Mongabay.co.id

Bagaimana Kesiapan Kota Padang Hadapi Gempa Megathrust?

Basarnas evakuasi korban gempa dan tsunami di Palu, Sulteng, Minggu (30/9/18). Foto: Twitter Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data dan Humas BNPB

 

 

 

 

Hamdan masih ingat kejadian saat gempa dan tsunami sore pada 2009 itu. Tubuh seorang anak dengan kaki melipat setengah hingga pinggang, sisanya terhimpit bangunan roboh. Anak itu tewas tertimpa reruntuhan gedung bimbingan belajar.

Hamdan merangkak mencari jalan menuju ruangan mencari guru dan murid yang selamat dari reruntuhan karena berlindung di bawah meja.

“Peristiwa waktu itu harusnya membuat pemerintah belajar,” kata relawan Palang Merah Indonesia (PMI) bagian kebencanaan ini.

BNPB mencatat untuk Kota Padang ada 313 orang meninggal, 431 luka berat, 771 luka ringan serta dua orang hilang. Total tewas di Sumatera Barat lebih 1.000-an orang. Sumbar alami kerugian triliunan rupiah. Ribuan rumah milik warga maupun infrastruktur rusak.

Pemerintah kemudian bereaksi dengan banyak rencana. Salah satunya, membangun empat shelter enam lantai untuk warga saat tsunami megatrusth. Tujuannya, saat tsunami warga bisa lari ke shelter sebagai tempat evakuasi sementara.

Masing-masing shelter menghabiskan biaya Rp20-Rp25 miliar. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang perlu setidaknya 100 shelter.

Reaksi ini sekaligus upaya untuk menanggulangi bencana megathrust yang diperkirakan BNPB di zona patahan Mentawai, dalam beberapa dekade ke depan.

 

Terabaikan

Kini, sudah 12 tahun sejak 30 September 2009. Mongabay mencoba datang ke dua dari empat shelter untuk melihat kondisi tempat penangangan bencana di Padang ini.

Hendra, anggota Ikatan Pemuda Komplek Wisma Indah V Jondul III dan Pengembangan (IPK Wijobang) mengatakan, mereka ikut mengawasi shelter yang dibangun BPBD Sumbar ini.

Seingat dia, bangunan evakuasi gempa dan tsunami ini dibangun pada 2017. Ikatan pemuda ini berinisiatif meramaikan shelter ini dengan mengajak anak-anak muda sekitar berolahraga atau bermain di sana.

 

Monumen gempa Padang. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Doni, anggota IKP Wijobang mengatakan, mereka mengecek bangunan sampai atap. Ternyata, banyak kabel lampu putus dan hilang. Mesin genset di atap juga banyak hilang.

Hendra mengatakan, ada orang dari BPBD datang dan memotong tangga menuju enam toa pemberitahuan di atap. “Alasannya, agar-anak-anak tidak naik. Tapi jadi susah memeriksa pengeras suaranya,” katanya.

Pada atap itu ada juga dua tangki air tetapi tidak dapat digunakan karena sulit ke atap karena perlu pakai tangga tambahan. Tangki air pun dibiarkan. Shelter ini, tidak ada listrik dan air. Beberapa pemuda berinisiatif untuk memperbaiki lampu-lampu di lantai dasar.

Shelter TES di Kecamatan Ulak Karang, lebih parah. Pasokan air tidak ada, toilet tidak terawat dan instalasi listrik tidak ada. Hanya ada bekas jalur instalasi dengan kabel sudah dicabut. Tangga menuju alat pengeras suara untuk memberi tanda ada gempa atau tsunami di atap paling atas juga tak bisa diakses karena tangga terpotong.

Kalau di shelter Wisma Indah ada yang mengelola, shelter ini tak ada pemeliharaan sama sekali.

