Mongabay.co.id

Upaya Kelompok Nelayan Pulihkan Laut dan Pesisir Lora

Edi Wahid, memantau tumbuh kembang bibit mangrove yang ditanam di hutan Mangrove rusak. Selama puluhan tahun masyarakat mengambil batang mangrove untuk memenuhi perapian dapur. Foto: Riza Salam

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

 

 

 

 

Fajar menyingsing perlahan meredup di pertengahan September lalu. Terhalang mendung tebal hitam,  menggantung di  Kecamatan Mataoleo, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara ini, jadi pemandangan menakjubkan.

Angin barat yang ditunggu-tunggu sejak Juni tak kunjung datang. Sudah telat tiga bulan. Anomali cuaca membuat nelayan tradisional berpikir dua kali untuk turun melaut.

“Dulu, di sini hamparan karang warna-warni, seperti surga. Air laut jernih,” kata Syukur Dullah, Kepala Desa Lora, sambil menunjuk ke pantai. Kini, yang terlihat hanya bentangan pasir tanpa padang lamun.

Desa Lora, memiliki bonus demografi pantai sepanjang tujuh km, hanya sekitar dua km dihuni warga sekitar 412 keluarga. Hampir sebagian besar rumah warga dibangun di atas pondasi berbahan timbunan batuan karang laut.

“Kalau dulu kita duduk di siang bolong, terdengar bersahutan bunyi bom,” ujar Syukur.

“Sekarang, saya sudah jarang dengar, biasa hanya sekali dalam seminggu. Intensitas pemboman menurun sekitar tahun 2011.”

Dia bilang, ikan berkurang drastis seiring terumbu karang habis. Hutan mangrove yang jadi ekosistem utama kepiting di muara pun habis ditebang. Kayu untuk perapian dapur.

Kini, Pantai Lora menyisakan sebaran kawasan gundul dan rusak, abrasi pantai, dan muara sungai tercemar sedimentasi lumpur terdampak penggundulan hutan di hulu.

Sekitar 16 hektar pasir di muara Sungai Lora tertutup lumpur hingga sungai lebih lebar. Pembukaan lahan pertanian dan perkebunan masif diduga jadi penyebab utama.

Belum lagi konflik antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang makin sering terjadi. Masalah kompleks dan ruwet. Sampai-sampai Syukur tak berani pergi meninggalkan kampung selama berhari-hari.

“Saya dengar kemarin ada tiga kapal 20 GT masuk ke laut sini,” katanya. Kabarnya mau menangkap ikan dengan jaring pelingkar.

Desa Lora, berjarak hampir 20 km dari Kasipute, Ibu Kota Kabupaten Bombana. Untuk kesini, menempuh perjalanan sekitar tiga jam melintasi jalan rusak dan berlumpur.

Situasi ini sudah bertahun-tahun. Bahkan, tidak pernah sekalipun masyarakat Lora merasakan berkendara di aspal mulus sampai ke halaman rumah mereka.

 

Tangkapan ikan para nelayan Lora terus menurun selama beberapa tahun terakhir. Foto: Riza Salman

 

Aksi warga

Hembusan angin dari timur di pagi hari terasa menusuk persendian tubuh Karmang, yang mengenakan jaket wol.  Dia  dibantu dua rekan se perahu motor menurunkan tiga boks gabus ke Pelabuhan Desa Lora.

Boks itu berisi 100 kg kembung hasil menjaring bertiga  semalaman di Pasi, sebutan lokal terhadap satu-satunya habitat terumbu karang yang tergolong sehat, luput dari pemboman.

“Ikan di laut berkurang selama dua tahun ini,” kata Karmang. ”Dulu, kita menangkap ikan sampai 40 kilogram per orang. Sekarang, tidak sampai begitu”

Mereka beberapa kali mengusir kapal nelayan tangkap dari daerah kabupaten atau kota lain yang menjaring ikan dasar dengan kapal berkapasitas lebih 10 GT, di kawasan larang ambil.

“Kita beritahu jangan mengolah ikan di sini, ini tempat nelayan kecil,” katanya.

Karmang anggota Bahari Sejahtera, Kelompok Masyarakat Pengawas yang dibentuk secara partisipatif pertengahan 2020. Kelompok ini melibatkan kesepakatan bersama enam desa sekitar.

Kelompok ini bertugas mengawal penerapan pengelolaan akses area pesisir (PAAP) untuk mewujudkan konservasi laut dan perikanan. Pendekatannya, pemberdayaan masyarakat, kebijakan tata kelola, dan pendanaan berkelanjutan.

PAAP merupakan praktik konservasi laut yang diinisiasi RARE pertengahan 2020. Ia melibatkan warga lokal sebagai aktor perubahan untuk menjaga ekosistem pesisir-laut dari kerusakan yang terus berlanjut. Kelompok ini juga berusaha hutan menjaga hutan mangrove dan merehabilitasi yang rusak.

Kini, Karmang dan nelayan lain khawatir kalau laut mereka kekurangan ikan. Mereka tak punya uang cadangan untuk membiayai operasional menangkap ikan di perairan lepas.

“Kalau cuaca buruk, kami terpaksa jadi buruh tani.”

Tak jauh beda dengan suami istri, Hadawiah dan Arifin S. Mereka nelayan yang biasa menjaring ikan di laut dengan perahu di perairan dangkal pesisir kampung.

