- Tim kolaborasi menelusuri beberapa perkebunan sawit yang diduga masuk kawasan hutan, dan mengikuti jejak sawit dari kebun sampai pabrik kilang minyak (refinery). Dari sana terlihat, sawit-sawit haram masuk ke pasar global.
- Sawit-sawit dari sumber-sumber tak berkelanjutan ini berasal dari perusahaan yang sudah memiliki standar ‘hijau’ baik ISPO maupun RSPO. Sawit-sawit gelap ini pun dibeli oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
- Pasar sawit sangat besar. Di Indonesia, industri ini masif dan terus bertumbuh. Tahun lalu, di masa pandemi, produksi sawit mencapai 48.297.070 ton, volume tertinggi dalam lima tahun terakhir. Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, tren positif serupa. Dari data ekspor yang mereka himpun, selalu terjadi kenaikan setiap tahun dengan angka tertinggi pada 2019 sebesar 37, 390 juta ton.
- Greenpeace mencatat, dari 100 perusahaan anggota RSPO yang mereka identifikasi, masing-masing ternyata memiliki lebih 100 hektar kebun di kawasan hutan. Bahkan, ada delapan perusahaan masing-masing memiliki lebih dari 10.000 hektar sawit dalam kawasan hutan.
Truk dengan nomor polisi BM 9971 JU terlihat di depan SPBU 13.287.616 Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau. Warga setempat menyebut tempat ini dengan Simpang Bangko. Ini pertigaan yang memisahkan dua rute menuju Kota Dumai.
Sebelumnya, jejak truk pengangkut minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ini sempat tersamarkan di antara ratusan truk serupa yang lalu lalang di Kandis, 80 KM dari Simpang Bangko. Selama lebih dari empat jam, truk ini berjalan kurang dari 40 Km per jam.
Seakan tahu sedang dibuntuti, sopir truk lantas tancap gas dan memanfaatkan keriuhan kendaraan yang lalu lalang atau berhenti di jalan lintas timur Riau ini. Mencegat di Simpang Bangko, cara terbaik untuk memastikan tujuan truk ini ke arah Dumai.
Satu ciri paling mudah mengenali truk ini ada di kaca bagian depan. Sebuah stiker putih bertuliskan ‘Okem’. Cemong di wajahnya inilah yang membuat ia mudah terlihat dari jarak 50 meter sebelum berpapasan.
Sekitar 16 jam sebelum itu, ‘truk okem’ ini mengaspal dari Desa Siabu, Kampar. Truk terlihat keluar dari perempatan Desa Ridan Permai pukul 13:40 WIB membawa hasil perasan buah sawit dari pabrik sawit PT Ciliandra Perkasa (CLP).
Selaiknya ratusan truk dari PKS-PKS lain yang berserakan seantero Riau, ‘truk okem’ ini pun memiliki tujuan sama, melewati Kandis untuk mengantarkan CPO ke deretan kilang minyak sawit yang berbaris di Dumai, pesisir Timur Riau.
Dari sana, CPO akan mengalir ke pasar di dalam dan luar negeri.
Dari Simpang Bangko sampai tujuan terakhir ‘truk okem’, ke refinery PT Adhitya Serayakorita di Bangsal Aceh, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai, perlu waktu empat jam. Tepat pukul 10.20 WIB pada 22 Agustus lalu, truk memasuki area parkir dan bergabung dengan belasan kawan yang sudah terlebih dahulu antre.
Seri sawit di kawasan hutan: Gelap Pajak di Kebun Sawit

CLP maupun refinery Adhitya Serayakorita, merupakan anak perusahaan dari First Resources Limited, grup sawit yang bermarkas di Singapura. Lewat refinery ini, CPO lantas disebar ke berbagai pembeli.
Pasar sawit sangat besar. Di Indonesia, industri ini masif dan terus bertumbuh. Tahun lalu, di masa pandemi, produksi sawit mencapai 48.297.070 ton, volume tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, tren positif serupa. Dari data ekspor yang mereka himpun, selalu terjadi kenaikan setiap tahun dengan angka tertinggi pada 2019 sebesar 37, 390 juta ton. “Neraca perdagangan kita minus kalau tidak ada sawit,” ucap Joko Supriyono, Ketua Umum Gapki, 15 Oktober lalu.
Joko sambil menunjukkan catatan, termasuk nilai ekspor sawit yang mencapai US$22,97 miliar tahun lalu. Neraca perdagangan Indonesia surplus US$21 miliar.
