- Hasil analisis Global Forest Watch 2002-2020 memperlihatkan, hutan primer Kalbar sudah hilang sekitar 1,25 juta hektar.
- Analisis Yayasan Auriga mendapati, Kalbar memiliki perkebunan sawit seluas 1,89 juta hektar, antara lain masuk kawasan hutan 189.121 hektar.
- Hendrikus Adam, dari Walhi Kalbar, mengatakan, deforestasi terbesar disumbangkan alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit. Dalam beberapa tahun belakangan ini bencana ekologis kerap terjadi.
- Laili Khairnur, Direktur Lembaga Gemawan, mengatakan, komitmen mempertahankan hutan sebagai sumber alam berharga merupakan hal mutlak. Alih fungsi hutan massif cenderung jadi beban ganda bagi perempuan. “Perlu penguatan dimensi kesetaraan gender dalam pengelolaan sumber daya alam.”
Kalau jalan ke hutan di Kalimantan Barat, dari tepian tampak rimbun nan hijau. Kejutan akan terlihat kala masuk lebih dalam, pepohonan bak hanya pagar alias di depan saja, bagian dalam sudah botak sana-sini. Hutan terus tergerus. Kondisi ini, sejalan dengan hasil analisis Global Forest Watch dalam dua dekade terakhir, 2002-2020, memperlihatkan, hutan primer Kalbar sudah hilang sekitar 1,25 juta hektar.
Kalbar memiliki 6,88 juta hektar hutan primer (47%) dari total luasan wilayah 14,9 juta hektar. Dalam 2020 saja, Kalbar kehilangan 32.000 hektar hutan primer setara 23 juta ton emisi CO₂.
Analisis GFW soal kehilangan 1,25 juta hektar hutan primer basah itu menyumbang 36% total kehilangan tutupan pohon dalam periode sama.
“Dalam analisis, memang terdapat perbedaan perhitungan GFW dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bedanya, GFW mengkategorikan hutan primer dan sekunder sebagai satu kesatuan, KLHK dipisahkan,” kata Zuraidah Said, peneliti hutan dan iklim di World Resources Institute (WRI) Indonesia.
KLHK mendefinisikan deforestasi sebagai kehilangan pada tujuh kelas hutan berdasarkan peta tutupan lahan kementerian ini. Peta tutupan lahan dibuat melalui interpretasi visual atas citra satelit Landsat pada wilayah pemetaan seluas 6,25 hektar.
GFW memberikan catatan, kehilangan tutupan pohon tidak sama dengen deforestasi. Kehilangan ini bisa karena aktivitas manusia, termasuk kegiatan kehutanan seperti penebangan kayu atau deforestasi (alihguna hutan alam untuk penggunaan lahan lain), atau proses alami seperti wabah penyakit atau kerusakan karena badai. Kebakaran hutan juga salah satu penyebab utama kehilangan tutupan pohon secara alami maupun karena kegiatan manusia.
Platform online pemantau hutan ini juga berhasil menganalisis dari pencitraan satelit, memantau pada 2010, tiga kabupaten di Kalbar yang paling banyak tutupan pohon. Kapuas Hulu tutupan pohon seluas 2,92 juta hektar, diikuti Ketapang 2,58 juta hektar, Sintang 2,05 juta hektar, Sanggau 1,11 juta hektar dan Melawi 918.000 hektar.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan 2 September 2014, luas hutan Kalbar sekitar 8,4 juta hektar. Dengan rincian, 1,62 juta hektar suaka alam dan pelestarian alam, 2,31 juta hektar hutan lindung, 2,13 juta hektar hutan produksi terbatas. Kemudian, 2,13 juta hektar kawasan hutan produksi, dan 197.920 hektar hutan produksi konversi. Kawasan hutan lindung dan hutan produksi 6,77 juta hektar terbagi dalam 17 KPH.
Selain itu, potensi lahan gambut Kalbar cukup luas, 1,72 juta hektar atau sekitar 11,8% dari luas Kalbar, sebagai cadangan karbon. Tingkat deforestasi 600.000 hektar per tahun pada 2000–2010 hingga berangsur berkurang jadi 100.000 hektar per tahun sejak 2010 hingga kini.
“Realitas penguasaan sumber daya alam saat ini cenderung eksploitatif atau berskala besar, hak menguasai negara atau state dominant cenderung ambisius dengan orientasi ekonomi, dan tidak berkelanjutan,” kata Laili Khairnur, Direktur Lembaga Gemawan.
Hendrikus Adam, dari Walhi Kalbar, mengatakan, deforestasi terbesar disumbangkan alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit. Dalam beberapa tahun belakangan ini bencana ekologis kerap terjadi.
“Semua ini akibat praktik eksploitatif terhadap bentang alam dengan pepohonan yang jadi wilayah resapan atau penyangga hingga menyebabkan daya dukung dan tampung lingkungan tak memadai.” Kondisi ini menyebabkan, banjir dan bencana ekologis lain tidak terhindari.
