Mongabay.co.id

Penjaga Iklim, Lindungi Masyarakat Adat Papua

Alex Waisimon saat berusaha melihat batas area yang sudah dibuka. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hutan nan rimbun. Pegunungan bak sambung menyambung satu sama lain. Kokoh. Hijau. Sebagian pegunungan memutih berselimut kabut. Kicauan burung pun beragam irama.

Begitulah visual hutan Papua dan Maluku dalam “Defending Paradise: Hutan Ibu Kami, Rumah Cendrawasih,” sebuah film dokumenter kolaborasi antara Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa) dan The Cornell Lab of Ornithology.

Hutan bagi masyarakat adat Papua, seperti ibu. Masyarakat adat dan hutan punya hubungan erat.  Hutan adalah penyedia segala, dari sumber makanan, sumber udara, air, obat-obatan sampai budaya.

Ekosistem hutan terancam karena pemanfataan tak berimbang, terjadi alih fungsi hutan buat industri, deforestasi alias kerusakan hutan pun tak terelakkan. Alih fungsi hutan dan lahan jadi satu penyebab krisis iklim.

“Kita jaga hutan, hutan jaga kita. Tugas utama mewarisi mata air bagi anak cucu. Bukan sebaliknya. Mewarisi air mata bagi mereka.” Kata Dominggus Mandacan, Gubernur Papua Barat, dalam film dokumenter itu.

Kosmas Boryam, masyarakat adat Kampung Wembi,  Kecamatan Mannem, Keerom, Papua, mengatakan, sebagai orang yang hidup dekat atau di dalam hutan, berburu merupakan rutinitas sehari-hari.

“Biasa berburu rusa. Kami juga mengelola lahan, dengan bertani vanili, singkong, dan sayuran,” katanya.

Masyarakat adat, katanya, melindungi dan hidup bergantung hutan. Namun, kini mereka terancam karena sebagian ruang hidup sudah terbagi-bagi dalam perizinan kepada pebisnis skala besar.

“Hutan kami dijarah, dikuras habis oleh pengusaha sawit. Hutan keramat kami lindungi. Hutan kami banyak jadi kebun sawit. Kami tidak menikmati sawit itu. Siapa yang menikmatinya?” katanya dalam diskusi daring #AksiMudaJagaIklim, 22 Oktober lalu.

 

Baca juga: Pemain Baru Mulai Babat Hutan dalam Proyek Kebun Sawit Raksasa di Papua

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

Kini, mereka bertani untuk penuhi berbagai keperluan termasuk membiayai pendidikan anak-anak. Banyak anak-anak adat berhenti di tengah jalan, karena tak mampu biaya.

“Kami dari Suku Manem, di Desa Wembi, meminta kepada Pemerintah Kerom agar memperhatikan pertanian kami, coklat dan vanili. Itu jadi harapan, setidaknya kami bertahan dari sisi perekonomian.”

Masyarakat adat bertani dengan cara tetap menjaga hutan. Dia  berharap, pemerintah juga bersama masyarakat adat menjaga hutan.

“Kalau hutan habis, kami dan anak cucu bagaimana? Kami berkomitmen mengelola hutan dan melindungi?”

Suku Manem dan beberap suku lain di sekitar membuat peta partisipatif wilayah adat. “Kami buat peta hutan buru, hutan kelola dan lain-lain.”

Magdalena Penaf, perempuan adat dari Wembi mengatakan, masyarakat adat hidup bergantung hutan dari meramu dan berburu. “Kami hanya ingin kelola tanah kami mandiri. Kami coba bertani. Kami sebenarnya makan sagu, karena itu kami harus bisa kelola hutan, termasuk sagu. Bisa juga ambil rotan buat kursi dan kerajinan lain,” katanya.

Mereka bukan tidak mau tanam padi seperti di luar Papua, tetapi memang hidup dari kelola dan makan dari hutan, termasuk berburu.

“Kami coba berkebun coklat dan vanili buat menunjang ekonomi dengan jual ke luar daerah kami. Kami berharap kepada pemerintah melihat dan meninjau kami agar beri dukungan kami dalam kelola hutan,” katanya.

Naomi Marasian, dari Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PT-PPMA) mengatakan, bicara masyarakat adat, bicara ruang hidup. “Bicara kehidupan, maka bicara kehidupan manusia, termasuk masyarakat adat [di Papua],” katanya.

Menurut dia, membahas ekosistem, berarti soal sistem ekologi yang membentuk hubungan timbal balik dan tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungan. Bisa dikatakan, katanya, sebagai suatu tatanan kesatuan utuh, menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.

“Menjaga ekosistem, berarti menjaga iklim. Dengan menjaga ekosistem, kita akan menikmati, menerima, tak rugi dan akan berdampak baik bagi anak cucu di kehidupan nanti.”

Bagaimana menjaga ekosistem sekaligus melindungi masyarakat adat Papua? Pertama, kata Naomi, memetakkan ruang hidup dan penghidupan sesuai konteks kesukuan. Kedua, mengidentifikasi ruang hidup terkait wilayah adat sistem tenurial terkait sejarah, struktur kelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan, pembagian peran, pembagian ruang kelola, serta pola pemanfaatan ruang.

