Mongabay.co.id

Desa Maju Reforma Agraria, Bisa jadi Model Resolusi Konflik

 

 

 

 

Pelaksanaan reforma agraria di Indonesia dinilai jauh dari harapan. Reforma agraria malah diartikan dengan bagi-bagi sertifikat. Menanti pemerintah menyelesaikan masalah lahan tak kunjung datang, warga pun beraksi, mencari cara dan berinisiatif, seperti Desa Maju Reforma Agraria (Damara).

Dewi Sartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, yang baru terpilih kembali dalam Musyawarah Nasional VIII Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) akhir bulan lalu mengatakan, KPA menyaksikan pemerintah era reformasi hanya menerjemahkan reforma agraria sebatas bagi-bagi sertifikat.

Pemangku kekuasaan, katanya, gagal melihat korelasi antara penyelesaian konflik agraria dan pengakuan hak atas tanah yang menyangkut bangunan kemandirian pangan ekonomi sosial budaya politik dan kedaulatan masyarakat atas tanah dan desa mereka.

“Belajar dari pengalaman Desa Maju Reforma Agraria sebagai jawaban atas kegagalan reforma agraria masa lalu. Mendorong yang disebut gerakan reformasi agraria berbasiskan inisiatif rakyat dari bawah.”

Damara, katanya, penting untuk mendorong kedaulatan rakyat. Model ini, kata Dewi, bisa jadi satu rujukan kepada pemerintah, bagaimana seharusnya reforma agraria dijalankan utuh dari hulu ke hilir. “Yang terjadi, transformasi sosial di pedesaan,” katanya.

Damara mendorong transformasi sosial pedesaan melalui empat pilar utama, perubahan tata kuasa, tata guna, tata produksi dan pemasaran, serta tata distribusi konsumsi.

Sejak 2014, KPA bertahap mengimplementasikan gerakan Damara di setiap basis anggota organisasi. Dalam rentang itu, katanya, banyak praktik Damara di beberapa lokasi seperti di Desa Secanggang, Langkat Sumatera Utara; Desa Mekar Jaya, Indramayu Jawa Barat; Desa Kulon Bambang, Blitar Jawa Timur serta Desa Mangkit, Sulawesi Utara.

Masyarakat adat Penunggu Kampung Desa Secanggang, katanya, satu kecamatan di Kabupaten Langkat, Sumut, mengelola lahan yang secara administratif terletak di Desa Talang seluas 302 hektar.

Hal paling menarik dari Damara di Desa Secanggang, adalah peran perempuan adat. Mereka memiliki lahan kolektif seluas 40 hektar, sudah tujuh kali tanam seperti pisang, jagung,dan ubi. Hasilnya, selain buat masing-masing keluarga juga keperluan kolektif seperti mesjid, mushola, sarana sekretariat dan lain-lain.

 

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Reforma Agraria Masih Jauh dari Harapan

 

Ansharudin, Koordinator Damara Kampoeng Secanggang mengatakan, tata kelola, tata guna, tata guna, dan tata konsumsi sesuai masyarakat adat. “Tata ruang udah terbangun ya, yang dulu tidak ada bangunan sekolah sekarang sudah ada. Yang dulu tidak ada listrik, sekarang ada listrik.”

Siti Nurul Hasanah dari Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia bilang, sebelum masuk Damara, Secanggang tak pernah tersentuh layanan listrik.

“Bisa dibilang tidak ada lampu, bola lampu hanya seberapa. Pengguna lampu pakai meteran yang harus kongsi beberapa orang. Setelah masuk Damara, fasilitas listrik ada. Banyak anak-anak ke perguruan tinggi dari hasil-hasil tanam,” katanya.

Berbeda dengan Desa Mekar Jaya, Kecamatan Gantar berawal dari perlawanan terhadap Perum Perhutani. Karena akumulasi kekecewaan, mereka melawan lewat payung gerakan Serikat Tani Indramayu.

