Mongabay.co.id

Sakit dan Kurang Pakan, Gajah Betina Mati di TN Tesso Nilo

Gajah mati di TN Tesso Nilo, sebelumnya diobati karena ditemukan sakit di kebun sawit di Tesso Nilo. Foto: BKSDA Riau

 

 

 

 

Gajah Sumatera betina yang diobati pada minggu terakhir Oktober lalu, akhirnya ditemukan mati di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), tepatnya di Bukit Apolo, Desa Bagan Limau, Kecamatan Ukui, Pelalawan, Riau. Gajah diperkirakan mati Selasa pagi, 26 Oktober lalu.

Tim gabungan terdiri dari Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Riau dan Balai TNTN, tiba di lokasi pukul 03.15, setelah mendapat informasi dari masyarakat.

Pagi itu, sekitar pukul 8.00, tim medis nekropsi terhadap gajah Sumatera, yang sudah tergeletak dan mulai dihinggapi lalat.

Tinggi badan gajah 217 cm, berat dua ton, tebal kulit perut 0,4 cm dan tebal kulit punggung 1,2 cm. Hasil pemeriksaan, kematian gajah karena infeksi saluran pencernaan, kekurangan pakan dan dehidrasi.

“Dalam tindakan bedah bangkai tak diambil sampel untuk pemeriksaan laboratorium karena semua organ dalam tubuh sudah rusak hingga langsung dikuburkan saat itu,” kata Fifin Arfiana Jogasara. Plt Kepala BBKSDA Riau, dalam rilis 2 November.

Heru Sutmantoro, Kepala Balai TNTN, mengatakan, kondisi gajah Sumatera dalam keadaan roboh. Organ dalam seperti jantung, hati, alat-alat pencernaan rusak parah. “Itu hasil kesimpulan tim medis,” katanya.

 

Sakit di kebun sawit

BBKSDA Riau dan Balai TNTN meyakini, gajah yang mati itu adalah satwa liar yang mereka obati pada 23 Oktober lalu berdasarkan ciri-ciri gajah yang mereka identifikasi.

Ceritanya, dua hari sebelum pengobatan, anggota Intel Kodim 0302 Indragiri Hulu melaporkan satu gajah liar sakit di kebun sawit masyarakat dalam TNTN. Persisnya, di Desa Pontian Mekar, Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Indragiri Hulu, Riau. Tim Seksi Konservasi Wilayah I, Pangkalan Kerinci, terima informasi itu, 21 Oktober 2021.

 

Gajah yang ditemukan sakit diberi pengobatan oleh BKSDA Riau. Setelah dilepas, beberapa hari, gajah ditemukan mati. Foto: BKSDA Riau

 

Keesokan hari, Tim Resort Kerumutan Selatan mengecek lokasi, bersama kepala desa dan masyarakat. Mereka mendapati gajah betina lemas dan kurus. Gajah juga muntah batang dan pelepah sawit. Tim langsung meneruskan kejadian itu ke BBKSDA Riau, sembari sosialisasi ke masyarakat untuk menghindari tindakan yang tidak diinginkan.

Fifin Arfiana Jogasara, memerintahkan tim medis koordinasi dengan Balai TNTN untuk turun lapangan. Tim sebelumnya, tetap di lapangan bersama masyarakat menjaga dan memantau perkembangan gajah.

Hasil identifikasi tim, gajah betina itu berumur sekitar 30 tahun. Tinggi dan berat badan masih sama seperti yang diumumkan BKSDA Riau saat ditemukan mati. Tubuh gajah kurus karena kurang nafsu makan. Gajah alami peradangan atau pembengkakan dan luka terbuka pada bagian organ reproduksi luar yang dipenuhi ulat.

Penanganan medis tim gabungan baru 23 Oktober. Gajah terlebih dahulu dibius. Lukanya dibersihkan dan diberi obat topikal. Tenaga medis mengambil sampel darah untuk mengetahui kondisi kesehatan gajah secara umum melalui laboratorium. Sekaligus memberikan infus buat menbambah tenaga gajah.

