- Mengelola sektor kelautan dan perikanan bukan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Tugas tersebut menjadi pekerjaan berat, karena ada banyak aspek yang harus diperhatikan dengan seksama
- Salah satu tantangan itu, adalah pemberantasan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, tak terdata, dan melanggar regulasi (IUUF) di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. Aktivitas ilegal itu hingga saat ini masih terus terjadi di beberapa titik perairan strategis
- Untuk mencegah IUUF terus terjadi, kebijakan penangkapan ikan secara terukur akan mulai diterapkan pada 2022 mendatang di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Tahap awal, penerapan dilaksanakan di WPPNRI 715, 717, dan 718
- Model baru tersebut, juga diharapkan bisa menjaga kelestarian sumber daya perikanan dan ekosistem laut secara bersamaan. Juga, bisa tetap memanfaatkan seluruh sumber daya yang ada untuk kepentingan ekonomi nasional
Kebijakan penangkapan terukur rencananya akan mulai diterapkan pada awal 2022 mendatang atau berselang dua bulan dari sekarang. Rencana tersebut akan diterapkan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Selain menyiapkan seluruh infrastruktur yang diperlukan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga terus mematangkan semua tahapan persiapan yang lain, agar penerapan tidak menemui jalan buntu ataupun menemui kendala.
Berdasarkan rencana, kebijakan tersebut akan diimplementasikan pertama kali di wilayah Timur Indonesia meliputi WPPNRI 718 (meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur), 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik), dan 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau).
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebutkan, salah satu upaya yang harus bisa dipersiapkan dari sekarang adalah bagaimana kebijakan penangkapan terukur bisa berjalan dalam pengawasan yang baik.
Dia meyakini, pengawasan menjadi salah satu kunci penting dalam implementasi kebijakan tersebut. Dalam melaksanakan pengawasan, ada sarana dan prasarana yang harus tersedia, misalnya adalah kapal pengawas, pesawat pengawas, dan teknologi informasi.
“Ketiganya menjadi kunci dalam mendukung efektivitas pengawasan kebijakan penangkapan terukur,” jelas dia pekan lalu di Jakarta.
baca : Menanti Model Penangkapan Ikan Terukur Diterapkan di Laut Nusantara
Jika prasyarat yang disebutkan di atas bisa dipenuhi, maka implementasi penangkapan terukur diyakini akan bisa berhasil dilaksanakan. Tentu saja, itu semua menjadi tugas dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP.
Dalam melaksanakan kebijakan tersebut, ada zona yang akan dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, adala zona industri penangkapan ikan (fishing industry), zona bagi nelayan lokal/tradisional, serta zona tempat melaksanakan pemijahan dan pembibitan (spawning and nursery ground).
Selain membagi ke dalam tiga kelompok, implementasi kebijakan penangkapan terukur juga akan dilakukan dengan mengatur sistem kuota tangkapan yang disesuaikan untuk kuota industri, nelayan lokal/tradisional, dan kuota hobi.
Bagi Trenggono, kebijakan penangkapan terukur diterapkan agar proses distribusi pertumbuhan ekonomi menjadi lebih merata di kawasan pesisir. Kemudian, juga untuk meningkatkan daya saing produk perikanan di pasar global, dan meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNB) dari sektor perikanan dan kelautan hingga mencapai target Rp12 triliun.
“Selain itu, juga untuk mendongkrak kesejahteraan nelayan tradisional dan anak buah kapal (ABK),” ucap dia.
Mengingat ada sejumlah sasaran yang ingin dicapai, penerapan kebijakan penangkapan terukur juga harus mendapat pengawalan yang penuh dari para pihak terkait, utamanya Ditjen PSDKP KKP. Pengawalan dilakukan dengan strategi yang matang melalui pemanfaatan sarana dan prasarana yang memadai.
