Mongabay.co.id

Gurita dan Tantangan Tata Kelola Perikanan Skala Kecil di Makassar

 

Erwin baru saja datang dari melaut. Dalam kantong kresek yang dibawanya terdapat beberapa kilogram gurita. Perahu kecil yang oleh masyarakat lokal disebut jolloro terombang-ambing dihantam arus saat Erwin menepikan dan menambatkannya di pantai.

Di Pulau Langkai, Kelurahan Barrang Caddi, Kecamatan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan, gurita masih tergolong komoditas baru. Selama ini nelayan setempat lebih banyak menangkap ikan-ikan karang, seperti sunu dan tenggiri. Di musim tertentu mereka mencari telur ikan terbang, bisa dengan dipungut di antara sampah-sampah laut, atau bisa dicari dengan menggunakan alat tradisional, berupa daun kelapa yang dihamparkan di daerah tertentu.

Erwin sedikit senang karena hasil tangkapan gurita cukup banyak. Gurita-gurita ini biasanya disimpan di kantong kresek agar bisa tetap segar tiba di pulau.

Untuk menangkap gurita mereka biasanya menggunakan beberapa alat pancing tradisional. Salah satu yang cukup unik disebut pocong-pocong karena bentuknya yang mirip pocong atau tepatnya gurita, dengan tentakel palsu menjumbai berwarna-warni. Ada juga alat pancing yang disebut bole-bole, yang berisi beberapa mata pancing. Kedua alat pancing ini ramah lingkungan.

Hasil tangkapan biasanya langsung disetor ke pengepul di pulau yang langsung menimbang dan menilai grade-nya, dan langsung dimasukkan ke lemari pendingin untuk menjaga kualitas.

baca : Meski Eksportir Terbesar, Perikanan Gurita Indonesia Belum Berkelanjutan

 

Erwin memperlihatkan alat pancing yang disebut pocong-pocong, berguna menarik perhatian gurita agar muncul di permukaan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menangkap gurita memiliki makna tersendiri bagi Erwin dan masyarakat pulau lainnya. Gurita dikenal memiliki habitat di terumbu karang, sehingga ketersediaannya akan sangat tergantung pada kondisi terumbu karang.

“Kalau terumbu karang rusak, maka akan sangat berpengaruh pada hasil tangkapan kami, jadi kami berkepentingan untuk menjaga kondisi terumbu karang,” kata Erwin kepada Mongabay, awal Oktober 2021 silam.

Wilayah sekitar pulau, tepatnya perairan Spermonde atau Sangkarrang selama ini terancam oleh praktik destructive fishing, seperti bius dan bom ikan. Pelaku selain dari masyarakat pulau juga dari pulau-pulau lain sekitar.

Beberapa nelayan gurita di Pulau Langkai, termasuk Erwin, dulunya adalah pelaku destructive fishing, namun tidak lagi karena merasakan dampaknya. Apalagi dengan adanya penangkapan gurita yang membutuhkan kondisi terumbu karang yang bagus.

 

Tata Kelola Perikanan Gurita Skala Kecil

Saat ini, Yayasan Konservasi Laut Indonesia (YKLI) didukung oleh Critical Ecosystem Partnertship Fund dan Burung Indonesia mendorong tata kelola perikanan gurita skala kecil di Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang.

Menurut Nirwan Dessibali, Direktur YKLI, program yang didorong adalah melalui penangkapan gurita secara berkelanjutan, yaitu pembatasan penangkapan gurita.

“Program yang kami dorong adalah bagaimana nelayan bisa mengelola atau mengatur penangkapan gurita yang berkelanjutan. Salah satunya dengan mendorong sistem penangkapan secara buka-tutup penangkapan, sehingga dengan sistem ini gurita yang ditangkap, setelah ditutup selama tiga bulan, adalah gurita yang besar, grade A dan B, yang bernilai lebih tinggi,” jelasnya.

Dengan adanya tata kelola ini, lanjut Nirwan, diharapkan nelayan juga akan menjaga kelestarian terumbu karang, yang merupakan ekosistem gurita untuk hidup dan berkembang biak.

“Dengan adanya tata kelola perikanan ini, kami berharap nelayan menjadi garda terdepan untuk mencegah hal ini terjadi, sehingga nelayan-nelayan tersebut tidak lagi melakukan penangkapan ikan secara merusak.”