Industri ini tetap menggeliat sekalipun pandemi meruntuhkan banyak sektor ekonomi. Pasar dan cuan yang menggoda memastikan industri ini bertahan di dalam situasi tersulit.
Sayangnya, geliat bisnis sawit ini tidak dibarengi dengan praktik yang baik. Prinsip keberlanjutan kerap dikesampingkan demi memenuhi permintaan pasar.
Sertifikasi keberlanjutan, baik Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang digagas pemerintah maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diinisiasi pasar, seakan katebelece belaka. Prinsip-prinsip keberlanjutan bak jadi jargon semata.
First Resources Group, yang membawahi CLP dan Adhitya Serayakorita, misal, merupakan anggota RSPO yang semestinya memenuhi prinsip dan kriteria keberlanjutan sesuai standar asosiasi.
Kalau ditilik, akar masalah ada pada asal CPO di CLP. Sehari sebelum ‘truk okem’ masuk ke refinery , tim kolaborasi sempat mengunjungi PKS CLP dan melihat bagaimana CPO berasal dari praktik sawit yang tak berkelanjutan.
Sawit haram
Asap putih pekat membumbung tinggi dari cerobong asap pabrik CLP. Fasilitas produksi minyak sawit mentah berkapasitas 45 ton tandan buah segar per jam itu tersembunyi di belakang kebun Sei Batang Ulak, unit perkebunan sawit Ciliandra di sisi selatan Desa Siabu, Kampar, Riau.
Sore itu, portal berkelir putih-biru di depan pabrik berulang kali diangkat untuk dilalui truk pengangkut buah sawit yang baru dipanen dari kebun.
Menjelang magrib, sekitar pukul 17.30 WIB, giliran truk berkepala kuning melintas, masuk ke area pabrik. Bak cokelat berkarat di punggung truk itu menggendong tumpukan buah sawit.
Truk itu punya penanda unik. Stiker 02 CLP menempel di kaca depan. Tiga jam sebelumnya, truk sama terlihat berkeliling di area blok I-11 hingga I-19 kebun Sei Batang Ulak. Beberapa kali truk itu berhenti, menurunkan tiga kuli yang bertugas menaikkan tandan buah segar (TBS) ke bak.
Kode blok ini dapat dikenali dari plat-plat bulat berwarna biru yang menempel di setiap batang sawit, di sudut persimpangan antar-blok.
Sekitar 500 meter ke arah utara dari titik truk 02 CLP mengangkut TBS hasil panen siang tadi, berdiri rumah-rumah kayu. Warga Siabu biasa menyebut dengan Mess Vietnam. Di depan komplek ini terpancang papan plang putih setinggi dua meter.
“PT Ciliandra Perkasa Kantor Afdeling IV Kebun Sei Batang Ulak.” Begitu bunyi tulisan di papan itu.
Cat putih tak menghapus penuh tulisan lama yang samar-samar terbaca: Afdeling VI.
Tak terang kapan pergantian nama itu dilakukan. Di bisnis perkebunan, afdeling merupakan pembagian wilayah kerja. Satu afdeling biasa meliputi areal seluas sekitar 1.000 hektar. “Blok I-9 sampai I-12 sedang panen. Biasanya hasil di sini baru diangkut sore hari,” kata Surya, bukan nama sebenarnya, Jumat itu.
Surya tinggal di mess Vietnam bersama 31 orang. Seperti Surya, kebanyakan pekerja kebun Ciliandra yang bertugas sebagai kuli panen sawit itu berasal dari Nias, Sumatera Utara. “Buruh harian lepas,” katanya.
Yang dia tak tahu, mess di afdeling IV Ciliandra Perkasa itu berdiri di atas kawasan hutan produksi konversi (HPK). Sawit-sawit yang ditanam dan panen, termasuk yang diangkut truk 02 CLP juga berada di kawasan hutan. Perkebunan ini bahkan berada di luar areal hak guna usaha Ciliandra di sebelah timur.
Sejak April lalu, tim kolaborasi menganalisis ulang tutupan sawit di 28 provinsi. Tim menumpuk poligon-poligon sebaran tutupan sawit itu dengan peta kawasan hutan Indonesia. Hasilnya sawit menduduki kawasan hutan seluas 3,35 juta hektar, sedikit lebih luas dibandingkan wilayah Jawa Tengah. Khusus di Riau dan Kalimantan Barat, tim mengidentifikasi sawit-sawit dalam kawasan hutan yang dilengkapi izin dan penyerahan hak dari negara seperti HGU dan izin usaha perkebunan (IUP).
