Mongabay.co.id

Sekolah Lapang Efektif Berdayakan Petani dan Perempuan

 

Nursiah baru saja datang ketika kami tiba di rumahnya. Ia baru pulang dari pertemuan desa. Beberapa hari ini ia sangat sibuk dengan berbagai kegiatan di desa dan kecamatan.

Di halaman rumahnya yang sempit terdapat beberapa drum besar berisi pupuk cair yang siap digunakan. Selain digunakan sendiri juga diberi ke petani lain, biasa digunakan untuk tumbuhan pekarangan rumah.

Nursiah, warga Desa Lawallu, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, adalah penyuluh mandiri di desanya. Ia juga aktif di Bumdes dan aktif di berbagai kegiatan kecamatan. Ia dikenal sebagai perempuan aktivis dan kerap dimintai masukan untuk kegiatan-kegiatan di desa dan kecamatannya.

“Pernah dijemput di kebun karena ada kegiatan musrembang kecamatan, pak camat tak mau mulai kalau saya tidak hadir,” katanya sambil tertawa, ketika ditemui Mongabay pertengahan September 2021 silam.

Bersama beberapa perempuan di desanya, Nursiah adalah alumni Sekolah Lapang yang diselenggarakan oleh program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam tahun 2010 silam, yang difasilitasi oleh Mangrove Action Project (MAP) yang sekarang berganti nama menjadi Yayasan Hutan Biru/Blue Forest.

Sebelum mengikuti Sekolah Lapang, Nursiah hanyalah ibu rumah tangga yang seharian mengurus keluarga dan tak tahu apa-apa. Setelah mengikuti Sekolah Lapang, kehidupannya berubah total. Ia yang dulunya tak berani bicara di depan orang banyak, mulai bisa percaya diri. Ia bahkan dipercayakan mengurus Bumdes dan menjadi penyuluh pertanian mandiri di desanya, dan menjadi wakil kecamatan di lomba penyuluh mandiri tingkat kabupaten.

“Kalau dulu bingung di rumah saja tanpa kegiatan, sekarang malah terbalik, sangat sibuk hingga sulit membagi waktu antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain, belum lagi kegiatan kelompok yang masih harus diurus,” katanya.

baca : Menelisik Tantangan dan Harapan Pertanian Organik di Sulsel

 

Nursiah, alumni Sekolah Lapang RCL Oxfam di Kabupaten Barru, dari ibu rumah tangga biasa kini menjadi pengurus Bumdes dan penyuluh mandiri pertanian. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Selain belajar tampil di depan publik, di sekolah lapang Nursiah juga belajar administrasi, manajemen usaha dan pembuatan pupuk kompos dan mikro organisme lokal (MOL). Keahlian yang diperoleh dari Sekolah Lapang tersebut membawanya menjadi penyuluh mandiri, meski basic-nya bukanlah petani, hanya ibu rumah tangga.

Nursiah selanjutnya mengapresiasi capaian Sekolah Lapang yang diikutinya terkait pengelolaan lingkungan di desanya.

“Sekolah lapangan ini memberi perubahan cukup signifikan bagi warga, termasuk kepedulian terhadap mangrove,” katanya.

Menurut Ratnawaty Fadilah, Socio Economics Technical Advisor, Yayasan Hutan Biru (YHB), salah satu tujuan dari Sekolah Lapang adalah bagaimana membangun percaya diri dan kemandirian petani dan petambak.

“Pengalaman kami, di beberapa wilayah di Pangkep, Barru dan Takalar mereka bisa mandiri setelah mengikuti Sekolah Lapang dan bahkan mereka terus melanjutkan proses dari sekolah ini dan mengembangkannya sendiri.”

Sekolah Lapang juga berkontribusi bagi terwujudnya kemandirian pangan. Beberapa petani dampingan YHB sukses dengan pertanian organik, yang bahkan telah menjadi sumber mata pencaharian.

“Contoh ada Bu Rahma dan pak Arief sudah sangat mandiri pangan, punya sawah sendiri, tidak beli padi, ada tambak dan kebun sayur, proses jual beli masih terus berlangsung. Mereka mengembangkan produk lain secara mendiri dan mengembangkan pertanian terpadu.”

Selain memberdayakan petani, Sekolah Lapang juga memberdayakan tenaga penyuluh. Beberapa tenaga penyuluh yang terlibat dalam kegiatan Sekolah Lapang kini lebih percaya diri terjun di tengah masyarakat.

“Dulu ada penyuluh jarang ke desa karena takut ditanya-tanya dan tidak bisa menjawab. Sekarang beliau sangat rajin ke desa bahkan bisa menyewa tambak sendiri yang dikembangkan sendiri dengan basic ilmunya.”

baca juga : Begini Cerita Sekolah Pinggir Hutan yang Ajarkan Kearifan Lingkungan

 

Salah satu metode pembelajaran Sekolah Lapang adalah pratek langsung di lapangan sehingga peserta lebih mudah paham tentang apa yang diajarkan. Foto: Yayasan Hutan Biru/Blue Forests

 

Menurutnya, Sekolah Lapang membangun kemandirian petani ataupun masyarakat pesisir secara umum.

“Ada kemandirian masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan pemenuhan kebutuhan pangan.”

Sekolah Lapang sendiri telah menjadi program unggulan Yayasan Hutan Biru sejak 2010 lalu, dimulai ketika terlibat dalam program RCL Oxfam di sejumlah daerah di Sulsel.

