Mongabay.co.id

Memantau Tutupan Hutan Bali, Mencegah Bencana Terulang Lagi

 

Hujan deras pada Senin, 20 September 2021 sore hingga malam hari kembali menyebabkan banjir bandang dan longsor di beberapa titik Kabupaten Jembrana, Bali. Salah satunya desa yang terkenal dengan hutannya, Desa Penyaringan.

Penyaringan diyakini berasal dari kata jaring. Di masa lalu, ada warga menjaring atau menjebak burung, babi hutan, dan satwa lain dalam hutan karena keanekaragaman hayatinya.

Sumerti, perempuan muda yang mukim di Desa Penyaringan mengingat saat itu hujan deras hanya beberapa jam, namun mengakibatkan banjir, bahkan merusak tembok belakang rumahnya. “Tembol bagian belakang rumah jebol. Saya kasihan lihat rumah bidan, tetangga saya harus menyelamatkan barang-barang,” urainya. Saudaranya yang baru menanam 2000 bibit porang juga harus menanggung rugi tak sedikit karena semua hanyut.

Sumerti tidak mengerti kenapa air bah bisa begitu besar. Padahal ia melihat daerahnya masih terlihat hijau. “Masih banyak kebun,” imbuhnya.

Jejak air bah masih terlihat satu bulan setelah peristiwa. Sejumlah tembok di beberapa titik bangunan dan rumah rubuh. Demikian juga senderan irigasi di sawah. Sejumlah petani mengatakan sawah terendam sekitar setengah meter sampai terlihat rata dengan jalan raya Denpasar-Gilimanuk. Inilah jalan raya terpadat dan paling rawan di Bali karena sering terjadi kecelakaan seperti truk terbalik atau bus tabrakan. Jalur logistik Jawa-Bali-Lombok sekaligus transportasi publik.

Kerawanannya bertambah jika ada banjir bandang, kini hampir terjadi tiap tahun. Air bah kerap merusak bahkan memutus jembatan. Ada banyak sungai di kabupaten ini, berhulu di hutan-hutan perbatasan Jembrana-Kabupaten Buleleng, dan hilirnya di laut.

Ironisnya, makin banyak sungai kekeringan saat musim kemarau. Tak sedikit sawah dan rumah-rumah warga yang masih kesulitan akses air bersih.

baca : Mengingat Banjir Bandang, Menengok Hutan Jembrana [1]

 

jejak kerusakan irigasi dan genangan sawah akibat banjir bandang di Jembrana, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Desa Penyaringan dinilai sebagai salah satu desa maju di Jembrana karena nyaris semua warga terakses PDAM. Rumah-rumah penduduk berdampingan dengan kebun-kebun cukup luas. Terlihat berisi cengkeh, kakao, dan pisang.

Namun, desa ini juga menghadapi masalah laten di kabupaten yang namanya berasal dari kata hutan lebat dan luas (Jimbarwana) ini. Ancaman itu disebut Ngawen, berasal dari kata sawen yang berarti memberi tanda. Lebih dari 200 orang warga masuk hutan lindung di kawasan Desa Penyaringan untuk ngawen. Mereka menandai area yang dirambah dengan tanaman umur pendek seperti pisang, vanili, dan porang.

Ngawen juga terjadi di hutan-hutan lindung yang dikelola oleh negara lainnya. Merambah hutan untuk berkebun di kawasan hulu sebagai sumber air dan penjaga ekologi Pulau Bali.

Hutan lindung berdampingan dengan rumah warga. Di Desa Penyaringan, pintu masuk berada di areal tempat suci Pura Dalem. Jalan tanah berbatu itu bisa dilalui kendaraan roda empat sampai beberapa ratus meter, setelah itu baru menyempit berupa jalan setapak yang bisa dilalui kendaraan roda dua. Sejumlah warga menaiki motornya muncul dari dalam hutan membawa alat berkebun dan sedikit hasil yang bisa dipanen musim ini. Pada 25 Oktober 2021 lalu, terlihat warga membawa durian dan pisang.

