Mongabay.co.id

Cerita Nelayan Selam di Perbatasan Indonesia-Singapura

 

 

 

 

Speedboat Wahid Wahab melaju pelan menuju Pelantar II, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Gedung-gedung pencakar langit Singapura, terlihat dari pelantar. Kawasan  ini merupakan perairan perbatasan Indonesia dan Singapura. Selain perlintasan perdagangan, Selat Singapura juga jadi kawasan melaut nelayan lokal Kota Batam.

Perlahan Wahid sandarkan speedboat 15 pk itu di pelatar, tempat nelayan menjual hasil tangkapan ikan mereka. Wahid mengeluarkan dua ember berukuran sedang penuh ikan dan naikkan ke dermaga.

Wahid tidak seperti nelayan biasa. Dia pakai baju renang. Di atas speedboat, bertengger dua ember berisi ikan hasil tangkapan, juga kaca mata renang dan sepasang sepatu selam katak. Wahid, merupakan satu dari puluhan nelayan yang gunakan sistem melaut bubu selam. Kala itu, dia  melaut dengan anaknya, Syafik.

Dia cerita pengalaman melaut di daerah perbatasan Singapura-Indonesia, terutama  dengan cara selam. Kondisi cuaca hingga kualitas air laut jadi penentu rezeki Wahid setiap menyelam.

Wahid bukanlah warga asli pulau Belakang Padang, dia penduduk Pulau Mecan, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Pulau Mecan, ada 40 keluarga nelayan.

Dia sudah sejak kecil melaut dengan cara selam. Sampai saat ini tradisi itu masih dilanjutkan Wahid dan warga Pulau Mecan. “Saya sudah sejak kecil menyelam,” katanya kepada Mongabay, akhir Agustus lalu.

 

Baca juga: Kala Kapal Asing Curi Ikan Kian Menggila di Perairan Natuna Utara

Ikan hasil tangkapan Wahid , sebagai penyelam selam. Foto: Yogi ES/ Mongabay Indonesia

 

Tidak hanya warga Pulau Mecan, Pulau Cukus Sarang, Belakang Padang juga memiliki cara melaut dengan menyelam. Proses menangkap ikan dengan menyelam sudah turun temurun.

Wahid menyelam melihat kondisi cuaca. Tak bisa tentukan hari. Lokasi melaut biasa perairan perbatasan Singapura dan Indonesia, bahkan sampai perairan Pulau Putri dengan jarak cukup jauh dari Belakang Padang.

Dia bilang, biasa turun ke laut subuh. Dari Pulau Becan bergrilya mencari lokasi untuk memasang bubu selam.

Proses pemasangan bubu biasa kedalaman 10 meter dari permukaan laut. Bubu berbentuk jaring itu dipasang dengan cara dihimpit dengan batu selama lima hari satu minggu baru diangkat. “Yang pakai pancing ada, hanya satu dua orang,” kata pria 53 tahun itu.

Uniknya, tak ada tanda mengapung di permukaan laut. Nelayan bubu selam menandakan titik pemasangan dengan cara tradisional dengan dilihat dari pelantar. “Misal, titik kita lihat dari sini, berada di tengah antara rumah, jadi titik tempat kita tanam di situ.”

Proses memanen bubu ini cukup memakan waktu lama. Terkadang bubu bergeser dari titik penanam karena gelombang laut. Kondisi air laut juga mempengaruhi. “Sekarang ini air laut keruh, kita sulit menanam atau memanen bubu.”

Beberapa bulan belakangan Wahid mengaku air laut di sekitar Belakang Padang dan Batam, keruh. Dia menduga, ada pengerukan pasir di tengah laut. “Ini sudah tiga bulan keruh,” kata Wahid.

Kondisi itu mengakibatkan pendapatan dia berkurang. Biasa bisa dapatkan Rp600.000 satu hari panen. “Kalau keruh buat beli minyak saja tidak cukup.” Wahid memperlihatkan ikan di dalam ember berlumur pasir.

Bahkan, beberapa hari belakangan, dia harus ambil uang belanja rumah tangga untuk membeli bahan bakar speedboat. “Kalau ini modal cuma minyak, sekitar Rp90.000- Rp100.000,” katanya.

Di perairan ini banyak ikan jenis seperti unga, lingkis, patin dan sembilang, napoleon dan kerapu merah. “Ada juga sotong.”

Melaut di perbatasan Singapura terbilang aman. Nelayan sudah mengetahui titik perbatasan yang tak boleh mereka langgar. “Kalau tahun 80-70-an kita bisa melaut ke perairan Singapura, sekarang tidak lagi, karena sudah dipasang tambak oleh Singapura.”

