Mongabay.co.id

Saat Kita Menunggu Pengumuman Penting Iklim Presiden Jokowi di Glasgow

Greta Thunberg, aktivis iklim muda Swedia, akan berusia 47 tahun pada 2050, dan sebaliknya para pemimpin dunia masa kini bisa jadi tak dapat menyaksikan apakah sasaran Mufakat Paris 2015 menjadikan bumi ini bebas emisi karbon pada 2050 akan tercapai.

Pertemuan COP26 berlangsung di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober–12 November. Para kepala pemerintahan termasuk Presiden Joko Widodo akan menghadiri Konferensi tahunan ke-26 Para Pihak Kerangka Konvensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa Bangsa ini (UNFCCC).

Dua pokok besar diangkat dalam KTT iklim ini. Pertama, apa saja komitmen masing-masing negara pihak untuk mencapai sasaran Mufakat Paris itu. Kedua, kolaborasi apa dapat diwujudkan agar semua pihak berkepentingan dapat menyumbang dalam mencapai bebas emisi gas-gas rumah kaca (GRK), khususnya karbon dioksida.

Gas-gas ini dilepas ke atmosfir  dari pemakaian bahan bakar fosil dan pembakaran hutan dan lahan gambut. Emisi menyebabkan pemanasan global yang pada gilirannya mengakibatkan peristiwa-peristiwa cuaca ekstrim yang cenderung membawa petaka.

Agaknya sasaran 2050 bebas emisi karbon itu merupakan pendakian menanjak yang curam  dengan terbitnya sejumlah laporan ilmiah tahun 2021 ini.

Agustus lalu, jajaran ilmuwan iklim di Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, IPCC, menemukan aksi tingkat tinggi diambil sekarang pun untuk mengurangi emisi karbon adalah aksi yang belum cukup.

Aksi ini pun tidak dapat mencegah kejadian cuaca ekstrim seperti banjir di Jerman dan Tiongkok Juli lalu dan kebakaran hutan di AS dan Kanada awal tahun ini.

Baca juga: Pesan Kepedulian Ekosistem Pesisir dari Presiden Saat di Cilacap

 

Ilustrasi aktifitas manusia saat ini mengorbankan kelestarian lingkungan. Desain: Hidayaturohman/Mongabay Indonesia

 

Laporan Telaah IPCC itu menunjukkan dunia dapat mencapai atau melampaui pemansanan 1,5oC dalam waktu dua dasawarsa mendatang ini.

Pemanasan global rata-rata dewasa ini sebesar 1,1oC di atas tingkat suhu pra-industri. Sasaran Mufakat Paris ialah untuk menjaga pemananasan global tidak melampaui ambang batas 1,5oC pada 2050.

Jika budget karbon dunia, yaitu besaran  GRK yang orang dapat melepaskan tanpa melampaui batas pemanasan 1,5oC, hanya sebesar 400 gigaton karbon dioksida (GtCO2) pada 2020. Sebanyak 36,4 GtCO2 diemisikan setiap tahun. Ini berarti budget  karbon akan habis pada 2031.

Sementara itu, Badan Energi Internasional, IEA, yang berkedudukan di Paris, Mei lalu menerbitkan peta jalan mencapai emisi bebas karbon (net-zero emission/NZE) dalam sektor energi pada 2050.

Peta jalan itu menekankan perangkat pembangkit listrik energi terbarukan setiap tahun harus dibangun tiga kali lebih banyak hingga 2030. Ini mencakup 630 gigawatt (GW) tenaga solar PV dan 390 GW tenaga angin untuk ditambahkan setiap tahun hingga 2030. Lebih jauh, IEA berseru untuk menghentikan pemakaian bahan bakar fosil dengan menutup investasi baru dalam batubara, minyak dan gas alam.

Akhir-akhir ini, -beberapa hari sebelum COP26 dibuka, IEA menerbitkan telaah tahunan World Energy Outlook. IEA menyatakan transisi global menuju energi bersih masih “terlalu lamban”.

Baca juga: Lawan Krisis Iklim dari Kehidupan Sehari-hari, Caranya?

 

Anak-anak yang menjadi generasi mendatang adalah pihak yang bakal merasakan krisis iklim jika para pemimpin dunia tidak dapat mencapai mufakat target iklim bumi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Kelly Levin, Kepala Sains Data dan Perubahan Sistem Dana Bumi Bezos, sepakat dengan  temuan IEA itu. Dalam webinar rencana-rencana aksi iklim 5 Agustus lalu bersama World Resources Institute, ia menyatakan aksi iklim harus berjalan “jauh lebih cepat” agar ambang batas 1,5oC tetap dalam jangkauan.