Meluasnya hutan yang dirambah adalah salah satu alasan hadirnya skema perhutanan sosial yakni alokasi hutan desa dari pemerintah pusat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Desa Penyaringan pun menyikapi ini dengan ikut membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Gede Sugiana, Ketua LPHD Penyaringan berkomitmen akan mengontrol meluasnya areal ngawen karena area tersebut kini dikelola sebagai hutan desa, seluas 76 hektar.

baca juga : Menjaga Hutan, Memastikan Keberlangsungan Sumber Air Warga Jembrana [2]

 

Areal hutan desa yang dirambah jadi kebun pisang dan vanili. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Salah satu strategi dan bentuk keseriusannya, pengurus LPHD Penyaringan yang terpilih adalah warga yang tidak ikut ngawen atau memiliki kebun dalam hutan. “Kami tidak boleh punya lahan garapan di sana, karena niat kami memperbaiki,” sebut Sugiana. Ia sendiri memiliki sejumlah petak sawah yang dikelola pihak lain. Akses air sangat penting untuk sawah-sawah yang ada di hulu.

Pada 2019, Desa Penyaringan mengajukan izin LPHD ke Dirjen Kehutanan. Sebelum izin turun, mereka harus melengkapi sejumlah dokumen administrasi seperti peta hutan, AD ART, dan kesanggupan membayar Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) 6% dari hasil tiap komoditas. Izin didapatkan pada 2020, lalu kena Pandemi Covid-19 sehingga program terkendala.

Tujuan LPHD tak hanya melestarikan sisa tegakan hutan, juga menghasilkan. Ia mengakui, sebelum adanya LPHD, upaya mengendalikan ngawen tak mudah. Pelaku ngawen berhadap-hadapan dengan tim patroli desa. Misalnya jika pelaku ngawen menebang pohon, maka tanaman kebunnya dirabas tim desa.

Kini anggota LPHD sekitar 250 KK adalah warga yang ngawen dalam hutan lindung. Mereka kini terikat pada kesepakatan misalnya wajib tanam bibit pohon tinggi, membayar retribusi Rp1000 rupiah per are/tahun, tidak memperluas area ngawen, dan menjaga hutan lindung sisanya.

LPHD bersinergi dengan pengurus desa pekraman atau desa adat untuk memberikan sanksi adat kasepekang (hak-hak adatnya dikurangi) dan hak kelolanya dicabut di area hutan desa. “Kalau tidak nurut keluar saja,” ujar Sugiana.

baca juga : Usai Degradasi, Terbitlah Hutan Belajar Desa

 

Papan peringatan LPHD Penyaringan di pintu masuk hutan. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Saat ini ia sedang merancang skema agar kebutuhan bibit untuk menanam kembali bisa dipenuhi LPHD, termasuk pupuk kompos, dan sarana lain. Salah satu jenis pohon endemik yang sangat sulit ditumbuhkan bibitnya adalah Kwanitan. Hanya sisa biji yang dimakan burung Rangkong bisa tumbuh jadi bibit karena mengalami ferementasi alami. LPHD mencoba membuat 500 bibit tapi hanya sekitar 70 benih yang mau tumbuh.

Dua komoditas yang dilarang ditanam di area LPHD adalah kelapa dan cengkeh karena keduanya jenis monokultur dan dominan.

Terkait kebiasaan buruk ngawen ini menurut Sugiana mulai marak pasca kerusuhan besar di Bali pada 1999. Selama 2 hari, 20-21 Oktober 1999 terjadi amuk massa di 5 kabupaten termasuk Jembrana yang menelan kerugian ratusan milyar akibat pembakaran gedung-gedung pemerintahan dan perusakan fasilitas publik lain. Fanatisme politik yang dipicu provokasi etnis ini dikembangkan dari peristiwa gagalnya Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati di sidang Umum MPR sebagai presiden. Gus Dur naik, salah satunya karena dukungan poros Amien Rais.

“Jalan rusuh, orang-orang mulai banyak masuk hutan, berani menebang pohon,” ingatnya. Warga pun membiarkan perambahan. Bahkan, jika tidak ikut malah dibicarakan dianggap sok kaya, tidak perlu apa-apa. Orang kaya dengan banyak lahan kebun pun banyak ikut ngawen. Menurut Sugiana, sebagian besar sudah punya kebun di luar hutan.

Sebagian warga menyebut ngawen penyebab banjir bandang, terutama warga di hulu. Namun sebagian mennganggap banjir bandang bukan karena hutan mulai habis, tapi hujannya terlalu deras.