Jaring bubu yang dipakai Wahid hanya untuk ikan berukuran besar dan sudah layak konsumsi. “Kami gunakan size besar, tidak yang kecil. Kalau kita dapat ikan kecil jual juga susah, ikan tidak bisa berkembang kalau yang kecil diambil,” katanya.

 

Baca juga : Cerita Nelayan Natuna, Terjepit Antara Kapal Cantrang dan Kapal Asing

Wahid dan sotong, hasil tangkapannya. Foto: Yogi ES/Mongabay Indonesia

 

***

Nelayan Belakang Padang tidak menjual ikan hasil tangkapan ke pengepul di pusat perdagangan Kota Batam. Mereka bisa langsung jual ke Pasar Jurong, Singapura.

Di pasar itu, jumlah ikan tidak menjadi perhitungan, tetapi kualitas nomor satu. Sahrul, pengepul (biasa disebut tauke) ikan di Belakang Padang bilang, memilih mengirim ikan segar ke Singapura daripada menjual ke Kota Batam.

Sahrul sudah puluhan tahun menjadi pengepul. Dia mengatakan, pasar Singapura lebih menjanjikan daripada Batam. Di Singapura, ikan langsung dibayar kontan hari itu juga. Di Kota Batam, banyak tauke yang tunda bayar atau utang.

Sahrul hampir setiap hari mengirim ikan ke Pasar Jurong, Singapura. Meskipun hanya mengirim satu bok ikan, tauke di Singapura tetap membeli. “Bagi mereka (agen Singapura) yang penting kualitas ikan, mereka tidak mau ikan yang sudah disimpan lama.”

Proses pengiriman ke Singapura, sudah ada agen khusus. Pengepul pasar Jurong Singapura sangat menyukai ikan panen nelayan Belakang Padang.

Cara menghitung harga jual ikan di Singapura berpatokan kepada nilai dolar Singapura, tetapi tetap dibayar dengan rupiah kepada pengepul. “Misal, kerapu merah, kita beli dari nelayan Rp210.000 satu kilogram, dijual di Jurong Singapura Rp230.000 per kilogram.”

Selain menerima tangkapan nelayan bubu selam, dia juga menampung ikan hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap rawai, dan pancing.

Dia tidak pernah melihat ada konflik di perbatasan antara nelayan dan petugas keamanan Singapura. Bahkan, beberapa nelayan Indonesia sempat masuk ke perairan Singapura, hanya dihalau keluar. “Singapura enaknya itu, petugas tidak mau nangkap nelayan.”

Berbeda dengan Malaysia, kata Sahrul, nelayan Indonesia banyak ditangkap dan ditahan di darat bisa sampai tiga minggu.

Kondisi itu juga dibenarkan Camat Belakang Padang, Yudi Admaji. Polisi Singapura, katanya, tidak pernah menangkap nelayan yang melewati garis perbatasan, hanya dihalau kembali ke perairan Indonesia.

Dia mengimbau, nelayan yang melaut di perbatasan Singapura-Indonesia untuk berhati-hati. Dia melihat banyak nelayan tak mengetahui garis perbatasan.

Yudi meminta, masyarakat tetap memperhatikan keselamatan di perairan perbatasan. Tidak hanya berhadapan dengan kapal patroli Singapura, nelayan harus hati-hati dengan kapal besar yang lalu-lalang. Jangan sampai, katanya, kejadian sama terulang seperti dua nelayan tenggelam ditabrak kapal kargo di perairan Batam.

“Kami juga imbau masyarakat memancing pada malam hari di perbatasan agar membawa lampu dan peralatan keselamatan lengkap.”

Rata-rata warga Belakang Padang sebagai nelayan. Jenis alat tangkap mereka beragam, seperti bubu selam dan bubu tarik. Ada juga, pancing gogo, pancing rawai, dan jaring.

“Daerah disini banyak ikan karang, tidak seperti di Laut Natuna ikan laut dalam,” kata Yudi.

Dia melihat, kini makin banyak warga beralih jadi nelayan karena tak ada lapangan pekerjaan lain. “Akhirnya, makin sempit tempat nelayan melaut di Belakang Padang, tentu mengakibatkan hasil tangkapan berkurang.”

 

Wahid bersama anaknya, nelayan selam Kota Batam, yang lestarikan bubu selam hanya untuk tangkap ikan besar. Cara tangkap nelayan ini sudah turun menurun. Foto: Yogi ES/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version