Menurut Doni, shelter tak ada yang mengawasi karena tak ada komunikasi jelas antara BPBD dan masyarakat. “Ini saja sudah banyak rusak dan hilang baru BPBD komunikasi dengan masyarakat,” katanya.

Shelter ini, katanya, penting bagi masyarakat. Tak ada yang tahu kapan bencana akan terjadi. “Ketika terjadi bencana datang, masyarakat datang kesini, bagaimana menanganinya? Air dan toilet juga tidak berfungsi?”

Henry, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kota Padang mengatakan, dua shelter dengan fasilitas buruk itu belum diserahterimakan pada Pemerintah Kota Padang dan ke BPBD Kota Padang. Yang sudah diserahkan hanya di Tabing, dengan fasilitas masih bagus dan terawat karena warga itu memelihara dan jadi tempat parkir mobil.

BPBD, katanya, sebagai leading sector dari program ini otomatis jadi pengawas shelter. Mengenai perawatan dan penggunaan shelter saat tidak ada bencana, katanya, masyarakat bisa memanfaatkan untuk kegiatan sosial.

“Kalau ada yang mau olahraga, bikin kegiatan sosial dan acara masyarakat lain, shelter itu bisa digunakan selama tidak ada bencana,” katanya.

Ketika ditanya soal anggaran pengelolaan shelter Henry bilang, tidak tahu. “Ada bidangnya yang mengurus soal anggaran pemeliharaan,” katanya. Dia menunjukkan nama yang harus dikonfirmasi dan Mongabay coba hubungi tetapi tak ada respon.

Rumainur, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sumbar membenarkan ada shelter yang tidak terawat karena belum diserahkan ke Pemerintah Kota Padang. Dia bilang, bukan pemerintah provinsi ke pemerintah kota melainkan dari pusat.

“Konfirmasi ke Kementerian Keuangan itu, kenapa belum diserahterimakan,” katanya kepada Mongabay.

 

Tidak ada akses menuju pengeras suaa di Lantai 6. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Siap hadapi bencana?

Henry mengatakan, untuk hadapi bencana gempa dan tsunami sudah menyiapkan evakuasi vertikal dan horizontal. “Untuk horizontal sudah kita bikin rambu-rambu agar dapat menjauhi bibir pantai dan tahu tempat yang diperkirakan aman dari tsunami,” katanya.

Dasar dari penentuan perkiraan zona aman tsunami itu sudah diteliti para ahli dan berdasarkan tinggi daratan secara geografis. “Itu tinggi sekitar 12 meter dari permukaan laut, jadi diperkirakan tempat itu aman.”

Rambu-rambu zona aman itu mereka bikin di perbatasan zona merah peta bencana Kota Padang.

Untuk evakuasi vertikal, BPBD membangun shelter. Ada empat shelter baru dibangun.

Sebenarnya, Kota Padang perlu lebih 100 shelter untuk penyelamatan warga. Karena terkendala dana, baru empat shelter terbangun. “Ada shelter di dekat Masjid Darusalam di Tabing, Shelter dekat Masjid Nurul Haq di belakang asrama haji, di Ulak Karang dekat kampus Universitas Bung Hatta dan di Polonia di Tabing, dekat kawasan Tunggul Hitam,” katanya.

Henry bilang, bangun shelter itu tak murah, bisa Rp20-Rp25 miliar buat satu unit lengkap dengan instalasi listrik, toilet, air dan fasilitas lain.

Strategi lain, BPBD Kota Padang mendata bangunan yang memungkinkan jadi shelter evakuasi warga. “Kita datalah bangunan tinggi yang lantai tiga sampai empat. Kita lihat apakah layak jadi shelter, kita lakukan juga uji struktur terhadap bangunan. Kita bekerjasama dengan Fakultas Teknik Sipil Universitas Andalas dan Universitas Negeri Padang,” katanya.

Dari pendataan itu, ada sekitar 72 bangunan bisa jadi shelter dan 10 sedang dalam pengujian.