Banjir bandang terbesar yang diingatnya sekitar 1998, korban jiwa satu orang. Sebelumnya tidak pernah ada banjir bandang. Kemudian mulai ada rumah dekat sungai dan bentuk sungai makin lurus, sehingga setiap kali hujan deras, air bah tak memiliki penghambat lagi.

Kehadiran LPHD juga mendorong kelahiran Kelompok Usaha Perhutanan Sosial yang berwenang menerima bantuan, menerima retribusi, dan lainnya.

baca juga : Kawasan Bedugul: Ketika Catur Desa Adat Ingin Kelola Hutan di Hulu Bali [Bagian 1]

 

Perubahan tutupan hutan di Bali

Data Global Forest Watch mencatat, dari 2002 sampai 2020, Bali kehilangan 777 ha hutan primer basah, menyumbang 11% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama.

Kehilangan hutan primer di Bali. Sumber : GFW

 

Global Forest Watch (GFW) adalah platform online yang menyediakan data dan alat untuk memantau hutan. Dengan memanfaatkan teknologi citra satelit, GFW memberi akses informasi dan analisis data bagaimana hutan berubah di seluruh dunia.

Dari tahun 2001 hingga 2020, Bali kehilangan 7,33 kilo hektare (kha) tutupan pohon, setara dengan penurunan tutupan pohon sebesar 2,0% sejak tahun 2000, dan emisi CO₂e 4,36Mt. Satu kha sama dengan 1000 hektare (ha).

Dua wilayah teratas yang bertanggung jawab atas 55% dari semua kehilangan tutupan pohon antara 2001 dan 2020 adalah Kabupaten Jembrana dan Buleleng. Jembrana mengalami kehilangan tutupan pohon paling banyak sebesar 2.54 kha dibandingkan dengan rata-rata sebesar 815 ha.

Sedangkan Buleleng 1,48 kha, Tabanan 719 ha, Karangasem 694 ha, dan Bangli 637 ha. Di sisi lain ada perolehan tutupan pohon baru.

Ada 2 wilayah terbesar yang berkontribusi atas 53% dari semua perolehan tutupan pohon di antara tahun 2001 dan 2012. Jembrana memiliki perolehan tutupan pohon terbanyak sebesar 736 ha dibandingkan rata-rata 252 ha.

Dari 2001 sampai 2020, Jembrana kehilangan 542 ha hutan primer basah. Tiga tahun terakhir tertinggi yakni 2018 sebanyak 48 ha, lalu 56 ha (2019), dan 62 ha pada 2020.

 

Tutupan pohon di Jembrana. Sumber : GFW

 

Data satelit yang dianalisis GFW ini menunjukkan kehilangan tutupan pohon dari tahun ke tahun, yang didefinisikan sebagai penggantian tingkat tegakan vegetasi lebih dari 5 meter, dalam area yang dipilih. Kumpulan data kehilangan tutupan pohon adalah kolaborasi dari University of Maryland, Google, USGS, dan NASA, dan menggunakan citra satelit Landsat untuk memetakan kehilangan tutupan pohon tahunan pada resolusi 30×30 meter.

Kehilangan tutupan pohon tidak sama dengan deforestasi, yaitu kehilangan tutupan pohon yang mencakup perubahan di hutan alam dan hutan tanaman, dan tidak selalu disebabkan oleh manusia. Data dari 2011 dan seterusnya dihasilkan dengan metodologi terbaru yang dapat menangkap kehilangan tambahan.

Jembrana dinilai memiliki total penyimpanan karbon sebesar 20.9 Mt, dengan sebagian besar karbon disimpan di biomassa. Rinciannya, karbon tanah 10.2 Mt, karbon di atas tanah 8.55 Mt, dan di bawah tanah 2.22 Mt.

Antara 2001 dan 2020, rata-rata 75,4 kt per tahun dilepaskan ke atmosfer sebagai akibat hilangnya tutupan pohon di Jembrana. Secara total, 1,51 Mt CO₂e dilepaskan pada periode ini.

Data kehilangan tutupan pohon dari Hansen et al. 2013 yang ditampilkan di Global Forest Watch, dinilai mewakili data spasial terbaik yang tersedia tentang bagaimana hutan berubah di seluruh dunia. Bagaimana dan mengapa data kehilangan tutupan pohon berubah dari waktu ke waktu? Laman GFW menjelaskan analisis data tersebut. Namun ada beberapa faktor yang menyebabkan inkonsistensi data selama rentang 20 tahun dan penyesuaian algoritma untuk memetakan kehilangan tutupan pohon dari citra satelit.

