Mongabay.co.id

COP26: Organisasi Masyarakat Sipil Khawatir Perdagangan Karbon Hanya Solusi Palsu bagi Iklim

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

  

Koalisi Masyarakat Sipil khawatir dalam KTT Iklim COP26 wacana pembahasan perdagangan karbon (carbon offset) hanya solusi palsu bagi iklim. Mereka nilai, cara itu hanya akan jadi upaya negara maju dan korporasi penyumbang karbon ‘lari’ dari aksi penurunan emisi serius dan cepat.

Dalam pertemuan COP26, Presiden Joko Widodo menegaskan, Indonesia berkomitmen dan konsisten dalam upaya penanganan perubahan iklim.

“Indonesia akan terus bekerja keras memenuhi komitmen yang telah dibuat. Kita tidak ingin ikut dalam retorika yang akhirnya tidak dapat kita jalankan,” kata Jokowi dilansir dari laman Setkab.

Sebelumnya, Jokowi juga berbicara dalam KTT G-20 sesi II di La Nuvola, Roma, Italia, dengan topik perubahan iklim, energi dan lingkungan hidup. DIa menegaskan, G-20 harus jadi katalisator pemulihan hijau dan memastikan tidak ada satu pihak pun yang tertinggal.

Tak hanya itu, penanganan perubahan iklim juga harus diletakkan dalam kerangka besar pembangunan berkelanjutan.

“Indonesia ingin G-20 memberikan contoh, Indonesia ingin G20 memimpin dunia, dalam bekerja sama mengatasi perubahan iklim dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan dengan tindakan nyata,” ujar presiden.

Penanganan perubahan iklim, kata Jokowi, harus bergerak maju seiring penanganan berbagai tantangan global seperti pengentasan kemiskinan dan pencapaian target SDGs.

Sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki arti strategis dalam menangani perubahan iklim.

“Posisi strategis ini kami gunakan untuk berkontribusi. Deforestasi di Indonesia dapat ditekan ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Indonesia telah merehabilitasi 3 juta hektar critical land pada 2010-2019.”

Presiden menyampaikan, Indonesia menargetkan net sink carbon untuk sektor lahan dan hutan selambat-lambatnya tahun 2030 dan net zero 2060 atau lebih cepat. Kawasan net zero mulai dikembangkan termasuk pembangunan green industrial park di Kalimantan Utara seluas 13.200 hektar, yang menggunakan energi terbarukan dan hasilkan green product.

Tata kelola yang baik di tingkat global untuk penerapan carbon pricing, disebutkan perlu segera agar sesuai tujuan Persetujuan Paris dan memberikan insentif bagi partisipasi swasta dengan memperhatikan kapabilitas dan kondisi tiap negara.

Saat ini, Indonesia dalam tahap akhir penyelesaian regulasi mengenai carbon pricing untuk mendukung pemenuhan komitmen target NDCs.

 

Presiden Joko Widodo, saat pidato dalam COP26. Foto: KLHK

 

Kalangan organisasi masyarakat sipil maupun organisasi lingkungan hidup menanggapi pidato Jokowi. Monica Ndoen, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tak kaget dengan pidato Jokowi sama sekali tak menyinggung peran masyarakat adat dan lokal dalam menjaga iklim.

Padahal, pemimpin negara lain seperti Bolivia, menyebutkan peran penting masyarakat adat ketika berbicara soal krisis iklim.

“Jokowi malah fokus pada carbon market, carbon pricing bahkan ekosistem mobil listrik yang lucu juga kalau didengar. Isi pidato gak ada hal baru,” katanya Selasa (2/11/21).

Kalau dilihat, katanya, dalam pertemuan itu beberapa negara berkomitmen mendukung masyakarat adat dan komunitas lokal seperti Inggris, Norwegia, Norway, Jerman, Amerika, Belanda dan beberapa lain.

Nah, ini berbanding terbalik dengan komitmen Pemerintah Indonesia. Di pidato kemarin, tidak menyebutkan, ada peran besar masyarakat adat dan komunitas lokal dalam menjaga emisi karbon, menjaga stok karbon di wilayah adat, mengurangi emisi karbon, menjaga wilayah adat, menjaga alam,” katanya.

Dalam COP26 ini, sangat kental dengan aroma pasar karbon. Bahkan, di pavilion-paviliun itu banyak yang berbicara soal carbon pricing dan carbon market. Walaupun, ada beberapa juga yang berbicara tentang peran masyarakat adat dan lokal.

“Kemudian yang disebutkan sebagai capaian pemerintah tentang penurunan deforestasi, kebakaran hutan dan rehabilitasi, itu berbandimg terbalik dnegan yang terjadi di wilayah adat. Misal, yang terjadi di Kinipan Kalteng. Itu hutan adat luas, yang pohon besar-besar justru ditebang habis sama perusahaan sawit. Terus data ini dari mana?”

