Mongabay.co.id

Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga

 

Kampung adat tradisional Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, telah mengupayakan pelestarian hutan di Daerah Aliran Sungai Ciwulan secara turun temurun. Mereka yang kerap dinilai terbelakang, agaknya kini dipandang sebagai dambaan kehidupan bagi manusia modern.

Dibalik rumah-rumah beratap ijuk berwarna hitam keabu-abuan yang begitu khas menandai kompleks Kampung Naga tersirat falsafah hidup yang menyelamatkan banyak manusia. Padahal, sekitar 50 tahun lalu tak sembarang orang dapat mengunjungi kampung yang berlokasi di pinggir jalan Tasikmalaya-Garut itu.

Seiring perkembangan zaman, warga Kampung Naga memaklumi bahwa ketertarikan orang luar tidak bisa dilarang. Hingga mereka pun memberikan izin kunjungan secara terbatas kepada orang asing masuk ke wilayah adat. Batasan dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap kearifan lokal serta adat istiadat yang telah diwariskan leluhur mereka.

Dan kepatuhan mereka terhadap budaya, agaknya, menjadi magnet bagi wisatawan lokal maupun luar negeri. Ada yang ingin sekadar berwisata, ada juga terang-terangan ingin belajar tentang konsep hidup tradisional.

baca : Menikmati Jeda di Kampung Naga

 

Sejumlah ibu rumah tangga masih mengunggakan alat tradisonal untuk menumbuk padi di Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ucu Suherlan (55) masih ingat pesan bapaknya, mendiang Djadja Sutidja yang pernah menjadi kuncen Kampung Naga. Almarhum bapaknya kala itu mengatakan, minat orang luar, terutama orang asing, terhadap budaya Naga susah dibendung. Maka, butuh kesiapan pola dan penyampaian komunikasi yang benar dan santun.

Maka salah satu yang harus disiapkan adalah kemampuan berbahasa Inggris untuk melancarkan komunikasi antara warga setempat dan turis pendatang. Alasannya, Bahasa Inggris dinilai sebagai bahasa universal yang digunakan banyak suku bangsa di dunia.

“Adat tak melarang warganya untuk belajar maupun bersekolah. Justru diwajibkan karena bisa menjebatani wisatawan paham pola kehidupan masyarakat Kampung Naga,” kata Ucu ditemui beberapa waktu lalu.

Tuntas sarjana di Jakarta, Ucu pulang. Lalu menemukan kenyataan bahwa banyak wisatawan asing memang datang untuk mengunjungi Kampung Naga. Keteguhan masyarakat adat Kampung Naga menjaga hutan, sumber air, dan hidup dalam kesederhanaan adalah daya tariknya, kata Ucu.

baca juga : Kampung Naga, Oase Tradisi di Tengah Derap Kehidupan Modern

 

Sejumlah anak memainkan permainan tradisional di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Maka, kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan turis diyakini bakal berdampak positif bagi warga. Apalagi, selama ini, sebagian besar wisatawan asing berasal dari Jerman dan Belanda. Hal ini terkait dengan minat perjalanan warga Jerman ke negara lain yang tercatat paling tinggi daripada negara Eropa lainnya.

Ucu ambil peran. Dia kemudian mengajarkan berbahasa, mengajak pemandu wisatawan asli Kampung Naga untuk belajar menjadi tukang cerita. Katanya, penyampaian seperti mendongeng membikin informasi mudah ditangkap

Nyaris disetiap generasi asli Kampung Naga, mahir bercerita dan berbahasa Inggris. Banyak juga yang telah lulusan sarjana. Bahkan ada yang mengambil sastra Belanda.

Ucu mafhum, para turis umumnya ingin menikmati kehidupan adat tradisional yang serasi dengan keaslian alam nun di perbukitan dan hulu sungai. Karena menurut mereka itu merupakan hidup yang konvensional: bisa nyaman oleh kepatuhan.

Posisi rumah menghadap dua arah, ke selatan dan utara. Bentuk atap semuanya dua arah, tidak boleh ada yang tiga arah juga memantik para akademisi melakukan penelitian. Hasilnya, keistimewaan dari bangunan itu adalah tahan gempa.

perlu dibaca : Konsep Lestarikan Alam dalam Adat Kampung Kuta

 

Permukiman masyarakat Kampung Naga. Semua rumah berbentuk tradisional. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menjaga Gerbang

Perjuangan Ucu Suherlin mempertahankan adat dan budaya warisan leluhurnya tak ubahnya perjuangan nelayan kecil yang berada di tengah badai di lautan lepas. Dalam keadaan diombang-ambing gelombang, dia diajarkan harus tetap kukuh tidak mengalihkan perhatiannya.

Dia menuturkan pernah mendapat berbagai tawaran. Barangkali bagi orang luar Naga pasti menggiurkan. Pernah ditawari eskalator untuk dipasang di jalan masuk ke Kampung Naga agar para pengunjung tidak mengalami kesulitan karena harus melewati jalan terjal.

“Tetapi kami teguh menolak. Karena kami bukan tempat wisata komersil,” imbuh Ucu. Dengan dahi mengkerut, Ucu menanyakan, bila Kampung Naga dijadikan obyek wisata, keuangan penduduk akan membaik. “Tapi apa gunanya uang, jika adat-istiadat rusak?” dia menimpali.

