Mongabay.co.id

Nelayan Malut Protes PP No.85/2021, Anggap Pemerintah Tak Berpihak pada Nelayan

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No.85/2021 yang mengatur tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku yang ditetapkan pada 19 Agustus 2021. Aturan tersebut dianggap memberatkan bahkan mencekik nelayan lokal Maluku Utara. Karena itu sebagian nelayan di Ternate dan Tidore meminta perlunya revisi PP tersebut.

Hal ini juga yang memantik reaksi protes para nelayan terutama mereka yang menggunakan kapal ikan di atas 30 gross ton dan menangkap ikan cakalang menggunakan huhate. Puluhan nelayan yang tergabung dalam Forum Kelompok Bersama Perikanan Tangkap Maluku Utara mendatangi Kantor Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ternate, Kamis (21/10) untuk menyuarakan aspirasi mereka. Mereka menilai PP tersebut mencerminkan ketidakadilan negara terhadap nelayan.

Sugianto yang juga Ketua Forum saat audensi tersebut menyampaikan bahwa, dalam simulasi dari PNBP, ada rumusan yang ditentukan oleh negara, yaitu persentasi dikali dengan Harga Patokan Ikan (HPI) dan dikali dengan hasil produksi berdasarkan bobot kapal Gross Tonage (GT).Penetapan ini katanya sangatlah memberatkan nelayan terutama mereka yang bergerak dalam penagkapan ikan cakalang atau tuna dengan menggunakan kapal ikan mereka. “Yang jadi persoalan adalah GT kapalnya,”ucap Sugianto.

Sekretaris Paguyuban Inka Mina Malut ini juga mempertanyakan, kenapa negara tidak menghitung siklus usaha nelayan saja. Tetapi memasukan tonase sebagai salah satu item menarik PNPB nelayan.

“Misalnya, kapal ukuran 33 GT, adalah biaya secara keseluruhan dari isi kapal,” ujarnya. Padahal di kapal itu ada ruang komando, kamar mesin, tangki BBM dan air, hingga tempat masak dan tempat tidur. Karena itu jika 33 GT dihitung secara keseluruhan maka itu artinya isi kapal dihitung secara keseluruhan.

“Kalau pun sistemnya dikali dengan GT, berarti kasarnya, nelayan tidur juga bayar, buang hajat bayar, masak di kapal juga bayar, ke darat beli BBM pun bayar,” ujarnya.

baca : Nelayan Maluku Utara Minta Pemerintah Cabut Aturan Diperbolehkannya Cantrang

 

Seorang nelayan tuna saat aktivitas di laut Pulau Buru, Kabupaten Buru, Maluku. Foto : MDPI

 

Dia mempertanyakan alibi pemerintah bahwa, pungutan ini akan kembali ke nelayan demi memaksimalkan tingkat produksi, maka mestinya aspirasi nelayan juga harus didengar.

“Kami nelayan ini menjadi pelaku utama dan ketidakadilan ini dirasakan sejak pemberlakuan PP No.75/2002 itu. Jujur saja, kami sudah sangat terbebani,” tandasnya.

Kini pemerintah mengeluarkan lagi PP No.85/2021. PP ini membuat nelayan bingung. Terutama jika dilihat dalam dua skema penarikan PNBP yang diterapkan, yakni pra dan pasca produksi.

Sementara, nelayan di Malut tidak masuk dalam skema tersebut. “Rata-rata kapal nelayan di Malut masih di bawah 1000 GT,” ujarnya.

Pihaknya juga mengaku setelah mempelajari simulasi sistem pembayaran PNBP pasca produksi, terlihat sangat membebani nelayan. Penarikan PNBP tidak berdasarkan pada HPI yang ditentukan secara nasional, tapi diikuti mekanisme pasar.

Di mana, satu ekor ikan yang didaratkan ke dermaga sudah dikenakan pajak. Sementara, ada biaya-biaya yang sudah dikeluarkan. Terutama biaya belanja operasional dalam sekali trip, yang memakan waktu 4 – 5 hari berkisar Rp17 juta hingga Rp22 juta.

Bagi Sugianto, bisa saja diberlakukan skema pasca produksi. Tapi minimal PNBP sebesar 5% diturunkan dari setengahnya.

“Hitungan pasca produksi ini, kalau bisa berlakukan HPI secara nasional. Jangan mengikuti harga pasar yang ada,” katanya. Untuk pra produksi misalnya, saat hasil melaut kurang maksimal ditambah bekal di kapal menipis, otomatis berdampak pada kas belanja operasional. Karena itu nelayan harus menjual ikan di dermaga untuk menutupi kebutuhan.

