Mongabay.co.id

Badak Jawa dan Tumbuhan Invasif di Ujung Kulon

Badak jawa yang berada di habitatnya di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: David Herman Jaya/Javan Rhino Expedition

 

 

Tim Uni Konservasi Fauna [UKF], Institut Pertanian Bogor [IPB] melakukan perjalanan ilmiah [Ekspedisi Global] pada Juli 2021 di Taman Nasional Ujung Kulon. Dalam pengembaraan 18 hari, mereka menelisik Resor Karang Ranjang, Resor Cibunar, Cidaon, hingga Pulau Peucang.

Ryan Albert, Divisi Konservasi Herbivora UKF mengatakan, di Resor Cibunar mereka menemukan tiga kubangan badak, yaitu kubangan permanen, semi permanen, dan temporer.

“Di resor ini lengkap sekali jenis kubangannya, dari yang bisa difungsikan setiap saat hingga kubangan yang hanya ada jika musim hujan,” tuturnya dalam webinar bertema Menapaki Relung Ekologi Fauna di Ujung Barat Pulau Jawa, Sabtu [30/10/2021].

Tim melakukan pemantauan kondisi ekosistem badak jawa juga. Hasilnya, di habitat satwa bercula itu, banyak ditumbuhi tumbuhan invasif yang bukan makanan badak, yaitu pohon langkap [Arenga obtusifolia] sebanyak 18,2 persen, patat [Maranta arundinacea] 10,3 persen, dan bangban [Donax canniformis] 10,3 persen.

Langkap merupakan tanaman sejenis palem-paleman yang menyebar sangat cepat dan mengganggu habitat badak jawa.

“Langkap adalah masalah besar, tumbuhan invasif yang mengambil alih lahan pakan badak,” kata Ryan.

Baca: Javan Rhino Expedition, Memotret Badak Jawa di Habitat Terakhir

 

Badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: David Herman Jaya/Javan Rhino Expedition

 

Salah satu cara mengendalikan tumbuhan invasif ini hanya dengan cara ditebang. Hal ini disampaikan Maria Febe Evnike, Hadi S. Alikodra dan Widodo S. Ramono dalam riset berjudul Pengaruh Pengendalian Langkap [Arenga obtusifolia] Terhadap Komposisi Tumbuhan Pakan Badak Jawa [Rhinoceros sondaicus], tahun 2013.

“Perlu dilakukan pengelolaan pengendalian langkap yang tepat dengan metode tebang,” tulis para peneliti.

Penelitian yang dilakukan di Kalejetan Resort, Blok Selokan Bayun-Seuseupan, Taman Nasional Ujung Kulon, menunjukkan bahwa tebang daun merupakan cara yang paling baik untuk dilakukan. Selain itu, dengan menghilangkan semai dan pancang langkap, akan meningkatkan keragaman jumlah tanaman pakan badak jawa.

“Meningkatnya jumlah kunjungan badak jawa di lokasi-lokasi tersebut diketahui terkait dengan tingkat pertumbuhan tanaman pakan.”

Baca juga: Video Langka: Badak Jawa “Musofa” Asik Berkubang di Ujung Kulon

 

Badak jawa bernama Musofa ini terekam video trap saat asik berkubang di lumpur di Taman Nasional Ujung Kulon, awal Juni 2020 lalu. Foto: Dok. Tangkapan layar video/KLHK/BTNUK/YABI/IRF

 

Ujung Kulon

M. Syamsudin, Kepala Urusan Pemanfaatan, Pengawetan, dan Pelayanan Balai Taman Nasional Ujung Kulon menuturkan, Ujung Kulon merupakan satu-satunya rumah badak jawa.

“Tidak ada tempat lain di dunia ini yang menjadi habitat badak jawa, di sini satu-satunya.”

Populasinya hingga Juni 2021 sekitar 75 individu. Masalah yang dikhawatirkan adalah sex ratio. Jumlah perbandingan antara jantan dan betina tidak ideal, yaitu 1 berbanding 0,8, artinya lebih banyak jantan ketimbang betina. Padahal, idealnya 1 berbanding 3.

“Badak ini juga bermasalah pada perbandingan umur. Badak dewasa lebih banyak dari anakan.”

Mengutip situs Taman Nasional Ujung Kulon, kawasan ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli Botani Jerman, F. Junghun pada 1846, ketika ia mengumpulkan tumbuhan tropis.

“Bahkan, perjalanan ke Ujung Kulon ini masuk dalam jurnal ilmiah beberapa tahun kemudian,” ujarnya.

Tidak banyak catatan mengenai Ujung Kulon sampai meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883. Kedahsyatan letusan Krakatau yang menghasilkan gelombang tsunami, memporak-porandakan tidak hanya permukiman penduduk di Ujung Kulon, tetapi juga satwa liar dan vegetasi yang ada.

