Mongabay.co.id

Jelang COP26: Menanti Solusi Iklim Serius Bukan Akal-akalan

Bencana metrohidrologi seperti banjir dipastikan akan meningkat sebagai akibat perubahan iklim. Tampak beberapa anak mendorong pencari rumput melintasi banjir di Pasuruan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pertemuan iklim negara-negara dunia (Conference of Parties/COP) 26 di Glasgow, Skotlandia, akan berlangsung mulai 1 November ini. Berbagai elemen masyarakat sipil menilai, komitmen iklim Indonesia yang tertuang dalam pembaruan nationally determined contribution (NDC) masih kurang. Mereka menilai, solusi-solusi iklim yang ditawarkan, malah berpotensi menimbulkan masalah bagi iklim dan masyarakat.

Dalam dokumen NDC terbaru, tak ada target progresif dan ambisius kalau dibandingkan dengan NDC terdahulu. Perubahan hanya terlihat dari penjabaran aksi adaptasi belaka. Padahal, desakan meningkatkan ambisi penurunan emisi ini tidak hanya datang dari dalam negeri, juga Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), mengingatkan semua negara agar menahan laju kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius.

Idbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara saat dihubungi Mongabay menyebut kalau niat NDC Indonesia dalam memberikan kuota deforestasi tidak lebih dari 3,9 juta hektar hingga 2030 sebagai janji kosong.

Greenpeace mencatat, ada 4,7 juta hektar dari 10,5 juta hektar kawasan hutan lindung sudah dibagi-bagi dalam hak guna usaha (HGU), sampai hutan tanaman industri (HTI) “Ini deforestasi terencana dan melebihi kuota dalam NDC,” katanya.

Kondisi ironis, karena Indonesia masih memiliki skenario penurunan emisi 41%. Di skema ini, kuota deforestasi hanya sebesar 845.000 hektar.

Seharusnya, NDC bisa mendorong pemerintah mengeluarkan semua hutan lindung dari beban perizinan. “Itu untuk menunjukkan komitmen.”

 

Membangun yang merusak hutan mangrove, seperti di Batam ini, apakah pedulli iklim? Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Pro industri

Ada ketidaksinkronan antara deforestasi terencana dengan kuota dalam NDC disinyalir karena keberpihakan pemerintah dalam memfasilitasi industri. Kebutuhan industri akan lahan seakan membuat instrumen penjaga kawasan hutan seperti tidak bertaji, moratorium izin—yang kini jadi aturan setop izin– hutan dan lahan, satu contoh.

Setop pemberian izin baru secara keseluruhan hanya mencantumkan sedikit saja lahan yang bisa diselamatkan. “Ada hutan lindung di dalamnya, tapi belum dievaluasi,” kata Iqbal.

Untuk moratorium seperti setop sementara izin sawit justru berakhir dengan tak ada kejelasan. “Jadi, terkesan hanya coba-coba,” kata Yuyun Hermono, Manajer Keadilan Iklim Walhi Nasional.

Pada bidang energi, lebih parah lagi, tidak ada kebijakan serupa yang diinisiasi. Padahal, sektor ini digadang-gadang sebagai penghasil emisi terbesar di masa mendatang.

Sedang moratorium izin pertambangan tak ada, padahal hulu dari sektor energi. Alih-alih setop izin walau sementara, pemerintah malah mengakomodir perpanjangan pertambangan lewat UU Minerba yang baru.

Keseriusan memangkas emisi di sektor energi pun menimbulkan banyak pertanyaan. Pasalnya, masih ada 13,8 GigaWatt pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara bakal dibangun pemerintah.

Sejauh ini, rencana lepas dari energi fosil baru bisa janji setelah 2030. Itu pun hanya pada penghentian izin dan pembangunan PLTU baru.

Bagi PLTU baru terbangun memiliki waktu hidup sekitar 30 tahun. Berarti, Indonesia baru bisa lepas dari energi kotor pada 2060 dan sejalan dengan rencana long term strategy (LTS) net zero emission Indonesia pada 2060. “Bagi kami ini sama saja dengan climate delay.”

Dia menyebut, kalau Indonesia sebetulnya bisa aksi mitigasi dan adaptasi ambisius dan lebih cepat tetapi lebih banyak ketidakseriusan. Bahkan, akal-akalan juga tidak jarang dilakukan untuk membuat wajah baru dari business as usual. Salah satu, dengan green coal energy ataupun carbon capture and storage.