“Hujan, kencang arus. Biar satu ekor tidak dapat. Kalau zaman dulu banyak ikan. Sekarang berkurang, karena cuaca.”

Arifin, sering jadi buruh serabutan kalau hasil penjualan ikan merosot.

Selama berpuluh tahun, ikan tangkapan mereka dijual ke penampung lokal. Kalau jumlah sedikit, Hadawiah berjalan kaki keliling kampung sambil menjual ikan ke warga lain.

“Untung penjualan ikan sebulan biasa Rp600.000. Kadang kurang, kadang lebih.”

Santi, anak perempuan Hadawiyah, sudah dua tahun penyuluhan mandiri untuk menyadarkan masyarakat peduli lingkungan hidup.

“Di sini banyak yang tidak tamat SD. Mereka lebih cepat paham dengan diperlihatkan buku bergambar,” katanya.

Baru-baru ini, Santi mengikuti literasi keuangan yang digelar Kelompok Bahari Sejahtera. “Supaya bisa paham mengelola uang masuk dan uang keluar.”

Santi optimis, literasi keuangan yang dia peroleh akan bermanfaat membantu perekonomian keluarga nelayan keluar dari jerat kemiskinan, di tengah penurunan sumber daya hayati laut.

Fitriani, Bendahara Kelompok Bahari Sejahtera juga guru di Sekolah Dasar Negeri 39, Desa Lora.

Kalau cuaca cerah, Fitriani berjalan kaki di antara jalan berlumpur, mendatangi satu persatu para ibu rumah tangga, dan membantu menata pengelolaan keuangan mereka.

Bukan hanya persoalan uang, nelayan yang dia jumpai diberi pemahaman agar terlibat mengelola laut secara berkelanjutan.

 

Pecahan terumbu karang yang rusak diantara tunas-tunas hutan mongrove, terhempas terbawa gelombang tinggi hingga ke pesisir. Foto: Riza Salam

 

Usul jadi kawasan konservasi

Kelompok Bahari Sejahtera mengusulkan Pulau Bembe dan laut sekitar jadi kawasan konservasi atau kawasan larang ambil hasil laut.

Ishaq Warsandi, Kepala Seksi Konservasi Dinas Kelautan Sulawesi Tenggara mengatakan, sangat terbantu dengan program PAAP.

Katanya perlu biaya besar untuk menjangkau dan merawat delapan sebaran zonasi yang akan diusulkan naik status jadi konservasi, antara lain perairan Mataoleo.

Bagi Ishaq, penting menetapkan PAAP jadi kawasan konservasi guna mencegah aktivitas pertambangan nikel, yang berlangsung di sekitar perairan yang ada PAAP.

Belum lagi hilir mudik kapal pengangkut material nikel yang melintas atau masuk di wilayah PAAP, yang semestinya hanya bisa kapal di bawah 5 GT.

“Kalau kami kan tidak bisa menjaga semua laut ini,” katanya.

Dulu, di perairan pulau itu terancam pengeboman ikan. Amin, nelayan Pesisir Lora berumur 69 tahun cerita pertama kali melemparkan peledak ke laut akhir 1980-an dengan bom buatan sendiri. Dia meniru merakit peledak dari para pembom lain.

“Dulu, banyak eeeee…,” kata Amin. Dia tak bisa  mengingat berapa pelaku bom ikan di Perairan Mataoleo, Bombana.

“Dari Pulau Pasi, dari Pulau Maginti, dari mana-mana!” katanya, dengan kedua tangan bergantian menunjuk ke arah sana-sini di udara.

Kedua pulau yang disebutkan terletak di Kabupaten Muna Barat di seberang laut Mataoleo. Pulau asal para pembom.

“Cuma saya yang dari desa sini, karena alasan ekonomi, tidak ada pekerjaan,” katanya, perlahan menunduk lalu menarik napas.

Daya ledak produksi buatan tangan Amin beragam, sesuai ukuran media penampung bahan peledak. Mulai dari botol kaca bervolume 150 ml hingga jerigen berkapasitas lima liter.

Sebelum memgebom, Amin mengidentifikasi lokasi yang terdapat gerombolan ikan. Entah itu di perairan yang memiliki terumbu karang, ataupun tak berkarang.

“Sebenarnya, kalau tidak ada risiko lumayan banyak untungnya,” katanya. Kemudian, dia setop mengebom  ikan setelah ditangkap lima kali oleh TNI Angkatan Laut tiga kali, polisi satu , dan kepala desa satu kali.

Amin sudah setop ngebom ikan sejak 2002 dan beralih ke alat pancing tradisional sembari berjualan sembilan bahan pokok.

“[Dulu] pemboman saya lakukan di belakang pulau sana,”katanya, sambil menunjuk ke selatan laut. Pulau itu diberi nama Pulau Bembe, sekitar 1,6 mil dari pesisir Desa Lora.

Perairan sekitar pulau itu yang diusulkan Kelompok Bahari Sejahtera, agar jadi kawasan konservasi.

 

*****

Foto utama:  Edi Wahid, memantau tumbuh kembang bibit mangrove yang ditanam di hutan Mangrove rusak. Selama puluhan tahun masyarakat mengambil batang mangrove untuk memenuhi perapian dapur. Foto: Riza Salam

Exit mobile version