Area HGU Ciliandra Perkasa, seluas 3.787 hektar, sebenarnya terindikasi beririsan cuma sekitar 54 hektar dengan kawasan hutan di Kampar. Hasil intepretasi citra satelit terhadap penampakan tutupan sawit di sekitar “kebun resmi” perusahaan mengindikasikan, Ciliandra telah membangun perkebunan di luar HGU.
Kebun-lebun ini meluber ke IUP mereka yang masih berada di dalam kawasan hutan seluas 2.209, 08 hektar.
Jejak Ciliandra pada kebun-kebun sawit di kawasan hutan tak hanya kentara di areal afdeling IV, yang berstatus HPK.
Kamis siang, 19 Agustus lalu, atau sehari sebelum menemukan truk 02 CLP mengangkut sawit dari kebun dalam HPK, tim menyusuri wilayah hutan produksi (HP) di selatan HGU perusahaan. Barisan sawit berderet rapi menutupi kawasan ini.
Di tengah blok perkebunan ini, sekitar empat kilometer dari mess afdeling IV, aroma kimia menusuk tajam hingga ke pangkal hidung.
Kantong-kantong pupuk telah kosong berserakan di pinggir jalan tanah yang becek diguyur hujan. Logo dan nama First Resources, induk Ciliandra di Singapura, tercetak di kantong-kantor berkelir putih itu.
Di blok perkebunan ini pun tersebar TBS siap angkut, antara lain berada di sepanjang koridor J30 hingga lebih dari 300 meter ke arah selatan. Sama seperti kebun di HPK, TBS-TBS di sini pun diangkut oleh truk yang datang pada sore hari, sekitar pukul 16:00 WIB, kala itu.
Sawit-sawit dalam HPK dan HP ini-lah yang akhirnya bercampur di PKS dan dibawa ke refinery Adhtiya Serayakorita. Dari situ, berbagai pedagang (trader) dan pembeli (buyer), secara langsung maupun tak langsung, diduga ikut menikmati sawit haram ini.
Terserap pasar
Dari hasil analisis tim, minyak sawit dari CLP dan Adhitya Serayakorita ini mengalir ke berbagai trader dan buyer langsung ataupun tidak. Analisis melalui dokumen daftar PKS pemasok hingga 2020 yang diterbitkan publik dan bisa terakses bebas.
Perusahaan pedagang sawit seperti Cargill, Wilmar, Neste, IFFCO, hingga ADM Global menjadi penampung sawit perusahaan yang dimiliki Ciliandra Fangiono ini. Di tingkat buyer, jejak sawit CLP atau Adhitya Serayakorita ini terendus hingga merek ternama seperti Colgate, Nestlé, PepsiCo, Procter & Gamble (P&G), Danone, Unilever dan Hershey.
Salah satu perusahaan lain yang didatangi tim kolaborasi adalah Padasa Enam Utama, terletak di Desa Sibiruang dan Gunung Malelo, Kecamatan Koto Kampar Hulu, Kampar, Riau. Perusahaan bersertifikat ISPO ini pun menjual sawit haram. Nama perusahaan ini bahkan terpampang di laman PT Mutu Hijau Indonesia, lembaga yang dipercaya untuk melakukan sertifikasi ISPO.
Perusahaan ini memiliki nomor sertifikat ISPO 0006/MHI-ISPO berlaku sejak 19 Juli 2021-18 Juli 2026. Bertolak belakang dengan marwah ISPO, Padasa mengoperasikan 3.500 hektar kebun sawit di dalam kawasan hutan, tepatnya, hutan produksi yang dapat dikoversi (HPK) dan hutan lindung (HL).
Hasil pengecekan lapangan menunjukkan, area ini dioperasikan perusahaan dalam pola kredit koperasi primer anggota (KPPA) bersama Koperasi Unit Desa (KUD) Tiga Koto. Dari pengecekan lapangan ditemukan bagaimana panen Padasa di berbagai lokasi, termasuk di kebun yang menduduki hutan lindung.
Bahkan, sejumlah pekerja di kebun menyebut KUD Tiga Koto menginduk ke pengelolaan kebun Padasa. Dalam bahasa para pekerja, koperasi ini adalah ‘anak perusahaan’.
Dari analisis dokumen, Padasa tercatat sebagai pemasok Wilmar, GAR, Cargill, Apical, Fuji, AAK, IOI dan Olam. Tidak hanya itu, Padasa juga tercatat dalam daftar PKS pemasok CPO dari PepsiCo, Danone hingga Hershey.
