- Situs belajar mangrove Kurri Caddi di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dibangun pada tahun 2014 melalui rehabilitasi menggunakan pendekatan EMR atau Ecologial Mangrove Rehabilitation.
- Setelah 7 tahun terlihat hasil yang signifikan pertumbuhan mangrove berdampak secara ekologi atau ekonomi bagi masyarakat sekitar.
- Tambak dianggap bertanggung jawab terhadap hilangnya tutupan mangrove, di mana sekitar 40 persen kerusakan mangrove di Indonesia secara histori disebabkan oleh konversi tambak.
- Tantangan pengelolaan kawasan Kurri Caddi adalah masalah tenurial, berupa klaim kepemilikan lahan dan akses.
Yusran Nurdin Massa, memperlihatkan sebuah peta dari Google Earth di laptopnya. Sebuah kawasan bekas tambak yang ditumbuhi mangrove secara lebat. Dengan beberapa klik ia menunjukkan kawasan yang sama namun di tahun yang berbeda.
“Kalau dilihat progresnya dari pengerjaan tahun 2014 selama tiga tahun di peta kelihatan tidak terlalu cepat. Setelah pulih semua hidrologinya dan sedimennya banyak masuk dan ketinggian substratnya sesuai baru kemudian signifikan pertumbuhan 2018 sampai sekarang terlihat penutupannya,” jelas Yusran kepada Mongabay, Senin (25/10/2021).
Kawasan yang ditunjukkan Yusran adalah lahan tambak yang direhabilitasi oleh Blue Forests yang sebelumnya bernama Mangrove Action Project (MAP) melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam di Dusun Kurri Caddi, Desa Nisombala, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Pertumbuhan mangrove di Kurri Caddi ini memang fenomenal dan menunjukkan sebuah harapan baru bagi kelestarian mangrove. Selama ini keberadaan tambak dianggap bertanggung jawab terhadap hilangnya tutupan mangrove, di mana sekitar 40 persen kerusakan mangrove di Indonesia secara histori disebabkan oleh konversi tambak.
“Menjadi krusial ketika kita membahas perbaikan mangrove maka akan terkait pada tambak,” tambah Yusran.
baca : Menebar Sejuta Bibit Mangrove di Situs Belajar Kurricaddi
Situs belajar Kurri Caddi sendiri diinisiasi pada tahun 2011, yang difasilitasi oleh Konsorsium Kemitraan Bahari. Pada tahun 2012 diadakan pertemuan antara praktisi dan penggiat mangrove se-Sulawesi Selatan di Makassar untuk membangun kolaborasi melakukan rehabilitasi yang mempertimbangkan berbagai aspek.
“Kami berkumpul bersama untuk belajar dari banyaknya kegagalan rehabilitasi mangrove yang terjadi. Lalu kita bersama-sama mencari lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai situs belajar rehabilitasi mangrove dan pengelolaan tambak yang ramah lingkungan lalu dipilih dua lokasi potensial yaitu di Puntondo dan Kurri Caddi.”
Lokasi di Puntondo sendiri kurang kondusif karena masalah tenurial, sehingga pilihan lokasi jatuh ke Kurri Caddi. Kebetulan di saat yang sama ormas Muhammadiyah juga ingin berkontribusi terhadap upaya mendorong situs belajar rehabilitasi mangrove dan pengelolaan tambak ramah lingkungan.
“Dari serangkaian diskusi dan kunjungan lapangan sama-sama kemudian dirumuskanlah rencana aksi dan desain rencana rehabilitasi mangrove dan tambak ramah lingkungan di Kurri Caddi. Konteksnya pada saat itu kita ingin mengembangkan dan belajar tentang EMR.”
EMR atau Ecologial Mangrove Rehabilitation sendiri merupakan metode rehabilitasi dengan pendekatan yang berbeda yang dikenal selama ini dengan cara menanam. Melalui metode ini lahan tambak ditata ulang seperti sebelum dikonversi menjadi tambak. Bagian yang lebih dalam ditimbun dengan tanah bekas pematang. Prinsipnya bagaimana mengembalikan kondisi kawasan ini seperti sedia kala.
“Pengerjaan teknis di situ kan lebih banyak pada memperbaiki kondisi hidrologinya karena tambaknya terlalu dalam sehingga mangrove tidak bisa tumbuh. Kita bikin saluran air menggunakan ekskavator dan buka pintu-pintu air sehingga diharapkan akan merangsang mangrove akan tumbuh secara alamiah.”
baca juga : Kembali Lebat, Ini Cerita Sukses Rehabilitasi Mangrove Kurricaddi
Menurut Yusran, potret Kurri Caddi sebagai situs belajar adalah sebuah mozaik bagaimana mangrove dan tambak saling membutuhkan sehingga diharapkan bisa jadi model dan praktik baik bagi perbaikan tatakelola mangrove di Indonesia.
“Makanya upaya rehabilitasi mangrove dan tatakelola tambak didorong di Kuri Caddi. Sekarang kan upaya-upaya ini sudah banyak juga di-address berbagai pihak, apakah model mozaik landscape mangrove tambak sebagian wilayah mangrove yang ada greenbelt seperti di Kurri Caddi itu direstorasi, dan tambak di belakangnya dikelola jadi tambak dan bagaimana keduanya bisa saling mendukung.”