“Ini hanya solusi tanggung,” kata Deon Arinalso, Program Manager Energy Transformation Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo.

Deon mengatakan, 91% transportasi publik masih disokong energi fosil. Solusi yang ditawarkan pemerintah pun tidak tepatl lewat penggunaan biofuel.

“Bisa berujung pada eksploitasi lahan nantinya,” kata Deon.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, memberikan sejumlah catatan atas dokumen NDC yang diserahkan pemerintah kepada UNFCCC itu. Kendati sudah ada beberapa pembaruan, namun dari sisi target, pemerintah dinilai kurang ambisius terhadap rencana pengurangan emisi.

“Dari sisi target, masih sama dengan NDC pertama yang diserahkan pada 2016 yakni 29% dengan inisiatif sendiri dan 41% dengan bantuan pihak luar (asing),” katanya dalam diskusi daring belum lama ini. Padahal, kalau pemerintah serius, target pengurangan emisi bisa lebih dari itu.

Dia menyimggung, hasil kajian IESR bersama sejumlah lembaga lain terkait skenario atau permodelan pengurangan emisi di Indonesia. Hasilnya, target zero biisa dicapai lebih cepat melalui transformasi energi yang lebih massif, dari berbahan fosil ke energi terbarukan. Masalahnya, ada pada komitmen pemerintah.

 

PLTU batubara Labuhan. Satu sisi bilang, komitmen iklim, satu sisi terus bangun PLTU batubara, serius? Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Soal komitmen itu pula yang menjadi catatan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. Meski tak menampik ada beberapa hal baru yang pemerintah masukkan sebagai bagian dari upaya pemenuhan Perjanjian Paris, persoalan sebenarnya ada pada keseriusan pemerintah.

“Tinggal bagaimana pemerintah menjaga konsistensi agar kebijakan pembangunan sejalan dengan upaya penurunan deforestasi dan degradasi, karena itu akan jadi kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia,” katanya.

Menurut dia, pemerintah telah memasukkan sektor kelautan sebagai bagian upaya adaptasi perubahan iklim. Namun, perlu menegaskan kembali komitmen untuk menahan laju deforestasi-degradasi lahan karena upaya apapun terkait pengurangan emisi jadi percuma bila konversi lahan terus terjadi.

Nadia mendesak, pemerintah meninjau kembali program pengembangan pangan skala besar (food estate) yang digaungkan sejak setahun lalu. Sebab, program yang diklaim sebagai usaha mewujudkan ketahanan pangan itu banyak bersinggungan dengan wilayah hutan alam dan lahan gambut.

Hasil kajian mereka, dari jutaan hektar lahan untuk food estate, sekitar 1,5 juta hektar merupakan kawasan hutan alam. Bahkan, bila dikalkulasi, nilai kayu lebih Rp200 triliun.

Indonesia sebagai negara kepulauan akan terdampak langsung krisis iklim. Sayangnya, pemerintah tak cukup serius menyusun langkah antisipasi.

Updating NDC yang dikirim pemerintah Juli lalu tak lebih sekadar gimmick atau omong kosong belaka. Nyatanya, pemerintah juga masih mentoleransi deforestasi,” kata Tata Mustasya, juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace.

Sampai saat ini, katanya, Indonesia belum berada pada jalur yang tepat dalam mengatasi perubahan iklim. Hal itu bisa dilihat dari beberapa indikator, salah satu target pengurangan emisi, sebagaimana dokumen NDC terbaru yang diserahkan ke Komisi UNFCCC, Juli lalu.

“Di dokumen NDC pertama (sebelum update), lima tahun lalu (2016) target pengurangan emisi dari bussines as usual 29% secara mandiri dan 41% dengan bantuan internasional. Setelah lima tahun, tidak ada perubahan.”

Target itu, katanya, dinilai terlalu kecil dan tak memadai untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia. Bahkan, bila saja negara-negara lain mengikuti pola seperti Indonesia, kenaikan suhu global di masa depan bisa 4° Celcius. Padahal, Perjanjian Paris yang disepakati 2016 adalah mencegah kenaikan suhu global lebih 1,5° Celcius.

“Tidak bisa dibayangkan bagaimana dampaknya ketika peningkatan suhu di atas itu, atau bahkan sampai 4° Celcius. Pasti akan banyak kota-kota tenggelam akibat cuaca ekstrem dan meningkatnya muka air laut. Indonesia, sebagai negara kepulauan pasti menanggung banyak kerugian.”

