- Berdasarkan catatan Jatam Kaltim, sudah 40 jiwa melayang, tewas tenggelam di lubang tambang batubara yang tidak direklamasi.
- Korban terbaru adalah Febi Abdi Witanto [25] yang ditemukan tanpa nyawa di danau bekas tambang milik CV Arjuna di Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu [31/10/2021].
- Dalam catatan Jatam, di Kaltim masih ada 1.735 lubang bekas tambang. Di Kota Samarinda sendiri terdapat 349 lubang tanpa direklamasi dan
- Dalam tata kelola pertambangan, setelah operasi penambangan berakhir maka ada kewajiban mutlak yang dilakukan pemegang izin, yakni melaksanakan reklamasi dan kegiatan pasca–tambang.
Lubang bekas galian tambang di Kalimantan Timur [Kaltim] kembali merenggut korban. Kali ini pria asal Makroman, Samarinda, bernama Febi Abdi Witanto [25]. Febi ditemukan meninggal setelah pencarian 29 jam di danau bekas tambang di Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu [31/10/2021].
Kematian ini menambah daftar hitam catatan industri tambang batubara di Kaltim. Lubang bekas galian yang tidak direklamasi, telah mengundang masyarakat untuk menikmati sensasi wisata danau berbahaya.
Febi dan empat rekannya sengaja datang ke lokasi untuk berenang. Dia terjun dari ketinggian 15 meter dan direkam temannnya. Febi sempat berenang ke pinggir. Namun, dia tenggelam karena kondisi tanahnya yang licin.
“Dia lompat, kemudian berenang ke tepi dan hilang,” kata Kepala Badan Penanggulan Bencana Daerah [BPBD] Samarinda, Suwarso.
Melihat temannya tenggelam, empat rekannya tak mampu menolong. “Dia hilang,” kata saksi mata yang juga rekan korban, Doni Irawan [23].
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] Kaltim, Pradarma Rupang menjelaskan, lubang bekas galian tambang tersebut sengaja ditinggalkan. Sekian lama, lubang digenangi air hingga menjadi danau. Masyarakat sekitar kerap datang untuk wisata atau swafoto. Padahal, ini kawasan berbahaya.
“Lubang itu tidak direklamasi,” jelasnya.
Baca: Kembali Renggut Korban, Sudah 39 Nyawa Melayang di Lubang Tambang Batubara Kaltim
Dari hasil penelusuran Jatam Kaltim, koordinat lokasi berada di konsesi CV Arjuna. Perusahaan ini mendapatkan Izin Usaha Pertambangan [IUP] Operasi Produksi dari Wali Kota Samarinda, pada 6 September 2014 dan berakhir 6 September 2021. Luas konsesi sebesar 1.452 hektar.
“Karena bentuknya CV, sulit dibuktikan nama kepemilikannya,” imbuhnya.
Rupang menyebut, tewasnya Febi di lubang tersebut, menambah daftar kematian. Sejak 2011 hingga 2021, lubang bekas tambang di Kaltim telah menelan korban 40 jiwa.
“Ini akan terus berulang, kalau lubang-lubang itu tetap dibiarkan menganga. Pemerintah seharusnya tidak abai untuk hal ini.”
Baca: Korban Jiwa di Lubang Tambang, Masalah Besar Ibu Kota Baru Indonesia
Tidak peduli
Dalam catatan Jatam, di Kaltim masih ada 1.735 lubang bekas tambang. Di Kota Samarinda sendiri terdapat 349 lubang tanpa direklamasi dan dipulihkan. Jatam menilai, lubang-lubang itu adalah bom waktu yang tidak mendapat perhatian dan tindakan serius pemerintah.
Rabu [03/11/2021], Jatam Kaltim, Walhi Kaltim, FH Pokja 30 Kaltim, FNKSDA, dan mahasiswa, mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Sipil, melakukan unjuk rasa di depan kantor Gubernur Kaltim. Mereka menuntut tanggung jawab sang Gubernur, Isran Noor. Tuntutan dilakukan kepada pemerintah provinsi karena nihilnya penanganan lubang tambang.