Dia bilang, eskalasi bencana ekologis seperti banjir di Kalbar memberi gambaran kalau dampak krisis iklim sedang terjadi.
Data Kementerian Pertanian mencatat, luas perkebunan sawit di Kalbar mencapai 1.807.643 hektar dengan rata-rata produksi setiap tahun sekitar 3 juta ton. Dalam setahun, potensi pajak turunan produk sawit di Kalbar mencapai Rp1,5 triliun.
Analisis Yayasan Auriga mendapati, Kalbar memiliki perkebunan sawit seluas 1,89 juta hektar, antara lain masuk kawasan hutan 189.121 hektar.
Data GFW mendapati Sambas, merupakan wilayah yang mempunyai area perkebunan terbesar, meliputi 44% dari perkebunan di Kalbar. Sebagian besar, katanya, perkebunan sawit.
Analisis juga mendapati ada empat wilayah di Kalbar yang bertanggung jawab atas kehilangan 57% tutupan pohon antara 2001-2020. Kabupaten Ketapang, paling banyak mengalami kehilangan tutupan pohon seluas 816.000 hektar, diikuti Sintang 516.000., Sanggau 414.000 hektar, dan Kapuas Hulu 308.000 hektar.
Analisis dalam dua dekade itu, Kalbar kehilangan 3,58 juta hektar tutupan pohon relatif, setara penurunan 100% sejak 2000 dan 13% dari global. Kalbar menempati urutan kedua, di bawah Riau, kehilangan tutupan pohon sebanyak 3,9 juta hektar. Tempat ketiga adalah Kalimantan Tengah dengan luas tutupan pohon hilang 3,47 juta hektar, Kalimantan Timur 3,46 juta hektar dan Sumatera Selatan 2,86 juta hektar.
Moratorium izin di Kalbar
Erlangga, Direktur Eksekutif Inklusi Alam Lestari (Siar), mengatakan, satu capaian selama masa moratorium izin sawit selama tiga tahun menghasilkan konsolidasi data dan penyelesaian penghitungan luas perkebunan sawit nasional. Seperti tertuang dalam Kepmentan Nomor 833/KPTS /SR.020/M/12/2019, tutupan sawit Indonesia 16,38 juta hektar.
Selama tiga tahun kebijakan moratorium izin sawit, katanya, inisiatif-inisiatif lahir pada level daerah, seperti Papua Barat, bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengevaluasi izin 30 perusahaan perkebunan sawit. Salah satu landasan, Inpres Moratorium Sawit. Hasilnya, hingga Agustus 2021, Papua Barat mencabut 18 izin perusahaan sawit di provinsi itu.
“Kebijakan ini kontras dengan Kalbar yang belum banyak memberikan capaian berarti. Walaupun penerbitan izin baru nihil, minim petunjuk teknis dan peta jalan implementasi jadi satu faktor tidak mengoptimalkan moratorium sawit di tingkat kabupaten, terutama dalam evaluasi perizinan,” katanya.
Sanggau, katanya, merupakan daerah yang merespons moratorium sawit. Melalui Surat Edaran Bupati tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8/2018, pemerintah Sanggau meredistribusi tanah bersama Kementerian ATR/BPN sekitar 12.000 bidang tanah eks HGU.
Pada tahun sama, daerah itu juga menerima dua SK penetapan hutan adat dari presiden lewat skema perhutanan sosial.
Adil gender
Menurut Laili, komitmen mempertahankan hutan sebagai sumber alam berharga merupakan hal mutlak. Alih fungsi hutan massif cenderung jadi beban ganda bagi perempuan. “Perlu penguatan dimensi kesetaraan gender dalam pengelolaan sumber daya alam.”
Ada empat hal harus dipastikan dalam hal ini: akses, partisipasi, kontrol dan manfaat.
“Memastikan peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya untuk perempuan, termasuk keikutsertaan atau partisipasi kelompok perempuan dalam pengelolaan sumber alam mulai perencanaan, implementasi dan monitor dan evaluasi.”
Dia menyoroti pula pangan masyarakat adat dan lokal yang ramah lingkungan dan menghormat ragam pangan. Hal ini bisa jadi solusi krisis pangan ke depan dan pelaku, katanya, sebagian besar perempuan.
Laili juga menekankan, pemerintah mengembalikan sistem pangan nasional pada konsep keberagaman nusantara.
“Pengakuan dan penghormatan ragam jalan pangan menjadi kunci penting kedaulatan pangan, hak masyarakat adat dan lokal terhadap pangan tidak bisa dipisahkan terhadap hak mereka terhadap lahan, teritori, sumber daya alam, dan kedaulatan diri.”
******
Foto: Ilustrasi. Dalam dua dekade ini, hutan Kalimantan Barat hilang lebih 1 juta hektar. Foto: Nanang Sudjana/ RAN a