Dia bilang, sudah terlalu banyak kajian atau hasil riset menyatakan dampak perubahan iklim di masa depan, seperti pertanian, kesehatan, kelautan, hingg air. Sayangnya, itu dirasa belum cukup sebagai acuan pemerintah dalam mengambil kebijakan.

 

Batubara dari hulu saat penambangan saja sudah lepas  emisi dan ciptakan banyak masalah lingkungan hidup,  sosial dan  masyarakat. Dengan hanya dengan beri teknologi ini itu, lalu berubahlah jadi ‘low emission’. Atau ketika diubah jadi cair, masuklah ia dalam eneegi baru. Solusi iklim sesungguhnya?  Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Benarkah solusi?

COP26 di Glasgow secara khusus akan membahas pasar karbon atau carbon offsetting. Hal ini berdasarkan amanat Pasal 6 Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Sebagai negara dengan cadangan karbon tinggi, Indonesia bahkan sudah menyiapkan berbagai regulasi dan perangkat untuk menjalankan itu. Termasuk, paling baru pengaturan pasar karbon di dalam UU Harmonisasi Perpajakan.

Di tahap awal, pajak karbon ini akan diterapkan pada PLTU batubara pada 1 April 2022 dengan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan batas emisi.

Setiap PLTU yang melebihi batas emisi akan kena pajak Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Wajib pajak pun bisa memanfaatkan sertifikat karbon yang dapat dibeli di pasar karbon sebagai pengurangan kewajiban pajak karbon.

Meskipun demikian, inisiatif pemerintah ini dinilai justru menunjukkan keberpihakan terhadap korporasi penghasil emisi tinggi. Pasalnya, bukan tidak mungkin perusahaan akan memilih membayar atau membeli karbon ketimbang mengubah bentuk bisnis yang menghasilkan banyak emisi.

Padahal, memaksa pencemar untuk membayar ganti rugi sudah terkandung dalam polluters pay principle. “Pasar karbon hanya akan jadi green wash,” ucap Yuyun.

Mekanisme pasar karbon menyebabkan penolakan untuk masuk dalam Perjanjian Paris. Celakanya, Indonesia justru bersemangat menyambut ini.

Chenny Wongkar, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyebut, Perpres Perdagangan Karbon masih belum tepat. “Kebijakan pemerintah belum comply dengan niatan pasar karbon ini,” katanya.

 

Penyingkiran masyarakat

Salah satu dampak negatif dari pasar karbon yang menggunakan rezim perizinan adalah potensi penyingkiran masyarakat. Hal ini mengacu pada konflik yang sering terjadi terkait perizinan di kawasan hutan. “Akan ada land grabbing baru atas nama green dan aksi iklim,” kata Iqbal.

Selama ini, masyarakat, terutama masyarakat adat, merupakan figur yang bisa menjaga kawasan hutan tetap lestari. Sayangnya, peran mereka kerap hanya menjadi lip service dalam penanganan perubahan iklim.

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saat dihubungi mengatakan, perundingan iklim kerap menyebut masyarakat adat tetapi tidak demikian saat implementasi. “Dalam NDC saja tidak disebutkan.”

Padahal, data AMAN, ada sekitar 37 gigaton karbon di seluruh wilayah adat di nusantara ini. Karena itu, kealpaan melibatkan masyarakat adat dalam penurunan emisi dan perdagangan karbon adalah hal keliru.

Masyarakat adat, kata Abdon, bersedia ditantang dalam menahan perubahan iklim ini. “Tidak perlu lewat mekanisme pasar karbon, cukup berikan insentif saja bagi masyarakat untuk jaga hutan.”

Setidaknya, ada 40 juta hektar dari 57 juta hektar kawasan hutan di sekitar wilayah adat dengan kondisi masih baik. Sekitar 17 juta hektar ini bisa diperbaiki dengan kerjasama pemerintah dan masyarakat adat.

Senada dikatakan Yuyun. Dia bilang, mekanisme pasar karbon seharusnya bisa diganti dengan pemberian dana hibah atau insentif tanpa syarat bagi masyarakat untuk jaga hutan.

“Masyarakat jangan jadi komoditas perdagangan karbon.”

 

Food estate yang buka lahan gambut, solusi iklim? Foto: Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden

 

Persiapan pemerintah?