“Korban hanya sebatas angka statistik, yang terus bertambah,” lanjut Rupang.
Koalisi menilai, Isran Noor melakukan pembiaran tanpa upaya reklamasi, penegakan hukum, dan pengawasan. Ini menunjukkan sifat masa bodoh kepala daerah selaku pemberi izin.
“Masyarakat memberi apresiasi atas kerja masa bodohnya selama 3 tahun. Padahal, mayoritas korban adalah anak-anak, generasi penerus bangsa,” ungkapnya.
Baca: Rezim Ekstraksi, Oligarki dan Lubang Tambang
Bermasalah
Rupang melanjutkan, konsesi CV Arjuna merupakan salah satu yang terbesar di Samarinda. Lubang tambang ini baru memakan korban, tapi kalau menimbulkan masalah lingkungan dan pertanian, sudah sejak dulu. “Bisa dicek track record-nya. Sebelumnya, di tambang ini juga terjadi kecelakaan kerja.”
CV Arjuna mulai menggali batubara di Kelurahan Sambutan, Makroman, Pulau Atas dan Sungai Siring, Kecamatan Sambutan dan Samarinda Utara, pada 2007, setelah mengantongi IUP. Lahan konsesinya dalam dua blok yaitu blok I [695 hektar] dan blok II [902 hektar], dengan mempekerjakan tiga kontraktor: PJP, SRP, dan JKU.
“Masyarakat melaporkan terkait lingkungan, dekat area tambang ada persawahan. Limbah batubara masuk sawah hingga membuat produksi padi tidak maksimal,” ujarnya.
Hingga kini, Jatam belum menemukan nama di balik perusahaan ini. Sebab, data di Kementerian Hukum dan Ham, nama pemilik CV Arjuna tidak tercatat. Hanya tanggal izin usaha yang berlaku dan lokasi perusahaan.
“Sebenarnya, ada nama orang besar yang diketahui pemilik perusahaan, namun karena statusnya CV maka tidak ada data di Kemenkumham. Berbeda jika statusnya PT, pasti ada namanya,” jelasnya.
Baca juga: Fokus Liputan: Bencana Tambang di Samarinda
Kejahatan
Dalam tata kelola pertambangan, setelah operasi penambangan berakhir maka ada kewajiban mutlak yang dilakukan pemegang izin, yakni melaksanakan reklamasi dan kegiatan pasca-tambang. Hal ini dijelaskan akademisi Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah.
Menurut dia, siapapun yang abai dengan kewajiban tersebut, merupakan kejahatan yang berkonsekuensi pidana. Termasuk, pemimpin daerah seperti gubernur yang diam dan abai atas peristiwa ini.
Hamzah menegaskan, dalam ketentuan Pasal 161 B ayat [1] UU 3/2020 tentang Perubahan UU 4/2009 mengenai Minerba, disebutkan secara eksplisit bahwa, “Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pascatambang; dan/atau penempatan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pasca-tambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 miliar Rupiah.”
Bahkan, dalam ketentuan Pasal 164 UU a quo, pelaku tindak pidana juga dapat dikenai “hukuman tambahan” berupa perampasan barang, perampasan keuntungan, dan kewajiban membayar biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut.
“Batas waktu pun diatur, apalagi CV Arjuna sudah tidak beroperasi lagi. Lalu, mengapa lubang tambangnya dibiarkan menganga? Tanpa reklamasi dan pemulihan,” sebutnya.
Untuk itu, koalisi mendesak moratorium pertambangan batubara di Indonesia, mencabut izin perusahaan, dan mendorong penegakan hukum serta sanksi bagi CV Arjuna dan perusahaan pertambangan batubara lainnya yang melanggar reklamasi. Pengabaian oleh pemerintah seperti Gubernur Kaltim dan Wali Kota Samarinda, mesti disorot.
“Problem berulang dari model ekonomi ekstraktif yang mengabaikan lingkungan hidup dan keselamatan rakyat seperti ini harusnya sudah beralih ke ekonomi nusantara, sebagai ekonomi tanding yang bersih, berkelanjutan, dan tidak mematikan,” papar Yohana Tiko, Direktur Walhi Kaltim.