Pasca BBKSDA Riau mengumumkan hasil pengobatan gajah Sumatera, 27 Oktober. Mongabay berupaya mencari tahu hasil pengecekan laboratorium terhadap sampel darah. Saat dihubungi, sehari kemudian, Fifin mengatakan sedang berada di luar kota. Sampai gajah itu mati, BBKSDA Riau juga tidak mengumumkan hasil labor sampel darah mamalia itu.

Usai pengobatan, tim langsung melepaskan gajah sambil memantau dan mengamati pergerakan untuk memastikan kondisi satwa dilindungi ini. BBKSDA Riau, bilang gajah itu tampak lebih gesit dibanding sebelum pengobatan.

Andri Hansen Siregar, Kepala Bidang KSDA Wilayah I, dalam rilis 27 Oktober, sempat mengatakan, tim memantau gajah untuk memastikan satwa ini benar-benar pulih dan kembali ke habitat.

 

Gajah mati karena alami sakit, kurang pakan dan dehidrasi. Foto: BKSDA Riau

Kenyataannya, tak sesuai harapan. Sejak dilepas, gajah tak terpantau lagi. Tim Yayasan TNTN yang rutin patroli mingguan pun, sempat mencari gajah, dua hari pasca penanganan.

Mereka memulai perjalanan dari titik pengobatan, tim tidak menemukan sama sekali tanda-tanda terbaru dari gajah.

Ketika patroli pasca pengobatan, tim dapat informasi masyarakat, gajah terakhir terpantau mengarah ke Bukit Apolo dan Pondok Kompe. Kabar itu akurat karena persis pada lokasi gajah ditemukan mati.

Yuliantoni, Direktur Yayasan TNTN, menilai, respon awal BBKSDA Riau terhadap gajah sakit sudah bagus tetapi perlu perbaikan dalam tindakan pasca pengobatan. Dia sarankan, tim medis merekomendasikan tindakan lanjutan terhadap gajah. Misal, memantau, pengobatan lanjutan atau evakuasi untuk dirawat pada tempat khusus. Kemudian, bentuk tim untuk menindaklanjuti rekomendasi.

Pelepasan gajah pasca pengobatan mesti memperhatikan ketersediaan pakan dan air di sekitar lokasi. Perlu juga mempertimbangkan kelompok gajah lain supaya gajah sakit tidak sendirian. Paling penting, harus dihindari sedikit mungkin kontak gajah dengan manusia supaya sifat dan naluri liar satwa itu tetap terjaga.

“Perlu pengayaan pakan di habitat gajah. Meski makan tidak hanya di hutan juga bisa di padang ilalang. Kenyataannya, perubahan peruntukan lahan hingga ketersediaan makanan juga ikut menipis.”

Pernyataan Yuliantoni sejalan dengan Heru Sutmantoro. Heru bilang, semua makhluk hidup termasuk satwa liar sebenarnya butuh apotik berupa hutan alam. Saat ini kondisi sangat terbatas.

“Gajah kalau sakit sebenarnya lari ke hutan alam mencari obat dan tumbuhan-tumbuhan tertentu. Seperti kulit pohon, daun, buah dan sebagainya. Secara alami, satwa liar itu memang harus melakukan pengobatan mandiri. Saya pikir itu sangat berhubungan sekali.”

Menurut Yuliantoni, gajah mati itu bagian dari kelompok kantong Tesso Utara. Diduga, gajah itu terpisah dengan kelompok sejak sakit karena pergerakan jadi pasif.

 

******

Foto utama:  Gajah mati di TN Tesso Nilo, sebelumnya diobati karena ditemukan sakit di kebun sawit di Tesso Nilo. Foto: BKSDA Riau

Exit mobile version