Masih adanya destructive fishing di perairan Makassar, menurut Nirwan, disebabkan antara lain penegakan hukum yang masih lemah, serta kurangnya kesadaran nelayan. Penyebab lainnya adalah faktor kemiskinan, di mana penggunaan alat tangkap destructive ini dianggap sebagai jalan keluar dari kemiskinan, di mana nelayan bisa mendapatkan ikan secara banyak dan cepat.

baca juga : Hari Gurita Internasional, Saatnya Nasib Nelayan Gurita di Indonesia Diperhatikan

 

Yayasan Konservasi Laut Indonesia melakukan pendampingan masyarakat untuk tata kelola perikanan kecil berkelanjutan. Foto: YKL

 

Nilai Ekonomis Tinggi

Di Indonesia sendiri gurita memiliki nilai ekonomis penting di mana dalam beberapa tahun terakhir mengalami tren peningkatan ekspor. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2020 ekspor gurita berada pada peringkat ketiga setelah udang dan tuna-tongkol-cakalang.

“Itu pun gurita digabungkan dengan cumi-cumi dan sotong dengan nilai mencapai USD131,94 juta. Indonesia termasuk 10 besar eksportir gurita global dengan volume ekspor Indonesia sekitar 19 ribu ton per tahun dengan nilai rata-rata USD 98 juta/tahun, yang diekspor ke Italia, Amerika Serikat dan China,” ujar Nirwan.

Penangkapan gurita di Indonesia didominasi nelayan tradisional dan nelayan skala kecil dengan menggunakan alat tangkap sederhana dan mesin perahu di bawah 10 Gross Tonnage (GT). Hal yang sama ditemukan di Kota Makassar yang termasuk dalam wilayah Kepulauan Spermonde. Gurita menjadi salah satu pilihan yang memiliki potensi besar untuk perekonomian nelayan.

Di samping karena penangkapan gurita di Kepulauan Spermonde didominasi oleh penggunaan alat tangkap ramah lingkungan, komoditi ini juga menjadi salah satu primadona dengan permintaan ekspor yang tinggi dari banyak negara.

Menurut Nirwan, kurangnya data dan informasi terkait gurita di perairan Spermonde khususnya Kota Makassar menjadi tantangan yang perlu diatasi. Tren yang terjadi adalah terjadinya peningkatan harga gurita di pasaran yang menyebabkan para nelayan setempat mulai menjadikan gurita sebagai sasaran tangkapan dan sumber pendapatan mereka.

“Beralihnya target jenis tangkapan para nelayan ini perlu diantisipasi dengan adanya suatu rencana pengelolaan gurita yang berkelanjutan sebelum mengalami over eksploitasi, degradasi dan deplesi atau hilangnya sumberdaya tersebut.”

baca juga : Melihat Kesuksesan Sasi Gurita di Minahasa Utara

 

Seorang nelayan penangkap gurita. Foto : Blue Ventures

 

Kebutuhan Riset

Menurut Mardiana Ethrawaty Fachry, dosen Perikanan di Universitas Hasanuddin, gurita adalah salah satu komoditas perikanan yang kurang mendapat perhatian padahal secara global sudah dianggap sebagai kebutuhan penting, sehingga harus dilihat sebagai potensi perikanan yang perlu dikembangkan.

Gurita juga kurang mendapat perhatian dari peneliti-peneliti, termasuk di Unhas.

“Dalam 3 tahun terakhir tak ada riset secara spesifik pada gurita. Minat untuk gurita sangat rendah sekali. Kalaupun ada itu lebih pada aspek pengolahan seperti dibuat kripik, sosis, yang berorientasi lokal,” katanya.

Menurutnya, peran riset di bidang perikanan sangat besar karena akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan nilai tambah produk yang dihasilkan. Sayangnya, pemerintah belum melihat riset sebagai aspek penting, bisa dilihat dari segi pembiayaan yang menempati urutan 43 secara global.

“Masalah lainnya bahwa kalaupun riset ini dilakukan namun sebagian besar hanya untuk menggugurkan kewajiban pemerintah dan kampus, kurang implementasi dan mencari solusi atas masalah-masalah yang terjadi. Kadang kita sudah tahu model dan pendekatan-pendekatannya, namun tak ada tindak lanjut dan pengawasan hasil riset yang telah dihasilkan. Ini harusnya dikembangkan sehingga bisa efisiensi. Faktanya tak ada solusi jangka panjang yang dihasilkan padahal dana yang telah digunakan luar biasa besarnya.”

Riset tentang gurita dinilai penting karena akan terkait upaya apa yang harus dilakukan nelayan agar ketersediaan gurita tetap terjaga. Misalnya, sebuah riset menunjukkan bahwa ketika gurita hidup di karang maka beratnya akan meningkat secara cepat.

“Karakter produksi gurita kalau sudah bertelur dan dititip di karang dan rumput laut, betinanya menjaga, selalu semprot dengan air agar segar, betinanya kemudian mati. Karakter-karakter ini harus dipahami oleh nelayan, kalau masa-masa bertelur jangan berada di sekitar lokasi tersebut. Telurnya akan terangkat. Ini hanya terjawab dengan riset sehingga peran riset sangat besar,” pungkasnya.

 

Exit mobile version