Casudi, Ketua Basis Plasa Koneng menceritakan berbagai dinamika mereka hadapi dari tuduhan sebagai antek-antek komunis, sampai permasalahan elit desa, dan tokoh-tokoh politik elit desa yang berpihak pada Perhutani.

Warga berupaya memperkuat basis dengan membangun kekuatan pangan. Mereka mendorong perubahan transformasi sisi produksi dan distribusi. Warga di Indramayu menyiapkan langsa, yaitu lumbung agraria nusantara sejahtera. Langsa ini akan memutus rantai distribusi para bandar dan tengkulak yang kerap mempermainkan harga dan merugikan petani.

Damara juga ada di Desa Mangkit, Kecamatan Belang, Minahasa Tenggara. Di desa ini, tanah subur dan hasil laut melimpah.

Damara Mangkit, satu contoh perjuangan panjang Serikat Petani Minahasa yang akhirnya memperoleh hak tanah secara penuh pada 2018.

Setelah berkonflik lama, 444 hektar lahan terdistribusi kepada Serikat Petani Minahasa, dengan hak tanah atas nama perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki hak sama dalam mapalus atau sistem pengelolaan lahan secara gotong royong pun dapat ikut berkontribusi dalam penggarapan lahan.

Simon Aling, Ketua Serikat Petani Mangkit mengatakan, penguasaan lahan dibagi adil pada seluruh lapisan sosial dengan batasan jumlah tak lebih dari dua hektar per keluarga.

“Pengelolaan tanah juga akhirnya meminimalisir konflik antar warga, hingga dapat mencapai masa depan lebih baik lagi bagi desa sebelum mendapatkan hak tanah ini.”

Cornelia Oley, Kader Perempuan Serikat Petani Mangkit mengatakan, Damara mampu memberikan dampak baik terutama sisi perekonomian.

Desa Kulon Bambang, Blitar yang berada di dalam konsesi perkebunan swasta, PT Sari Bumi Kawi. Lahan kelola warga sekitar 319 hektar. Damara Kulon Bambang ini salah satu anggota KPA dari Paguyuban Petani Aryo Blitar.

 

Warga Damara, berdaulat menanam. Foto: Video KPA

 

Sri Rahayu, Staf CU Gerakan Perwartaku mengatakan, saat ini Kelompok Petani Kulon Bambang jadi petani merdeka dengan memiliki tanah sendiri dalam memenuhi perekonomian mereka melalui usaha pertanian terpadu, dan usaha peternakan.

Wakhid Irvan, Koordinator Damara Kulon Bambang melihat banyak perubahan, seperti soal pasar petani bisa menjual hasil kebun seperti kopi dengan harga cukup mahal.

Dewi Sartika bilang, perjuangan reforma agraria melalui Damara bisa jadi inspirasi bagi petani-petani lain dalam memperjuangkan hak mereka sesuai situasi masing-masing.

“Reforma agraria merupakan gerakan yang bisa membantu desa-desa di luar sana bangkit dari keterpurukan dengan memaksimalkan sumber daya yang ada untuk kesejahteraan dan kemajuan desa itu sendiri tanpa ada campur tangan swasta.”

 

Resolusi KPA

Sementara itu, dalam resolusi Munas VIII KPA dengan tema “Reforma Agraria Keselamatan Rakyat,” ada empat poin rumusan sikap politik dan padangan KPA. Pertama, tuntutan pada negara untuk penyelesaian konflik agraria lintas sektor. Percepatan redistribusi tanah rakyat.

Kedua, penyelesaian konflik agraria harus mengedepankan pemulihan hak-hak rakyat atas tanah sumber-sumber agraria lain. Ketiga, DPR, wajib mencabut perundangan-undangan yang mempermudah perampasan tanah dan kriminalisasi rakyat seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU P3H, dan peraturan turunan. Keempat, gerakan sosial memperkuat konsolidasi dan kerjasama untuk perjuangan reforma agraria sejati.

 

Nyai Jusma dan petani perempuan Lubuk Mandarsah, Tebo, Jambi,  terus berjuang karena lahan  berkonflik dengan PT  WKS. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version