Di peta mangrove nasional sendiri, lanjut Yusran, upaya ini sudah masuk salah satu strategi untuk mengintegrasikan tambak dan upaya rehabilitasi yang dilakukan melalui pendekatan yang disebut Associated Mangrove Aquaculture (AMA) atau sistem tambak terhubung mangrove.
“Ini sebenarnya hasil belajar juga dari salah satu program di Demak yang direplikasi menjadi AMA. Berharap ini bisa jadi contoh baik rehabilitasi mangrove bisa dilakukan di tambak modelnya tidak seperti umumnya menanam di pematang.”
Manfaat Ekologi dan Ekonomi
Rehabilitasi mangrove di Kurri Caddi dilakukan pada tahun 2014, dilakukan melalui pembongkaran tambak dan pembuatan saluran menggunakan alat berat ekskavator dan pembongkaran secara konvensional melibatkan masyarakat setempat. Pada saat yang sama dilakukan juga Sekolah Lapang Mangrove yang diikuti oleh puluhan pemuda setempat.
Edi Idul, salah seorang nelayan di Kurri Caddi, salah seorang alumni Sekolah Lapang yang kemudian menjadi mitra lokal Blue Forests, bercerita bagaimana upaya rehabilitasi itu memberi manfaat bagi masyarakat sekitar, baik secara ekologi maupun ekonomi.
“Dulu ketika air pasang atau hujan deras akan membuat kampung tergenang, banyak mangrove yang ditebang karena masyarakat tidak paham betul fungsi mangrove selain sebagai kayu bakar atau kayu bangunan semata,” katanya kepada Mongabay, Rabu (20/10/2021).
perlu dibaca : Tanam Mangrove Gunakan Anyaman Daun Lontar, Solusi Pengganti Polybag Plastik
Butuh waktu untuk memberi kesadaran warga akan pentingnya mangrove, apalagi dampak dari rehabilitasi tidak langsung bisa terlihat, butuh waktu bertahun-tahun. Malah pada banjir 2017, sebagian warga malah menuduh proyek rehabilitasi itu justru menyebab banjir rob, karena adanya pembongkaran tambak dan pembuatan saluran. Hal yang sama berulang pada tahun 2018 dan 2019.
Kondisi berbalik ketika 2020, ketika mangrove telah tumbuh lebat, mulai terlihat manfaat keberadaan mangrove dalam menjaga pantai dari abrasi dan mencegah air masuk ke tambak.
“Mereka yang dulunya marah dan menuding rehabilitasi ini sebagai penyebab banjir justru balik mendukung. Mereka akhirnya sadar keberadaan mangrove penting untuk menjaga tambak agar tidak tergenang ketika banjir dan musim hujan.”
Secara ekonomi dirasakan manfaatnya dengan melimpahnya kepiting rajungan dan beragam jenis ikan, yang selama ini sulit ditemukan.
“Anak-anak mereka punya penghasilan sendiri dari hasil tangkap kepiting rajungan, apalagi harganya cukup baik sekarang ini. Anak-anak tidak lagi minta jajan sama orang tua, malah membantu ekonomi keluarga.”
Pemerintah desa dan daerah juga memberi dukungan dengan membangun tracking mangrove yang bisa sekaligus sebagai dermaga tradisional bagi nelayan. Beberapa gazebo dibangun dengan harapan kawasan tersebut akan dikembangkan sebagai kawasan wisata.
baca juga : Dedikasi Tiada Henti Taiyeb untuk Mangrove Tongke-tongke Sinjai
Tantangan dan Harapan Pengelolaan
Meskipun terlihat perubahan dan perbaikan mangrove namun pengelolaan kawasan Kurri Caddi memiliki tantangan tersendiri.
“Tantangan utama pengembangan kawasan ini bersifat tenurial di mana ada kepemilikan lahan dengan alas hak serta klaim-klaim dari sejumlah pihak, khususnya di daerah pantai. Kalau masalah tambak, masih harus dibicarakan kembali dengan Muhammadiyah sebagai pemilik lahan tersebut,” ungkap Rio Ahmad, Direktur Blue Forests.
Masalah lain terkait akses, karena sejumlah ruas jalan menuju lokasi juga diklaim kepemilikannya oleh pihak tertentu, meskipun pemerintah setempat sudah menjanjikan untuk menyelesaikan masalah tersebut dan membangun jalan lain.
Rio sendiri berharap masalah tersebut bisa diselesaikan dengan baik dan dialog dengan pihak-pihak terkait.
“Kita berharap masalah-masalah ini bisa diselesaikan dengan baik, apalagi bupati juga sudah komitmen untuk membantu tanpa ada konflik. Kalau ini berhasil maka ini bisa menjadi model juga untuk mengatasi masalah yang sama di tempat lain.”
Menurut Rio, Blue Forests sendiri sedang mengembangkan model pengelolaan yang mengintegrasikan semua seperti livelihood, konservasi, ekowisata, dll.
“Untuk eduwisata yang kami kembangkan kami kerjasama dengan berbagai pihak, kolaborasi berbagai pihak untuk mengembangkan wisata dan kapasitas masyarakat untuk pengelolaan wisata, dan rencana membangun sarana wisata.”