“Di situ kita sudah dikenakan pajak. Ya karena tuntutan dalam PP Nomor 58 ini, kita wajib bayar ke negara. Itu bagaimana?,” katanya.

baca juga : Diskusi dengan Jokowi, Ini Keluhan Nelayan dan Pelaku Usaha Perikanan di Maluku

 

Para nelayan Pulau Rhun, Banda, Maluku Tengah, dengan puluhan ton ikan layang, hasil tangkap. Dalam sehari mereka bisa menghasilkan 10 hingga 12 ton ikan layang. Foto : Victor Fidelis

 

Mestinya kata dia perlu ada penentuan harga yang dilakukan di daerah. Karena pasal yang dikeluarkan dalam PP 85 tersebut sangat bias.

“Di situ disebutkan, penarikan pajak berdasarkan harga ikan yang didaratkan saat itu juga. Negara seakan tidak mau tahu nelayan ini seperti apa,” ujarnya.

Kepala PPN Ternate, Kamarudin mengatakan, PP No.85/2021 hanya berlaku untuk kapal yang mengantongi izin dari pemerintah pusat. “Nelayan mengira PP 85 ini berlaku untuk seluruh kapal perikanan, tidak seperti itu,” katanya.

Ia menyebut, seluruh kapal Inka Mina dengan bobot 30 GT, izinnya dikeluarkan pusat. “Kalau di bawah 30 GT itu izin daerah,” katanya.

Terkait pra produksi, untuk HPI tidak berlaku pada pasca produksi. Sedangkan harga acuan ikan pasca produksi ditetapkan oleh kepala pelabuhan.

Namun pasca produksi diberlakukan apabila pelabuhan pangkalan kapal ikan sudah memenuhi syarat. “Mulai dari fasilitas hingga SDM. Nah hal ini harus disiapkan dulu,” katanya.

Namun di sini hitungan produksi yang dianggap berat oleh nelayan. “Karena penetapan pajak dihitung berdasarkan berapa ikan yang diproduksi,” terangnya.

baca juga : Harga Tuna Anjlok Terdampak COVID-19, Nelayan Maluku Minta Pemerintah Atur Pasar Penjualan

 

Warga Pulau Rhun saat memancing menggunakan perahu tradisional di perairan Pulau Rhun, Banda, Maluku Tengah. Foto: Victor Fidelis

 

Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Pusat pada September 2021 lalu telah menyatakan sikap menolak PP tersebut. HNSI mendesak pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No.85/2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut karena memberatkan dan merugikan masyarakat nelayan.

Ketua Harian HNSI Anton Leonard mengatakan permintaan pencabutan PP No.85/2021 didasari komitmen pemerintah seperti tercantum pada Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya ikan, dan Petambak Garam. Dia menyatakan PP No.85/2021 serta Kepmen KP No.86/2021 dan Kepmen KP No.87/2021 bertentangan dengan UU tersebut lantaran tidak berpihak pada masyarakat nelayan.

“Sangat memberatkan masyarakat Indonesia umumnya dan nelayan Indonesia khususnya dalam situasi dan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. PP dan Kepmen KP tidak berpihak kepada Masyarakat Nelayan,” kata Anton dalam keterangan resminya Sabtu (2/10/2021).

Dikutip dari laman detik.com,  Anto mengatakan, pihaknya juga menilai PP No.85/2021 sangat sulit diterapkan masyarakat nelayan. Penerapan PP Nomor 85 Tahun 2021 ini justru berakibat pada meningkatnya harga jual ikan kepada masyarakat.

“Setelah dikaji dan diteliti, PP No 85 Tahun 2021, Kepmen KP Nomor 86 Tahun 2021, dan Kepmen KP Nomor 87 Tahun 2021 sangat memberatkan masyarakat nelayan dan secara teknis akan sangat sulit diterapkan, baik tentang teknis harga patokan ikan untuk penghitungan pungutan hasil perikanan maupun teknis produktivitas kapal penangkap ikan,” ujarnya.

Atas alasan itulah, Anton menyatakan menolak PP Nomor 85 Tahun 2021 hingga Kepmen KP Nomor 86 Tahun 2021. Dia meminta pemerintah mencabut peraturan tersebut.

 

Nelayan di Desa Dian Pulau, Kecamatan Hoat Sorbay, Kabupaten Maluku Tenggara mengangkut ikan hasil tangkapannya. Foto : Kopnel Karya Mandiri/Mongabay Indonesia

 

Hal senada disuarakan Ikatan Alumni Perikanan (IKAPERIK) Maluku Utara. Mereka menganggap masalah ini serius karena berhubungan dengan hidup nelayan. PP ini harus segera disikapi. Jika diberlakukan akan memukul nelayan secara langsung. Ketua Ikaperik Malut Farid Yahya bilang PP ini harus segera dicabut pemerintah pusat karena sangat membebani nelayan di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif seperti sekarang.

“PP 85/2021 berpotensi menjerat nelayan dan membuat kehidupan mereka semakin terbebani. PNBP yang diwajibakn kepada nelayan ini akan menyusakan hidup nelayan,” tutupnya.

Exit mobile version