Tahun 1921, berdasarkan rekomendasi dari Perhimpunan The Netherlands Indies Society for The Protectin of Nature, Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kawasan Suaka Alam.

Tahun 1937, Besluit Van Der Gouverneur, General Van Nederlandch mengubah status Suaka Alam  menjadi kawasan Suaka Margasatwa, dengan memasukkan Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

Tahun 1958, berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor: 48/Um/1958 Tanggal 17 April 1958, Ujung Kulon berubah status lagi menjadi kawasan Suaka Alam dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah.

Tahun 1967, kawasan Gunung Honje Selatan seluas 10.000 hektar yang bergandengan dengan bagian timur Semenanjung Ujung Kulon ditetapkan menjadi Cagar Alam Ujung Kulon. Pada  1979, Gunung Honje Utara seluas 9.498 ha dimasukkan ke wilayah Cagar Alam Ujung Kulon.

Tahun 1992, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 284/Kpts-II/1992 Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditetapkan sebagai Taman Nasional Ujung Kulon dengan luas total 122.956 ha, terdiri kawasan darat 78.619 ha dan perairan 44.337 ha.

Baca juga: Perluasan Habitat, Upaya Nyata Menyelamatkan Badak Jawa dari Kepunahan

 


 

M. Syamsudin menjelaskan, pemerintah sudah membuat Strategi dan Rencana Aksi Badak Indonesia, berdasarkan Peraturan Kementerian Kehutanan Nomor: P.43/Menhut//II/2007. Rencana jangka pendek [2007-2017] konservasi badak jawa, yaitu meningkatkan populasi 20 persen, membangun populasi kedua, serta membangun suaka badak jawa.

Sedangkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Badak Jawa tahun 2019-2029 sudah sampai tahap konsultasi publik, telah dilaksanakan di Pendopo Kabupaten Pandeglang bersama Bupati Pandeglang tahun 2019.

“Badak jawa diawasi pergerakannya dengan kamera jebak, sekitar 135 unit. Lokasi pemasangannya berada di jalur feeding ground, jalur defekasi, kubangan, dan areal perpindahan,” jelasnya.

Dia mengatakan, selain menjaga populasi badak jawa dengan mempertahankan habitat pakan, hal penting yang patut diperhatikan adalah kekerabatan/garis keturunan.

Dalam dua tahun ini, 2020-2021, dari 26 sampel dalam 47 tabung yang telah diidentifikasi, diketahui ada sebanyak 17 individu badak. Berdasarkan pengamatan langsung tim Rhino Health Unit [RHU] diketahui 13 individu haplotype-1, dan 4 individu haplotype-2.

”Hasil penelitian ini menunjukkan diversitas genetik populasi yang rendah.”

Syamsudin menyatakan, saat ini telah dilakukan pula upaya pengkayaan pakan badak. Salah satu langkahnya adalah bekas lahan garapan dan areal garapan masyarakat yang telah ditinggalkan, dilakukan penanaman kembali.

“Tentunya dengan jenis tanaman pakan badak,” ujarnya.

Baca: Mengenal Tumbuhan “Alien” di Sekitar Kita

 

Langkap [Arenga obtusifolia] adalah sejenis aren invasif tinggi antara 10-15 m yang cepat berkembang biak, mengancam tumbuhan vegetatif pakan badak di Ujung Kulon. Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay Indonesia

 

Fungsi ekologis

Sunarto, Research Assosiate, ISER Universitas Indonesia
Wildlife & Landscape Ecologist, Permian Global, mengatakan pentingnya menjaga keselarasan peran dan fungsi ekologis antar-spesies.

Menurut dia, pendekatan single surrogate species sebagai upaya penyederhanaan perlu dilakukan. “Yang terlupakan dari single-species dan prioritisasi, alam tampak kompeks untuk dipelajari, tapi sesungguhnya sangat teratur.”

Dalam bioversity, yang diperhatikan adalah genetik, individual, population, community, lalu ekosistem.

“Bioversitas ini harus dijaga keseimbangannya atau keselarasannya.”

Sunarto menuturkan, ancaman satwa liar saat ini terbagi menjadi tiga lapisan. Pertama, perkotaan dengan permasalahan karena kosumsi dan perdagangan. Kedua, pada wilayah penyangga, yaitu berupa ancaman karena konsumsi, perdagangan, dan konflik. Ketiga, tempat inti dalam hutan, yaitu perburuan, dan konversi habitat.

“Upaya yang diperlukan untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan ekologi, dimulai dari merubah gaya hidup personal, keluarga, hingga bisnis ke depannya.”

Tindak lanjut yang bisa dimaksimalkan adalah melanjutkan eksplorasi, inovasi, dan aksi nyata [kurangi tekanan, dukung pemulihan].

“Lalu nikmati alam sekitar kita dan jadikan budaya, replikasi, berbagi, juga inspirasi,” paparnya.

 

 

Exit mobile version