 

Hutan primer-hijau dan kehilangan tutupan-titik pink di website GFW. Sumber : GFW

 

Hutan primer adalah termasuk hutan yang dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi dan menyediakan beraneka layanan ekosistem, sehingga hutan-hutan tersebut amat penting untuk dipantau dalam perencanaan penggunaan lahan nasional dan perhitungan karbon. Para peneliti mengklasifikasikan citra Landsat menjadi data hutan primer, menggunakan algoritma berbeda untuk setiap wilayah.

Tutupan pohon didefinisikan sebagai semua vegetasi yang tingginya lebih dari 5 meter pada tahun 2000. Kumpulan data tutupan pohon merupakan kolaborasi dari Universitas Maryland, Google, USGS, dan NASA, dan menggunakan citra satelit Landsat untuk memetakan tutupan pohon secara global untuk tahun 2000 dan 2010 pada resolusi 30 meter. Tutupan pohon adalah keberadaan biofisik pohon dan dapat berupa hutan alam atau perkebunan yang ada pada kisaran kerapatan kanopi.

Kehilangan menunjukkan hilangnya atau kematian tutupan pohon dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pemanenan mekanis, kebakaran, penyakit, atau kerusakan akibat badai.

Memantau hutan Desa Penyaringan di laman GFW ini memerlukan titik kordinat karena peta yang tersaji bukan peta polygon dengan batas wilayah per desa. Batas politiknya hanya per kabupaten. Dengan perkiraan konversi titik koordinat Lintang Selatan dan Bujur Timur, area tutupannya terlihat masih hijau dengan sejumlah sebaran titik merah muda. Di Desa Penyaringan, titik pink terlihat tersebar, sebagai penanda kehilangan tutupan pohon belum begitu masif di satu area tertentu.

Zuraidah Said, peneliti hutan dan iklim di World Resources Institute (WRI) Indonesia yang menjelaskan penggunaan GFW menyarankan perubahan tutupan pohon dilihat lebih spesifik dengan empat pilihan satelit. Dari peta nampak perubahan drastis di Jembrana. Misalnya pada 2001 titik merah muda sebagai penanda kehilangan tutupan pohon makin banyak dan menebal selama periode 10 tahun kemudian. Di sisi lain ada juga titik biru yang menandakan perolehan tutupan pohon.

 

Pohon tinggi dipotong untuk membuka lahan saat ngawen. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kawasan rentan longsor di Kintamani

Hal menarik terlihat di kawasan bebukitan Kintamani, Kabupaten Bangli. Di sejumlah titik adalah lokasi titik longsor yang mengakibatkan lima warga terkubur, sedikitnya 3 rumah terkubur, dan dua orang meninggal. Longsor terjadi dipicu oleh gempa bumi magnitudo 4,8 pada 16 Oktober lalu.

Dampak di Bangli adalah 2 meninggal, 3 luka berat, 5 luka ringan, dan 420 bangunan rusak. Sedangkan di Karangasem 1 orang meninggal, 9 luka berat, 115 luka ringan, dan 1992 bangunan rusak. Lebih dari 2.300 rumah rusak, hal yang mengejutkan karena gempa tidak besar walau kedalamannya termasuk dangkal, 10 km.

Hasil citra satelit di laman GFW menunjukkan lereng bukit di area longsor terlihat cokelat sebagai tanda sedikitnya vegetasi dan kerapatan pohon. Gambaran ini konsisten selama 6 tahun terakhir. Hanya bagian pinggir Danau Batur, kaki bukit nampak menghijau.

Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bali Ketut Ariantana mengatakan pulau Bali lahir dari terbentuknya gunung purba sehingga termasuk rawan gempa. Namun gempa hal biasa sebagai proses alam asalkan tidak menimbulkan bencana seperti kerugian jiwa dan materi. Karena itu pemanfaatan ruang sesuai ekologinya sangat penting untuk menghindari bencana.

“Fasilitas umum dan bangunan tidak bisa dibangun di kawasan rawan bencana,” katanya. Namun faktanya, di area rawan malah dibuatkan akses jalan raya, lalu muncul lah akses listrik dan air sehingga menciptakan pemukiman. Gempa membuat tanah bergerak, jika kurang tanaman pengikat maka memicu longsor.

 

Exit mobile version