“Mulai dari melakukan pengawasan keseluruhan aktivitas kapal perikanan sesuai dengan zona. Kemudian melakukan operasi pengawasan yang bersinergi dengan pihak pengawas keamanan lainnya,” tambah dia.
baca juga : Menata Ruang Laut, Menyeimbangkan Ekonomi dan Ekologi
Agar pengawalan bisa berjalan sesuai harapan, maka penyusunan dan pelaksanaan strategi operasi harus dilakukan dengan menempatkan kapal pengawas dan pesawat patroli pada zona yang rawan dari aktivitas penangkapan ikan secara ilegal (IUUF), dan juga wilayah perbatasan.
Kemudian, penting juga melakukan pencegahan serta penindakan terhadap kapal yang melakukan alih muat hasil tangkapan di tengah laut (transhipment), dan membawanya langsung ke luar negeri. Dengan kata lain, pengawasan juga harus memastikan setiap kapal bisa mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan terdekat dari zona tangkapan.
Dalam penilaian Trenggono, kesiapan Ditjen PSDKP KKP untuk mengawal dan mengawasi kegiatan penangkapan secara terukur sudah cukup matang. Itu terbukti dengan kinerja yang terus membaik dari waktu ke waktu.
Sampai sejauh ini, dia menyebut bahwa pengawasan laut dan praktik penangkapan ikan dengan cara ilegal juga dilaksanakan dengan baik. Bahkan, kini sudah ada 146 kapal pelaku IUUF yang berhasil ditangkap dari sejumlah WPPNRI.
Lebih detail, dia mengatakan bahwa peningkatan pengawasan di laut Indonesia, akan berdampak bagus untuk pemberatasan IUUF, dan menjaga kelestarian ekosistem laut terus berjalan dengan berkelanjutan. Wilayah laut yang diawasi, dari mulai wilayah perairan teritorial hingga zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Dengan tugas tersebut, Trenggono berani menyebut kalau peran Ditjen PSDKP KKP adalah sebagai wakil Negara dalam menjaga ekologi lautan. Terutama, karena kedaulatan ekologi menjadi kepentingan seluruh masyarakat Indonesia, sehingga harus dijaga dengan baik.
Di sisi lain, agar kegiatan pengawasan bisa berjalan maksimal, maka peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di lingkup KKP menjadi proses yang penting untuk terus dilakukan. Selaras dengan itu, teknologi untuk melengkapi kegiatan pengawasan juga harus terus diperbarui.
“Di samping patroli secara langsung oleh kapal pengawas dan pesawat patroli,” sebut dia.
baca juga : KKP Tambah Kapal Pengawasan di Laut Natuna, Apa Kata Mereka?
Dengan adanya penguatan pengawasan, tidak hanya kegiatan perikanan yang ada di laut saja yang masuk subsektor perikanan tangkap yang mendapatkan manfaatnya. Namun juga, subsektor perikanan budi daya yang melaksanakan kegiatan budi daya perikanan di darat dan pesisir bisa merasakan manfaatnya.
“Menjaga kelestarian ekosistem harus dilakukan secara merata dari hulu hingga hilir. PSDKP ke depan harus menjaga seluruh sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia. Keberlanjutan alam untuk kepentingan generasi selanjutnya,” pungkas dia.
Strategi Terbaik
Direktur Jenderal PSDKP KKP Adin Nurawaludin pada kesempatan sama menjelaskan bahwa pihaknya sudah menyusun strategi pengawasan jika penerapan kebijakan penangkapan terukur mulai berjalan pada awal 2022.
Strategi yang sudah disiapkan itu, di antaranya adalah pengawasan sejak dari sebelum kegiatan penangkapan ikan (before fishing), saat sedang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan (while fishing), selama pendaratan hasil tangkapan ikan (during landing), dan setelah pendaratan hasil tangkapan ikan (post landing).
Dia mengatakan, khusus untuk kegiatan while fishing, kegiatan pengawasan akan fokus dilaksanakan di zona fishing industry dan dilakukan oleh armada kapal pengawas kelas I dan II. Gelar operasi pengawasan tersebut juga mendapat dukungan dengan pengawasan udara (airborne surveillance), dan data dari Pusat Pengendalian.