Untuk menghapus separuh volume emisi pada 2030, Levin mengkalkulasikan dunia perlu meningkatkan peralihan ke energi terbarukan 6 kali lebih cepat, hentikan tenaga batubara 5 kali lebih cepat, transisi ke kendaraan listrik 22 kali lebih cepat dan meningkatkan pemakaian bahan bakar karbon rendah 8 kali lebih cepat.

Pada 30-31 Oktober sebelum Glasgow bersidang, G20, Kelompok 20 negara maju dan berkembang laju perekonomiannya, akan bertemu di Roma. Mereka diperkirakan menyatakan apa kontribusi aksi iklim individu mereka yang kemudian akan mereka uraikan lebih mendalam di Glasgow.

G20 adalah kunci menuju COP26 yang sukses. Ini karena G20 penghasil 73% emisi karbon dunia. Tiongkok 24%, Amerika 12%, Uni Eropa 7%, India 7% dan Indonesia 4%. Satu pernyataan niat bersama melakukan reduksi emisi ketat dapat mempengaruhi negara lain untuk bertindak serupa.

Bila para kepala pemerintahan menghadiri sebuah KTT iklim, mereka akan menjelaskan rencana iklim nasional mereka, diistilahkan sebagai kontribusi nasional yang telah ditetapkan (nationally determined contribution/NDC). Lebih jauh, kepala pemerintah yang bersangkutan  akan mengumumkan prakarsa ambisius.

Pada COP15 2009 di Copenhagen, Presiden saat itu Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan NDC Indonesia sebesar 26/41. Reduksi emisi karbon sebesar 26% dicapai 2020 dan 41% dengan kerjasama internasional.

Di Paris pada 2015 bagi COP21, Presiden Jokowi mengumumkan pembentukan Badan Restorasi Gambut atau BRG. Lalu inisiatif besar apa yang bakal Jokowi umumkan?

Kita sama-sama menanti, apakah di Glasgow Jokowi nanti akan mengumumkan percepatan pencapaian sasaran NZE Indonesia dari target sekarang pada 2060 menjadi 2050 atau bahkan 2045 saat bangsa Indonesia  merayakan satu abad merdeka.

Seorang pengamat yang mengenali praktik reduksi emisi menyarankan pengumuman prakarsa yang rasional dan dapat dicapai. Ini mencakup solusi-solusi berbasis alami. Misalnya, penanggulangan restorasi mangrove selain juga gambut dengan adanya Badan Restorasi Gambut dan Mangrove atau BRGM.

Pengumuman lain dapat berupa pembentukan pasar karbon Indonesia berfokus pada kegiatan ekonomi yang merupakan sumber-sumber besar emisi karbon. Jokowi dapat juga mengungkap inisiatif membangun sarana dana bagi peralihan teknologi untuk mengkonversikan industri beremisi tinggi menjadi industri beremisi rendah.

Satu peristiwa yang juga patut ditunggu ialah kemungkinan Presiden RI bertemu dengan Perdana Menteri Norwegia. Pada 10 September Indonesia mengakhiri persetujuan dengan Norwegia bekerjasama mengurangi emisi dari deforestasi.

Indonesia sudah diputuskan menerima US$56 juta sebagai pembayaran berbasis hasil kerja dalam mengurangi emisi dengan melindungi hutan dan lahan gambut. Tetapi uang itu tidak juga cair karena Norwegia menempelkan syarat-syarat baru yang sebenarnya tidak diangkat dalam persetujuan asli yang sudah ditandatangani bersama.

Bila sebuah pertemuan antara Jokowi dan PM Norwegia direalisasi, Jokowi hendaknya menekankan adanya keseimbangan kepentingan bila kerjasama akan dipulihkan. Tatakelola pencairan dana untuk pembayaran berbasis hasil kerja selayaknya harus jelas dan bebas dari tuntutan-tuntutan susulan tak diduga setelah persetujuan sudah dicapai.

Apapun buah hasil COP26, harapannya ialah agar orang usia muda kini dapat menikmati masa hidup dewasa yang aman dan tenteram pada 2050.

 

* Warief Djajanto Basorie, pengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) dan manajer proyek lokakarya Meliput Perubahan Iklim 2011-2017.  Artikel ini adalah opini penulis.

 

 

Exit mobile version