumber daya hutan, pesisir dan laut masih dipandang sebagai sumber ekonomi jangka pendek.
Hal ini berdampak kepada dilakukannya eksploitasi yang berlebihan sehingga mengakibatkan berkurangnya tutupan hutan dan kerusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir dan laut.
Situasi ini membutuhkan upaya yang serius dari semua level pemerintahan untuk mengatasi persoalan tersebut.
“Paradigma mengejar pendapatan ekonomi dalam jangka pendek dengan menguras sumber daya alam dan mengorbankan kestabilan lingkungan hidup harus diubah ke arah pembangunan yang lebih berkelanjutan,” katanya.
Kosmas menekankan pentingnya pemerintah daerah menyediakan skema insentif anggaran bagi pemerintah dibawahnya yang berkinerja baik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta pembangunan yang rendah emisi sesuai dengan kewenangannya.
Skema ini dikenal dengan istilah Ecological Fiscal Transfers (EFT) atau Transfer Anggaran Berbasis Ekologi. Sejalan dengan kebijakan pengelolaan keuangan daerah, skema EFT telah diadopsi oleh sejumlah pemerintah daerah di Indonesia.
Skema yang diterapkan berupa Skema Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan Skema Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE).
“Pemerintah NTT telah berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan ekonomi hijau yang salah satunya tercantum dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJPD) Provinsi NTT (2005-2025), yaitu mewujudkan NTT wilayah yang memiliki keseimbangan dalam pengelolaan lingkungan,” ungkapnya.
Kosmas menjelaskan, agenda ini diterjemahkan dalam misi RPJMD 2018-2023, yakni mewujudkan masyarakat sejahtera, mandiri dan adil melalui empat pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan kelembagaan.
“Dengan skema EFT ini, diharapkan menjadi alternatif skema pendanaan untuk mencapai visi misi pembangunan Provinsi NTT,” ucapnya.
baca : Mendorong Pembangunan Berbasis Ekologi dalam RPJMD Sulsel, Seperti Apa?
Berbasis Kinerja
Pada kesempatan yang sama, Margaretha Tri Wahyuningsih dari Asia Foundation mengatakan sebelumnya transfer fiskal untuk mendukung pengelolaan lingkungan hidup berbasis afirmasi, bukan berbasis kinerja.
Dengan begitu semakin parah kerusakan lingkungan hidup yang dialami suatu daerah maka akan semakin besar juga alokasi transfer yang diberikan oleh pemerintah yang lebih tinggi kepada daerah tersebut.
“Ini yang coba kita seimbangkan dengan tetap menghargai daerah-daerah yang sudah melakukan upaya untuk perbaikan lingkungan hidup. Karena itu didorong pola transfer fiskalnya berbasis kinerja,” tuturnya.
Margaretha memaparkan di Provinsi Kalimantan Utara, indikator-indikator dipilih berdasarkan kebutuhan target prioritas yang ada di dalam visi misi kepala daerah terpilih dan RPJMD.
Visi misi itu kemudian dituangkan ke dalam RPJMD dan itu relevan di dalam daerah serta ada ketersediaan data. Ketersediaan data menjadi salah satu tantangan terbesar.
“Ketika ketersediaan data itu ada, maka itu akan lebih mudah untuk didorong seperti di Provinsi Kalimantan Utara,” ungkapnya.
Margaretha menyebutkan, di Kalimantan Utara, indikator-indikator yang didorong ke dalam Pergub No.6/2019 itu adalah pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di areal pemanfaatan lain.
Lanjutnya, ada juga penyediaan ruang terbuka hijau, pengelolaan persampahan, perlindungan sumberdaya air dan pencegahan pencemaran udara yang juga sebenarnya masuk ke dalam indeks pengelolaan lingkungan hidup yang ada di provinsi tersebut.
“Sebenarnya ketersediaan data ini juga kurang lebih pasti tersedia di provinsi lain, namun tetap melihat kepada rencana-rencana strategis dari provinsi tersebut” ungkapnya.
Margaretha melihat komitmen untuk mendorong TAPE di provinsi NTT ini sangat luar biasa dan menjadi salah satu upaya perlindungan hidup melalui komitmen kepala daerah yang perlu banyak dicontoh oleh provinsi lain.
baca juga : Kontribusi Masyarakat Adat dalam Pembangunan Berkelanjutan Tak Bisa Diremehkan
Kebijakan Ekologi
Joko Tri Haryanto dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mengatakan hasil pemetaan kemandirian di NTT masih menengah ke bawah namun pertumbuhannya meningkat.
Joko sarankan agar dioptimalkan pertumbuhan ini dengan melakukan beberapa perbaikan, utamanya RPJMD. Perlu inovasi baru dimana salah satu opsi terbaik yakni model bisnis jasa lingkungan, sebuah model bisnis masa depan.