Ketiga, identifikasi potensi yang jadi bagian ruang penghidupan seperti dusun sagu, lokasi kebun, hutan tanaman obat-obatan herbal, hutan sebagai tempat pengambilan bahan. Juga, pembuatan peralatan berburu, hutan sebagai kandang alam tempat berburu hewan, sebagai pengambilan bahan pesta budaya, sumber mata air, tempat keramat, sejarah dan lain-lain.

Keempat, identifikasi potensi kekayaan alam dan ekonomi sesuai potensi keunggulan kampung. Kelima, identifikasi manfaat dari potensi kekayaan alam di wilayah masyarakat.

Dia bilang, pemetaan wilayah adat penting. Dalam pemetaan ruang hidup masyarakat adat, kata Naomi, setidaknya mencakup, pertama, ruang hidup dilindungi dan melindungi komunitas adat. Kedua, ruang hidup yang digarap atau dimanfaatkan komunitas adat seperti ruang kelola, tempat sejarah, mata air dan tempat keramat. Ketiga, ruang hidup yang dilindungi dan dimanfaatkan komunitas adat.

 

Baca juga: Kesepakatan Rahasia Hancurkan Hutan Papua, Berikut Foto dan Videonya

Hutan warga Kampung Yoka, di tepian Danau Sentani. RTRW Papua bakal berubah lagi. Masyarakat sipil menyerukan, peraturan tata ruang Papua ini harus mengakui manusia Papua, yang hidup dan tinggal di atas tanah dan hutan. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Pertanyakan komitmen pada masyarakat adat Papua

John N.R Gobai, Ketua Kelompok Khusus DPR Papua mempertanyakan komitmen pemerintah memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, dalam soal lahan maupun pengelolaan sumber daya alam.

Dalam regulasi Indonesia, katanya, sama sekali tak menyebutkan untuk pengelolaan sumber daya alam wajib mendapatkan izin dari masyarakat adat sebagai prasyarat izin pemerintah. Padahal, masyarakat adat ada sebelum ada negara.

Selain itu, tidak ada limpahan kewenangan kepada pemerintah Papua, satu contoh dalam pendayagunaan sumber daya alam masih kewenangan pusat. Dengan begitu, daerah sulit mengukur komitmen pemerintah provinsi dalam pengelolaan hutan untuk masyarakat adat.

“Kita lihat hutan Papua jadi perkebunan sawit, hutan dieksploitasi, marak pertambangan. Orang Papua ini dipandang bagaimana? Apakah kami disukai karena tanah kaya saja?”

Dengan pengelolaan sumber daya alam saat ini, katanya, cenderung investor mengutamakan kejar keuntungan daripada membangun relasi dengan para pihak, bahkan menggusur wilayah masyarakat adat. “Mengadu domba masyarakat antara pro dan kontra, mengakibatkan kekerasan berujung pelanggaran HAM.”

Masyarakat adat pun, kehilangan sumber penghidupan dan tanah ulayat. Ada yang termakan dan mau menjual lahan adat, kemudian broker menjual izin kepada investor baru. Masyarakat adat diberi uang tidak sebanding dengan kekayaan alam yang ada. Kadang investor mengaku rugi ketika dituntut masyarakat adat, namun mampu membayar tenaga pengamanan dan pengurusan hal-hal tertentu di instansi tertentu.

Kala pengelolaan kekayaan alam Papua, banyak berikan kepada investor skala besar, sektor pemberdayaan ekonomi rakyat pun jadi tak maksimal. Bahkan, masyarakat adat yang memanfaatkan kekayaan alam mereka— karena dianggap tak berizin–lalu mendapat label ilegal atau liar.

John bilang, Pemerintah Papua sudah sekian kali meminta kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, agar mengeluarkan norma standar prosedur kriteria (NSPK) sesuai Perdasus No 21/2008 agar masyarakat adat dapat mengelola hutan mereka dan memperoleh izin pemanfaatan hutan. Hingga kini, tak ada kabar dari pemerintah pusat.

Kalau ada kejelasan buat pemilik ulayat, katanya, mereka bisa mengelola hutan, baik hasil hutan kayu, bukan kayu dan jasa lingkungan.

Dia usul, perlu ada kawasan industri perkayuan di Papua agar kayu merek Papua bisa ekspor langsung dari Papua hingga hasil bisa dirasakan bagi daerah, pemilik ulayat juga membuka lapangan pekerjaan. Tak hanya itu, sekaligus bisa menciptakan sektor usaha untuk produk-produk kayu, seperti mebel, dan lain-lain. “Termasuk hasil hutan bukan kayu.”

 

Kehidupan masyarakat adat dari suku Korowae, Boven Digoel, Papua, masih hidup dalam pola hidup tradisional. Mereka yang bertahan hidup di pedalaman atau Dusun menggantungkan hidup dari hasil-hasil hutan yang sebagian besar belum terjamah manusia. Foto: Kristian Ari/Silva Papua Lestari

*****

Foto utama:  Hutan Papua, tempat hidup masyarakat adat dan keragaman hayati itu terbabat untuk kepentingan bisnis skala besar. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version