Praktik Adhitya Serayakorita dan Padasa ini makin menunjukkan, kalau sertifikasi ‘hijau’ sawit belum jadi jawaban untuk kepatuhan perusahaan akan praktik berkelanjutan.
“Intinya, ISPO dan RSPO ini tidak menjamin,” kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, pertengahan Agustus lalu.
Greenpeace mencatat, dari 100 perusahaan anggota RSPO yang mereka identifikasi, masing-masing ternyata memiliki lebih 100 hektar kebun di kawasan hutan. Bahkan, ada delapan perusahaan masing-masing memiliki lebih dari 10.000 hektar sawit dalam kawasan hutan.
Masih catatan Greenpeace, ada 252.000 hektar sawit dalam kawasan hutan dimiliki perusahaan dengan sertifikasi ISPO.

Beda tanggap
“We will now start our formal investigation.” Begitu bunyi inti surat elektronik yang dikirim oleh Siân Morris, Senior Director P&G Corporate Scientific and Sustainability Communications kepada tim kolaborasi, 15 Oktober lalu.
Selama tiga hari, tim dan Siân berkomunikasi intens, menanggapi dugaan perusahaan disusupi sawit haram.
Dalam surat itu, Siân menyebut sudah melakukan kajian awal. Hasilnya, perusahaan penghasil barang-barang konsumen yang bermarkas di Amerika Serikat ini tidak bisa memungkiri bahwa Ciliandra Perkasa dan Padasa menjadi bagian dari rantai pasok kebutuhan sawit mereka.
Selain itu, ada pula PT Tasma Puja (Riau) dan Rezeki Kencana (Kalimantan Barat) yang mereka akui. Kedua perusahaan ini pun didatangi tim kolaborasi.
Senada dengan P&G, produsen makanan dan minuman Nestlé juga mengakui analisis tim kolaborasi tentang ada sawit haram masuk ke perusahaan mereka. Dalam hal ini, Nestlé menerima asupan dari Ciliandra Perkasa dan Rezeki Kencana. Serta perusahaan lain yang juga didatangi tim, PT Tasma Puja dan PT Sumbar Andalas Kencana.
“Mereka masuk rantai pasok dari supplier hulu kami,” tulis Nestlé.
Temuan tim ini dianggap serius dan investigasi pun dilakukan Nestlé melalui pemasok langsung mereka. Perusahaan asal Swiss ini menyebut akan ada sanksi kalau penyuplai mereka terbukti melanggar standar keberlanjutan yang bertanggung jawab mereka.
Tim juga menemukan ada koneksi perusahaan yang menjual sawit haram ini dengan Wilmar International Limited. Hanya, dari lima perusahaan yang dianalisis menjadi penyuplai Wilmar, mereka hanya menanggapi soal PT Rezeki Kencana, saja.
Hampir tidak ada tanggapan dari perusahaan mengenai temuan tim. Ciliandra Perkasa, misal, menurut keterangan Satim, staf di sfat Divisi Office Management First Resources Jakarta, surat permohonan wawancara sudah berada di tangan Corporate Communication First Resources Limited Indah Permata pada Jumat, 16 Oktober lalu.
Padahal, tim sudah mengirimkan surat ke kantor di Jakarta di Gedung APL Tower sejak 5 Oktober dan kantor di Pekanbaru di Surya Dumai Building, sehari setelahnya. Sementara Indah Permata coba dihubungi lewat Linkedin tak memberi respons.
Dari Padasa, tim hanya diminta menghubungi pengacara perusahaan Wismar Haryanto. Perusahaan ini sedang berperkara di Pengadilan Negeri Bangkinang. Penggugatnya adalah Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dengan perkara serupa dengan temuan tim.
Saat dihubungi, Wismar menyebut belum bisa memberi tanggapan karena belum membaca permohonan wawancara yang sudah diberikan. Dia juga menyebut, kalau tidak mau membahas soal perkara pengadilan karena baru akan memberi hak jawab pada 21 Oktober. “Tidak seperti yang disampaikan,” katanya singkat menanggapi gugatan yang ditimpakan pada Padasa.
*Laporan seri pertama tim kolaborasi riset dan peliputan Mongabay Indonesia, Tempo, Betahita, dan Auriga Nusantara mengenai pajak dan pasar sawit ini terselenggara atas dukungan Perkumpulan Prakarsa, Eyes on the Forest, Jikalahari, dan Greenpeace Indonesia.
*****
Foto utama: Ilustrasi. Jutaan hektar kebun sawit di Indonesia, berada di dalam kawasan hutan. Foto: Shutterstock.com