Ia sebutkan semua negara global konvergensinya satu arah, mengarah ke pembangunan rendah emisi. Ketika semua pemimpinnya bicara di dialog internasional, kalau tidak bicara mengenai emisi karbon terkesan ‘mati gaya’.
“Maka berlomba-lomba membuat inovasi kebijakan dan biayanya tidak banyak. Dari 524 daerah di Indonesia, yang sudah punya inovasi terkait dengan kebijakan ekologi baru bisa dihitung dengan jari,” ungkapnya.
Joko sebutkan, Kalimantan Utara mempunyai posisi yang lebih baik dibandingkan daerah lain karena telah menerapkan inovasi kebijakan ekologi. Inovasi ini memiliki pasar tersendiri dan provinsi ini akan menjadi pemimpin pasar.
Joko menambahkan memang sering dikatakan bahwa dana bukan segalanya tapi masalahnya segalanya butuh dana. Tapi ada proses untuk itu sehingga perlu disamakan frekuensi antara pusat dan daerah.
“Ketika kemudian kita bicara inovasi ekologi maka itu adalah trigger kita mengubah paradigma. Ketika bicara konservasi bukan semata mata bicara biaya tapi dengan konservasi kita bisa men-generate benefit baru yang kemudian di bagikan kepada semua pemangku kepentingan,” jelasnya.
perlu dibaca : Pajak Karbon dan Harapan Pembangunan Indonesia Berkelanjutan
Joko katakana APBN dan APBD itu terbatas. Laporan UNFCCC 26 November 2008 menyebutkan, jumlah investasi dan aliran dana yang diperlukan untuk mencapai target pengurangan emisi (mitigasi) dan peningkatan kemampuan adaptasi jauh lebih besar dibandingkan dengan dana publik yang tersedia baik dari dalam negeri maupun dari mekanisme pendanaan multilateral dan bilateral.
Untuk itu, perlu inovasi, menciptakan perubahan untuk memacu kolaborasi karena kapasitas pendanaan pemerintah terbatas, tidak lebih dari 34%.
Artinya 66% harus dioptimalkan dari non APBN dan APBD. Harus diciptakan kondisi agar 66% bisa datang dengan sendirinya. Tapi tentunya 34% itu harus baik dan kata kuncinya tata kelola berupa tata uang dan tata ruang.
Ada tiga aspek besar yang harus dikerjakan pemerintah daerah. Pertama dimulai dari sisi hulunya, perencanaan penganggaran dengan membuat RPJMD hijau dan berketahanan bencana.
Kedua, implementasi meliputi climate budget tagging, TAPE atau TAKE, pembayaran jasa lingkungan, TAPE DBH-DR dan TAPE PES
Ketiga, ekspansi berupa ekstensifikasi sumber pendanaan APBD melalui Green Climate Fund, BPDLH, PT.SMI (SDG One) dan Forum CSR.
“Setelah itu baru dijual dan dikomunikasikan ke internasional dengan baik karena ada nilainya. Tapi kalau meminta dana usahakan yang banyak sekalian,” sarannya.
baca juga : Bagaimana agar Pembangunan Tak Perparah Krisis Iklim?
Bambu Agroforestri
Direktur Yayasan Bambu Lestari, Arief Rabik mengatakan NTT merupakan titik pusat bambu untuk pembangunan hijau, dengan sumber daya bambu yang besar dan masih utuh.
Ada lebih dari 100 ribu ha hutan bambu dan aksesnya ke hutan cukup gampang. Makanya dikembangkan sistem bambu agroforestri. Gubernurnya melihat bambu sebagai harta karun hijau bagi masa depan konservasi lingkungan dan peningkatakan ekonomi NTT.
Ia tambahkan, dukungan dana APBD menjadikan NTT sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia dengan program pembibitan bambu berskala masif dan berbasis desa yang akan menjadi landasan bagi industri bambu yang lestari.
“NTT telah memiliki roadmap yang jelas tentang pengembangan desa Wanatani Bambu dan industri Bambu Berbasis Desa yang memastikan bambu menjadi solusi ekologi dan solusi ekonomi bagi masyarakat,” paparnya.
NTT telah memiliki kampus Desa Wanatani Bambu Turetogo di Kabupaten Ngada yang menjadi center excellence bagi edukasi, riset dan inovasi tentang semua hal terkait bambu, mulai dari kultivasi hingga teknologi terapan dan industri kreatif.
Arief meyakini terciptanya 200 desa Wanatani Bambu di NTT akan memiliki sumbangan besar bagi penyelamatan bumi karena mampu menyerap 20 megaton CO2 dan memulihkan 400 ribu hektare lahan kritis per tahun.
“Bambu mampu memberdayakan 42 ribu KK petani dan menghidupkan berbagai jenis industri bambu,” pungkasnya.