Monica bilang, skema carbon market dan carbon pricing dibangun atas kebijakan diskriminatif. Terlebih, di Indonesia saat ini ada Undang-undang Cipta Kerja, justru akan makin membuka peluang perampasan wilayah adat, perusakan lingkungan yang akan berkontribusi kepada penambahan emisi.

Abdul Ghofar dari Walhi Nasional mengatakan, prestasi Pemerintah Indonesia yang disampaikan presiden dalam pidato merupakan hal yang dilebih-lebihkan.

Dia mengatakan, presiden sama sekali tidak membicarakan generasi muda dan generasi yang akan datang dalam konteks isu perubahan iklim. Padahal, peran generasi muda untuk mengatasi perubahan iklim merupakan hal sangat penting. Karena mau tidak mau berbicara soal COP, berbicara juga soal represenatsi suara dari bawah termasuk perempuan, masyarakat adat dan kelompok muda.

Dinda Nisa Yura dari Solidaritas Perempuan juga ikut bersuara. Dia bilang, ada banyak sekali isu yang dibicarakan dalam COP26 dan bahkan ada hasilkan solusi-solusi palsu hingga mendistraksi target sebenarnya dalam menurunkan emisi.

Dinda prihatin dan harus jadi dorongan bersama agar ada langkah-langkah konkrit menurunkan emisi untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Dalam pidato, presiden bilang akan fokus memobilisasi pendanaan iklim. Yang patut dipertanyakan, katanya, pendanaan untuk apa dan siapa. Dia khawatir, pendanaan iklim itu hanya untuk solusi-solusi palsu yang dibikin dalam bentuk proyek-proyek besar.

Karena tidak ada keterlibatan masyarakat yang berarti dan substantif dalam membangun setiap proyek yang mengatasnamakan adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim.

Masyarakat adat dan lokal bahkan di pesisir dan perkotaan sudah punya inisiatif dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Inisiatif-inisiatif yang tumbuh di masyarakat ini, katanya, penting dikembangkan pemerintah dan diangkat ke tingkat global.

“Bukan kemudian dengan mengadopsi proyek-proyek lain yang justru merusak tatanan kehidupan dan inisiatif-inisiatif yang sudah berjalan dalam melestarikan lingkungan. Baik dari sisi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim.”

 

Kalau masih andalankan PLTU yang banyak cemari warga dan lingkungan, apakah serius perbaiki iklim?  Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Dia yakin, walau aksi-aksi masyarakat skala kecil justru lebih bisa diandalkan ketimbang proyek-proyek besar dan solusi-solusi palsu.

Tak jauh beda dikatakan Khalisah Khalid, dari Greenpeace Indonesia. Dia mengatakan, skema perdagangan karbon merupakan praktik greenwashing. “Setiap perusahaan atau negara industri yang mengumumkan dana untuk melindungi hutan melalui skema carbon offset hanya greenwashing, mereka tidak berkomitmen sungguh-sungguh menurunkan emisi,” katanya dalam diskusi dari 31 Oktober lalu.

Pemerintah harusnya bisa mendengarkan suara masyarakat adat yang terancam kalau mekanisme pasar ini jalan.

Sudah saatnya, Indonesia mengakhiri deforestasi dengan mengakui hak atas tanah masyarakat adat, melindungi hutan dan menghilangkan deforestasi dari rantai pasokan industri berbasis lahan.

“Masyarakat adat dan praktik pengelolaan berkelanjutan terhadap sumberdaya alam  adalah solusi untuk krisis iklim.”

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN pun berharap, pembahasan dalam COP26 ini tak memberikan ruang bagi korporasi pelaku pencemar menjalankan bisnis seperti biasa dalam mekanisme offset dan pasar karbon. Pasalnya, dampak buruk dari praktik ini malahan akan melahirkan ketidakadilan baru bagi masyarakat adat.

“Apalagi di tengah-tengah ketidakpastian hukum di Indonesia yang berbelit dan tidak melindungi masyarakat adat. Akan ada potensi pasar karbon akan memicu perampasan wilayah adat yang lebih luas,” katanya.

Menurut dia, harus ada perubahan paradigma pembangunan dan dukungan langsung terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal yang sejauh ini terus menjaga bumi.

“Negara-negara dan komunitas global seharusnya tidak lagi berkutat pada mekanisme pasar, tetapi harus serius membiacarakan mekanisme dukungan yang berbeda terhadap berbagai inisiatif dan praktik masyarakat adat.”

Masyarakat adat, katanya, menjadi garda terdepan dalam menjaga, melindungi, dan mengelola wilayah dan sumberdaya yang berkontribusi langsung pada penurunan emisi dan peningkatan stok karbon.

 

Kalau pembangunan andalkan bongkar hutan, apakah perbaiki iklim? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Solusi palsu

Iqbal Damanik, pengkampanye hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, yang disampaikan Jokowi pada pembukaan COP26 di Glasglow adalah salah satu penanda buruk bagi Indonesia.

Pernyataan presiden merupakan sebuah penanda kalau ekonomi Indonesia tak akan beralih dari industri ekstraktif ataupun ekonomi yang berbasis lahan.