Warga Kampung Naga juga pernah ditawari listrik agar pada malam hari daerahnya terang benderang. Namun, semua tawaran itu ditampik. Itu bukan berarti warga Kampung Naga menolak kemajuan. Hanya saja, kemajuan jangan sampai menghilangkan ciri utama. Agaknya, namanya bukan Kampung Naga lagi jika itu diterima.

Ucu tahu, titah Kuncen Naga (Ketua adat) yang diamanahkan kepadanya berat. Yang paling berat, katanya, menjaga sekaligus membentengi adat warisan leluhur dari pengaruh luar. Apalagi, Kampung Naga merupakan kampung adat yang terbuka.

“Kami tak pernah membedakan pengunjung, baik agama, suku bangsa, atau asal mereka,” katanya. Asalkan, “Mereka menghormati karena Kami mempunyai falsafah hidup,” ujar Ucu memberi penjelasan. Falsafah itu: Teu Saba, Teu Soba. Teu Banda, Teu Boga. Teu Weduk, Teu Bedas. Teu Gagah, Teu Pinter (Warga Naga dianjurkan menjauhi kehidupan harta dan tidak merasa lebih dari yang lain)

baca juga : Menjaga Rimbo Larangan, Merawat Sumber Pangan Nagari Paru

 

Ucu Suherman, tetua adat Kampung Naga. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Budaya Lingkungan

Orang Naga dikenal memiliki kearifan yang melestarikan lingkungan hidupnya. Ditengah isu lingkungan yang makin rusak. Mereka prihatin. Bagi warga Kampung Naga, hutan merupakan bagian dari ekosistem mereka. Menjaga dan dipertahankan kelestariannya adalah titah yang “memaksa” untuk dijalankan.

Di sana ada yang disebut leuweung larangan yang artinya sama dengan hutan lindung. Walaupun tidak dijaga secara fisik, kondisi hutan tersebut masih tetap utuh. Keadaan ini sungguh menyindir penjarahan yang mengakibatkan kerusakan hutan di Jawa Barat.

Jangankan menjarah isi hutan. Menemukan ranting yang jatuh sekalipun, mereka tak berani mengambilnya. Sebab mengganggu tanaman yang tumbuh dianggap tabu. Jika hal itu dilanggar, yang bersangkutan akan menerima sanksi dari leluhurnya. Karena itu, walaupun tidak dijaga secara fisik, hutan di Kampung Naga tetap utuh. Justru, kata Ucu, hutan yang rusak yaitu hutan yang ada penjaganya.

Kebudayaan memang selalu berubah. Seiring perubahan yang berkembang pada manusia dan lingkungannya. Maka, adat Naga membentengi agar manusia tetap memiliki kemanusiaan.

Karena masih mempertahankan adat, sepintas kondisi sosial ekonomi seakan lebih rendah dibandingkan dengan penduduk kampung sekitarnya. Padahal, kalau dilihat dari sisi lain, penduduk Naga hidup mandiri, kreatif, dan pantang minta-minta. Selain pertanian, untuk penghidupan, mereka membuat berbagai kerajinan dari bambu. Matematika mereka mengamini bahwa banyak belum tentu cukup, sedikit belum tentu kurang. Budaya membentuk karakter Warga Kampung Naga.

 

Warga menunjukan padi lokal di Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat. Secara ratusan tahun, warga Naga mempunyai sekitar 20 varian padi yang mereka tanam secara organik. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Seandainya gerombolan pemberontak DI/TII Karto Suwiryo tidak membakar habis Kampung Naga beserta seluruh isinya termasuk benda- benda sakral dan senjata adat tahun 1956 lalu, mungkin sejarah kampung itu akan terkuak. Semisal, arti nama Naga itu sendiri.

“Setelah itu kami mengalami istilahnya “pareum obor” atau kehilangan penerangan yang menjelaskan asal-usul kampung adat ini,” ucap Ucu.

Ucu percaya bahwa ilmu tidak akan merepotkan ketika dibawa kemana-mana. Semakin banyak ilmu yang didapatkan, akan semakin terang jiwa dan perilaku seorang manusia.

Saat ini, Ucu berupaya mengembalikan 10 dari 20 benih padi lokal yang punah setelah revolusi hijau. Mereka sebenarnya tergolong warga sangat patuh, seperti tercermin dalam falsafah yang dianutnya: “Panyauran gancang temonan, pamundut gancang caosan, parentah gancang lakonan”. Artinya, undangan cepat datangi, permintaan cepat penuhi, dan perintah cepat laksanakan.

Namun kadang kepatuhan mereka kerap disia-siakan. Sehingga Ucu berkeinginan memulihkan kembali yang sudah hilang. Selain sebagai bentuk kearifan lokal, penggunaan benih itu juga untuk melestarikan tradisi setempat.

Ketaatan pada adat jugalah yang membuat mereka konsisten. Punya filosofi “ngaula karatu tumut kajaman” yang berarti mengikuti dinamika perubahan jaman yang berlangsung membuat Kampung Naga diganjar penghargaan Green Gold kategori Pelestarian Budaya Lingkungan dari Kementerian Pariwisata dan Indonesia Suistainable Tourism Awards (ISTA) Festival 2019 lalu.

 

Foto Udara topografi Kampung Naga dengan latar Gunung Cikuray dan perbukitan di Wilayah Selatan Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version