Menurut Yusran Nurdin Massa, Environmental Technical Advisor (ETA) di YHB, sepanjang tahun 2010 hingga sekarang, YHB telah melaksanakan sejumlah Sekolah Lapang, antara lain 72 unit SL di program RCL dan beberapa program di Sulsel sejak tahun 2010- 2016. Di Demak, 9 desa yang melaksanakan Sekolah Lapang dan studi lanjutan sejak tahun 2015-2019. Di Timika dan Papua, setidaknya ada sekitar 10 unit Sekolah Lapang pesisir berjalan sejak program IFACS dan Lestari USAID.

“Saat ini di Batu Ampar Kalimantan Barat ada 3 unit Sekolah Lapang yang sedang berjalan,” katanya.

Menurut Yusran, meski sulit diukur secara pasti namun keberadaan Sekolah Lapang memang memberi arti penting bagi petani dan petambak yang mereka dampingi. Dampaknya secara jangka pendek dan jangka panjang.

Salah satu dampak jangka panjang yang dirasakan adalah masyarakat lebih kritis dan lebih terbuka. Ia mencontohkan pelaksanaan Sekolah lapang di Desa Kartini Bahari, Demak, dimana beberapa alumni Sekolah Lapang yang mulai terlibat dengan kegiatan-kegiatan desa, sesuatu yang tidak dilakukan selama ini.

“Semenjak ikut Sekolah Lapang mereka terbiasa berbicara, mengemukakan pendapat, memprotes segala sesuatu. Mereka juga mulai aktif mengajak petani lain untuk budi daya ramah lingkungan dengan tidak menggunakan bahan kimia untuk pertanian dan tambak.”

Dampak lain adalah mereka mulai bisa menganalisa sesuatu berdasarkan pengalaman-pengalaman, sesuatu yang tak terpikirkan selama ini.

“Ada banyak contoh, mereka bisa menganalisa yang tidak pernah pikirkan sebagai sebuah pengetahuan lokal. Misalnya di Papua, ketika kami perkenalkan metode pengambilan sagu yang lebih efisien menggantikan cara tradisional, mereka bisa terima dan memahami cara yang lama dilakukan sekedar mematuhi kebiasaan adat saja.”

perlu dibaca : Probiotik RICA, ‘Makhluk Halus’ Penyelamat Tambak di Pangkep

 

ilustrasi. Petani mandiri di Desa Simataniari, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, banyak kelola kebun sawit secara otodidak dan seadanya. Mereka un ikut Sekolah Lapang yang mengajarkan tata kelola kebun sawit berkelanjutan. Foto: Masdalena Napitupulu

 

Sekolah Lapang juga membuka ruang berpikir warga untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah lain di desa, di luar yang diajarkan di Sekolah Lapang.

“Mereka pada akhirnya mampu berpikir lebih luas tentang masalah-masalah lain di kampung dan merumuskan solusi yang tepat, termasuk bagaimana bernegosiasi dengan pemerintah daerah untuk pemenuhan kebutuhan dasar di desa, seperti listrik dan air tawar, sesuatu yang tidak bisa dilakukan selama ini. Meski ini belum bisa dipastikan sebagai dampak Sekolah Lapang, namun setidaknya ada sedikit dampak dari keikutsertaan mereka dalam Sekolah Lapang tersebut.”

Manfaat dari Sekolah lapang lainnya adalah masyarakat memiliki pilihan lain dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Kalau selama ini masyarakat pesisir terbatas, hanya bergantung pada kayu mangrove pada ikan segar, sekarang mereka punya alternatif lain, seperti membuat abon ikan, ikan kering, sirup mangrove, dll.

Contohnya di Asmat, awal masyarakat jual ikan langsung saja, namun tidak terserap semua. Setelah kita masuk untuk Sekolah Lapang pengolahan, dibikin abon atau ikan kering. Mereka bisa mengelola dengan sumber daya yang ada. Menghadirkan pilihan-pilihan dalam mengelola SDA.”

Contoh lain di Desa Batu Ampar, Kalbar, dimana masyarakat awalnya hanya tahu tentang pemanfataan mangrove untuk kayu bakar, namun setelah mengikuti Sekolah Lapang, mereka akhirnya tahu bahwa desanya punya potensi-potensi lain yang bisa dikembangkan, termasuk gula nipah, hand sanitizer alami, dll.

“Mereka bahkan lebih jauh jauh terus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan di luar yang diperoleh dari Sekolah Lapang, dengan belajar secara mandiri dari Youtube.”

Dampak lain terlihat dari kesetaraan gender, dimana perempuan lebih dilibatkan dalam berbagai kegiatan desa, dan para suami juga mulai menyadari peran-peran mereka di ranah domestik atau rumah tangga, tidak hanya menjadi tanggung jawab perempuan semata.

Sebagai contoh adalah dampingan YHB di Timika, Papua, yang selama ini hanya melibatkan laki-laki dalam kegiatan-kegaatn desa. Selama ini perempuan jarang dilibatkan dan tak didengar suaranya. Mereka pun biasanya duduk di bagian belakang, hanya sebagai pendengar yang pasif. Setelah mengikuti Sekolah Lapang, kondisi ini berubah.

“Setelah pelaksanaan Sekolah Lapang, berbagai kegiatan desa mulai melibatkan perempuan, termasuk dalam diskusi-diskusi dimana ada pemerataan antara laki-laki dan perempuan.”

 

Exit mobile version