“Kalau bangunan layak baru kita kasih label layak sebagai potential shelter.”

 

Kesiapan

Henry mengatakan, Kota Padang mencanangan program cerdas bencana. Program ini diikuti tingkat keluarga, sekolah, rumah sakit, pasar, kampus hingga hotel.

“Setiap kelurahan kami juga punya Kelompok Siaga Bencana yang terdiri dari 15-20 orang per kelompok.”

Ada lebih 135 sekolah mereka dampingi untuk membentuk sekolah cerdas bencana.

“Untuk masyarakat atau keluarga cerdas bencana, penyuluhan kita lakukan dari rumah ke rumah. Kita berikan leaflet tentang apa yang harus dilakukan ketika ada gempa.”

Barlius, Kepala BPBD Kota Padang mengatakan, tidak bisa mengukur keberhasilan pelatihan tanggap bencana yang mereka lakukan. “Bagaimana mereka bersiap ketika keadaan bencana sebenarnya itu yang tidak bisa diukur. Mudah-mudahan mereka bisa melaksanakan materi-materi yang sudah kita berikan,” katanya.

Mongabay menanyakan indikator kesiapan itu ke BPBD Sumbar. Rumainur, bilang, ada perbedaan reaksi pada masyarakat antara sebelum gempa 2009 dengan setelahnya. Masyarakat jadi tak panik berlebihan.

“Kini kalau gempa 5 skala ritcher itu dianggap biasa. Berbeda dengan orang baru yang tinggal di Padang akan panik luar biasa.”

 

Di Shelter Ulak Karang, tak ada listrik. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Bila gempa berpotensi tsunami dan berlangsung agak lama, pemerintah akan membunyikan sirine di tepi pantai.

Masalahnya, tidak semua sirine berfungsi. Rumainur akui itu. “Karena keropos dan rusak kena hujan dan panas, setiap tanggal 26 kita bunyikan tapi memang ada yang rusak dan tidak bunyi.”

Dalam rencana kontinjensi menghadapi tsunami Sumbar yang sudah disepakati berbagai instansi pemerintah pada 2012, tertera logistik yang diperlukan dan siapa yang menyediakan.

Dalam rencana kontinjensi disebutkan, BPBD diberi mandat merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat. Efektif dan efisien serta berkoordinasi dalam penanggulangan bencana secara terencana terpadu dan menyeluruh.

Satu poin tentang logistik juga menyebutkan, perkiraan kebutuhan saat terjadi skenario gempa megathrust 8,9 SR perlu anggaran sekitar Rp2 triliun. Terkait sanitasi tercatat perkiraan kebutuhan seperti tempat sampah 100 liter, penyemprotan vektor, satu jamban untuk 20 keluarga dengan jarak 30 meter dari sumber air. Begitu juga tempat mencuci pakaian dan peralatan rumah tangga yang bisa dipakai buat 100 orang.

 

Sanitasi saat bencana

Masalah sanitasi saat bencana penting mendpat perhatian karena terkait kesehatan masyarakat. “Sanitasi kalau standar di kota jalan sebelum bencana. Tapi kalau sudah kejadian (bencana) saya nggak bisa jawab. Harus kejadian dulu baru jalan atau tidak sanitasinya,” katanya.

Untuk toilet portabel saja, mereka hanya punya empat. “Kalau pas kejadian titiknya bisa 60-70,” katanya.

Sanitasi memang jadi masalah saat bencana tetapi di Sumbar, warga berupaya penuhi secara swadaya.

“Orang Sumbar itu kalau terjadi gempa, mereka bikin (toilet) darurat dekat sungai. Sebagian besar mereka nggak mau mengungsi, maunya ke tempat tetangga.”

 

Shelter Ulak Karang dengan kondisi tak terurus. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

*****

Foto utama: Ilustrasi. Perlu antisipasi kalau gempa besar terjadi guna mengurangi risiko korban jiwa. Foto: BNPB

Exit mobile version