“Selanjutnya agar operasi di laut berjalan optimal, kami juga akan melakukan sinergi dengan TNI AL dan POLRI,” pungkas dia.
Upaya mendukung implementasi ekonomi biru dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia mendapat dukungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang bekerja sama dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan forum negara Archipelagic Island States (AIS).
Bersama dua lembaga tersebut, Kemenko Marves menyusun rancangan dokumen strategis ekonomi biru (blue financing strategic document/BFSD) yang sudah dilaksanakan sejak 2019. Dokumen tersebut disusun untuk menjadi panduan umum pembiayaan biru dalam pelaksanaan proyek biru.
perlu dibaca : Ekonomi Biru untuk Menjaga Ekosistem Laut dan Pesisir
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Basilio Dias Araujo menjelaskan, dokumen tersebut diharapkan bisa mendefinisikan instrumen apa saja dalam keuangan biru yang bisa selaras dengan sektor publik dan juga swasta.
Dia menyebutkan, jika dokumen BFSD sudah diterbitkan, diharapkan Indonesia bisa menerbitkan surat utang berwawasan kelautan (blue bond). Potensi itu akan sangat besar bisa terwujud dan menjadi peluang baru yang harus dimanfaatkan dengan baik.
Pengelolaan dengan prinsip ekonomi biru menjadi penting bagi Indonesia, karena sumber daya alam yang ada di laut sangat berlimpah. Dalam melaksanakaan pengelolaan, Indonesia harus bisa memberi contoh kepada negara lain bagaimana memanfaatkan setiap potensi yang ada di laut.
“Kita harus menciptakan contoh, kita harus menjadi trendsetter,” tegas dia.
Sebagai negara kepulauan besar di dunia, Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara yang memiliki potensi perikanan tangkap di dunia. Potensi tersebut harus bisa dimanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir.
Salah satu potensi yang dinilai unggul, adalah perikanan tuna yang masih sangat menjanjikan untuk pasar dunia. Dari data Statistics International Trade Centre dan The United Nations Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade), nilai ekspor Indonesia masuk peringkat enam dunia pada 2018.
“Bisa bepikir ke arah itu, bagaimana menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif kita. Ada jutaan ton ikan disana,” terang dia.
baca juga : Transformasi Ekonomi Laut Berkelanjutan untuk Kelestarian Ekosistem Laut
Sementara, bagi Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB University Luky Adrianto, ekonomi biru adalah sistem ekonomi dengan landasan utamanya adalah ekosistem laut. Sistem tersebut fokus pada perluasan kesempatan sosial dan pengurangan limbah terhadap lingkungan.
Terdapat delapan sektor dalam ekonomi biru, yaitu perikanan berkelanjutan, perlindungan laut, pemulihan keanekaragaman hayati dan ekosistem, penanganan limbah, energi terbarukan laut, penanggulangan bencana dan pengurangan risiko, bioteknologi kelautan, wisata, serta teknologi kelautan.
Ada beragam instrumen yang digunakan untuk mengembangkan ekonomi biru, salah satunya adalah diversifikasi instrumen. Bagi Indonesia, diversifikasi sudah diterapkan melalui kebijakan penerbitan Sovereign Thematic Bond dengan menggunakan skema general financing.
Kebijakan tersebut, menurut Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan, Pembiayaan, dan Risiko Kementerian Keuangan RI Deni Ridwan adalah yang pertama di dunia. Oleh karena itu, Indonesia sudah menjadi pelopor untuk diversifikasi instrumen.
Dia mengatakan, pihaknya saat ini sedang bekerja untuk membangun dokumen BFSD dan sekaligus merancang indeks pembangunan ekonomi biru (blue economy development index). Proses tersebut terus berlangsung dan diharapkan bisa mencapai hasil terbaik.