Dalam upaya persiapan perundingan iklim pada COP26 UNFCCC di Glasgow, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim mempersiapkan para delegasi dan negosiator handal, tanpa menyebutkan siapa saja yang disebut handal itu.

Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menekankan pada delegasi COP26 menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia sangat serius dalam penanganan pengendalian perubahan iklim yang terencana dan solid antar sektor.

Salah satu bentuk keseriusan Indonesia, katanya, target kehutanan dan pengunnaan lahan (forestry and other land use/FoLU) netsink carbon pada 2030 akan dibawa ke meja perundingan melalui kerja sama dengan negara-negara pemilik hutan tropis dunia seperti Brasil dan Republik Demokratik Congo.

Ketiga negara ini sepakat menjalin kolaborasi dengan tagline “Forest Power to Glasgow.”

“Pemerintah siapkan langkah bersama kelola reduksi emisi karbon dari sektor kehutanan dan lahan dengan insentif dan pajak, serta sekaligus menegaskan beriringan dengan sektor kehutanan juga dikelola sektor energi dengan agenda dekarbonisasi,” katanya.

Siti bilang, Indonesia berkomitmen masa depan tangguh, rendah emisi dan berketahanan iklim dengan penyampaian dokumen updated NDC dan long-term strategies low carbon and climate resilience 2050 pada 22 Juli lalu.

Dalam diskusi A Climate Superpower Indonesia, Hari Prabowo, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan, Indonesia akan berangkat dengan optimisme jadi bagian dari solusi. “Ubah tantangan menjadi opportunity, misal, dalam upaya transisi energi.”

Laksmi Dewanti, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK bilang, ada misi utama dalam perhelatan COP26 di Glasgow. Pertama, implementasi NDC, kedua, pemenuhan dan penyelesaian Paris Rulebook, ketiga, pernyataan komitmen jangka panjang tahun 2050 dan terakhir, menuju zero emission.

Pemerintah Indonesia, katanya, sedang proses penyelesaian penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon. Rancangan ini akan mengatur seluruh mekanisme nilai ekonomi karbon yang mencakup perdagangan karbon, carbon offset, pembayaran berbasis kinerja dan pungutan atas karbon.

“Ke semua cakupan nilai ekonomi karbon ini diarahkan untuk mendukung upaya-upaya pencapaian target NDC,” katanya.

 

Perpres NEK

Adapun agenda paling krusial yang belum tuntas sejak COP24 di Katowice pada 2018 adalah pengaturan teknis implementasi Article 6 of the Paris Agreement, operasionalisasi kerjasama internasional sukarela untuk pemenuhan NDC melalui mekanisme pasar dan non-pasar.

Siti bilang, Indonesia sudah siap dengan semua infrastruktur pendukung kebijakan. “Indonesia mempersiapkan infrastruktur regulasi di dalam negeri, seperti Peraturan Presiden mengenai Nilai Ekonomi Karbon. Menteri Keuangan juga menetapkan pajak karbon sebagai bagian penguatan regulasi, serta mempersiapkan implikasi pada sektor perdagangan internasional.”

Febrio Nathan Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu 25 Oktober lalu mengatakan, regulasi nilai ekonomi karbon sedang tahap finalisasi. Regulasi ini akan memuat peraturan tentang instrumen-instrumen yang bersifat perdagangan atau pasar karbon maupun non perdagangan.

Penerapan mulai 1 April 2022 pada PLTU batubara dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekivalen (CO2e). “Pengaturan ini dalam konteks mendukung pencapaian target NDC Indonesia 29% dengan usaha sendiri atau 41% dengan dukungan internasional.”

Dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan disebutkan  tahap awal, 2022-2024 pajak karbon diterapkan terbatas hanya pada sektor PLTU batubara yang  sebenarnya sudah punya pasar karbon yang sedang berjalan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah menjalankan sistem cap and trade terhadap PLTU batubara, katanya, dengan begitu pengaturan pajak karbon mendukung pembangunan pasar karbon makin lebih kuat.

“Dampak dari penerapan pajak karbon akan sangat terbatas karena pengenalan masih cap dan tarif pajak karbon sangat konservatif. Roadmap pajak karbon ke depan akan terus kita bangun mengikuti perkembangan pembangunan pasar karbon tersebut,” kata Febrio.

 

 

*****

Foto utama:  Banjir, salah satu bentuk bencana iklim. Tampak beberapa anak mendorong pencari rumput melintasi banjir di Pasuruan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version