Dia soroti soal energi yang menyebutkan biofuel. Ketika target biofuel yang di Indonesia berfokus dari sawit itu akan membutuhkan sekitar semnbilan juta perkebunan sawit baru.

Klaim penurunan deforestasi dan kebakaran hutan, katanya juga keliru. Dalam 20 tahun terakhir sebenarnya angka deforestasi tetap tinggi. Dari 2011-2019 total deforestasi mencapai 4,8 juta hektar. Lebih besar daripada 10 tahun sebelumnya, 2,45 juta.

Kemudian soal solusi carbon market dan carbon pricing disebut sebagai mekanisme pasar berintegritas, trasparan. Menurut Iqbal, skema ini bentuk green washing atau tipu-tipu hijau. Karena mekansime pasar karbon tetap beri ruang kepada negara-negara dan korporasi lain untuk tetap menjadi pencemar.

“Sedangkan aksi nyata yang kita harapkan adalah mereka menurunkan angka produksi. Menurunkan emisi yang mereka lakukan. Ini mekanisme tidak adil. Negara-negara seperti China, Rusia, Eropa dan Amerika tetap produksi dan jadi polluter. Sementara Indonesia dipaksa tidak mengeluarkan emisi. Intinya carbon trading ini adalah mekanisme yang tidak berkeadilan.”

Indonesia, katanya, harus memaksa para industri ekstraktif atau para polluter ini tidak menggunakan lahan, hutan sebagai legitimasi mereka untuk tetap bisa mencemari bumi dengan pabrik-pabrik dan negara mereka.

Apalagi, kata Iqbal, Indonesia saat ini sudah ada UU Cipta Kerja yang merupakan rezim perizinan. UU Cipta Kerja juga memberikan ruang bagi izin-izin perdagangan karbon yang hampir sama dengan konsesi. Dengan begitu, masyarakat adat dan lokal yang menempatkan hidup di hutan akan terancam terelokasi, tergusur atau tercerabut dari wilayah mereka.

Senada dikatakan Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi. Dalam diskusi berbeda dia bilang, wacana perdagangan karbon dan mekanisme karbon offset dalam konferensi COP26 menjadi celah bagi para ‘poluters’ baik negara maupun korporasi.

Pembahasan wacana ini, katanya, mengalihkan perhatian dari upaya sesungguhnya menuntut negara maju dalam menurunkan emisi secara drastis di negara mereka.

“Mekanisme offset dan dagang karbon ini salah satu upaya paling murah untuk mengurangi emisi. Ini langkah keliru karena keduanya justru akan menimbulkan ketidakadilan selanjutnya dalam konteks perundingan dan kesepakatan dalam perubahan iklim,” katanya dalam diskusi daring.

Hal itu juga mengalihkan tanggung jawab negara maju dalam menyediakan pendanaan bagi negara-negara berkembang dalam mentransformasi ekonomi supaya tak mereplikasi model ekonomi negara maju yang tinggi karbon. Hal ini pun sudah jadi mandat dari Perjanjian Paris yang jadikan arah menuju pembangunan rendah karbon itu harus didorong dengan penyediaan pendanaan konkrit.

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk menekan emisi karbon, seperti menekan laju deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan. Deforestasi di Indonesia, justru meningkat dari sebelumnya 1,1 juta hektar per tahun (2009-2013) menjadi 1,47 juta hektar per tahun (2013-2017).

Meski, katanya, ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam dua tahun terakhir, namun angka itu tidak berarti karena ada pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke timur.

“Klaim keberhasilan menurunkan angka deforestasi tidak relevan jika deforestasi besar terjadi hanya di beberapa lokasi. Di tempat lain, deforestasi menurun bukan karena upaya pemerintah, melainkan karena sumberdaya hutan yang sudah habis.”

Terkait kebakaran hutan dan lahan, pada 2021, ada sekitar 229.000 hektar hutan dan lahan terbakar di Indonesia. Bahkan, dua tahun sebelumnya (2019) luas hutan dan lahan terbakar 1,6 juta hektar, dimana 1,3 juta hektar (82%) di Pulau Sumatera dan Kalimantan.  Ironisnya, di dua pulau itu pula izin-izin industri ekstraktif menguasai hutan dan wilayah adat.

Yuyun mengatakan, penerapan mekanisme pasar dan perizinan alam menambah rantai panjang konflik dengan masyarakat. Hal ini, merupakan perampasan tanah dan hutan secara sistemik dengan kedok hijau dan pemulihan iklim.

Pemerintah, katanya, masih memiliki pilihan jauh lebih menguntungkan seperti mendorong pendanaan iklim non pasar.

 

******

Foto utama:  Pembangunan ekonomi berbasis lahan dan mengubah tutupan hutan jadi industri ekstraktif, bahkan itu di wilayah masyarakat adat yang malah bertahan menjaga hutan itu, apakah disebut komitmen iklim? Foto: Save Our Borneo

Exit mobile version