Mongabay.co.id

Alih Fungsi Lahan dan Fenomena Hilangnya Kawasan Esensial di Kota Batu

Petani memanen apel yang roboh akibat angin kencang yang terjadi dua bulan lalu. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

Sejak beberapa tahun belakangan ini citra Kota Batu telah berubah, sadar atau tidak kota tersebut kini mulai kehilangan julukan sebagai kota apel. Kenangan Batu sebagai penghasil apel mungkin hanya dirasakan oleh generasi lama, mereka yang lahir dari tahun 70-90an, sementara generasi 2000an mungkin lebih mengenal Batu sebagai kota wisata.

Hal ini dikarenakan mulai berangsur-angsur hilangnya pertanian apel, karena beberapa faktor yakni, peningkatan suhu udara, anomali cuaca, faktor input dan output pertanian, daya dukung air yang mulai menurun, hingga persoalan maraknya alih fungsi lahan. Kondisi tersebut tidak hanya mengancam apel, tetapi juga komoditas pertanian lain seperti sayur mayur.

Situasi ini juga akan turut mendorong kerentanan pangan dan kerentanan penghidupan masyarakat Kota Batu yang mayoritas masih bertumpu pada sektor agrikultur.

Menurut data dari Batu dalam angka yang merupakan produk tahunan BPS, ada perbandingan yang cukup menarik dalam konteks lapangan pekerjaan.

Pada tahun 2010 penduduk yang berprofesi sebagai petani berjumlah sekitar 35.427 orang dari total keseluruhan penduduk yang bekerja yakni 95.679 orang, selang satu dekade terjadi penurunan jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani sekitar 5.426 orang, angka ini didapatkan dari selisih rata-rata jumlah penduduk profesi petani di tahun 2021 yang sebesar 3.001 orang dari total 112.623.

Penurunan ini juga telah mendorong meningkatnya penduduk yang bekerja di sektor jasa, jika pada tahun 2010 terdapat 14.932 orang, maka angka ini melejit di tahun 2021 menjadi 64.529 orang, ada peningkatan sekitar 49.581 orang. Meski perlu diolah lagi, karena ini data kasar, tetapi terdapat sebuah fakta cukup menarik yang menggambarkan transisi ekonomi Kota Batu, dari sektor agrikultur ke sektor jasa.

Baca juga: Sungai Brantas di Malang dan Batu Terkontaminasi Mikroplastik, Langkah Lanjutan?

 

Banjir bandang menerjang Kota Batu di Jawa Timur, setelah hujan dengan intesitas tinggi mengguyur wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang berada di lereng Gunung Arjuno, Kamis (4/11), pada pukul 14.00 WIB. Dok: BPBD Kota Batu

 

Lalu, pertanyaan mendasarnya ialah, mengapa ini bisa terjadi?

Jika meminjam istilah Geertz (2016) dalam bukunya Involusi Pertanian proses perubahan ekologi di Indonesia yakni involusi pertanian, sebuah proses kemunduran petani kala terjadi intensifikasi produksi komoditas tanpa adanya perbaikan teknologi dan kebijakan politik yang relevan sehingga memunculkan kompleksitas sosial.

Jika diinterpretasikan ulang, coba diuji dan ditautkan dengan konteks Batu. Involusi ini muncul karena kebijakan politik pertanian dan pembangunan yang hanya kuat di satu sektor tetapi melemahkan di sektor lainnya, selanjutnya terkait tidak adanya penerapan teknologi tepat guna, semisal soal penataan ruang yang seimbang, jelas porsi mana kawasan perlindungan hutan, kawasan lindung mata air, kawasan pertanian dan kawasan wisata.

Walaupun kawasan wisata berkelindan dengan kawasan lindung, teknologi yang dipakai tidak tepat guna, alias tidak mendukung jasa ekosistem, seperti sesat pikir penerapan wisata alam dan ekowisata.

Pada konteks ini menunjukkan sebuah fakta, bahwa sistem sosial terlalu dominan dan mendorong perubahan ekosistem sehingga berimplikasi penurunan jasa lingkungan, seperti penurunan kawasan pertanian dan hutan, lalu menurunnya kualitas dan kuantitas mata air sampai terjadi perubahan internal yakni alih profesi sebagai implikasi dari keretakan antara sistem sosial dan ekosistem (Marten, 2010).

Konkritnya, situasi ini terlukis dari menurunnya lahan pertanian karena alih fungsi, tercatat di Kota Batu terjadi penurunan yang cukup signifikan pada luas lahan pertanian pangan dan apel. Merujuk data BPS, pada tahun 2010 lahan pangan memiliki luas sekitar 2.661 hektar lalu menurun tajam menjadi 1.998 hektar di tahun 2020.

Kondisi serupa juga terjadi untuk komoditas apel, dari data yang dihimpun oleh Terakota.id (28 Oktober 2021) dari 1.900 hektar lahan menurun menjadi 1.600 hektar di tahun 2020. Penurunan lahan tersebut didorong oleh adanya alih fungsi peruntukan, salah satunya sektor pariwisata dan jasa.

Selain perubahan peruntukan, kondisi tersebut menurut analisis penulis diakibatkan oleh beberapa faktor yakni, input dan output pertanian, daya dukung lingkungan dan kebijakan tata ruang. Penurunan lahan pertanian hingga mendorong konversi pekerjaan, tidak semata-mata menjadi faktor tunggal, tetapi turut dipicu oleh faktor lainnya yang menjadi pendorong perubahan.

 

Transformasi Ekosistem Mendorong Hilangnya Pertanian

Pertanyaan yang bergelayut saat melihat fenomena degradasi pertanian di Kota Batu yakni, mengapa ada alih fungsi?

Persoalan ini sebenarnya sangat kompleks, namun sebagai pengantar catatan ini secara singkat akan menyodorkan beberapa faktor yang turut mendorong fenomena tersebut. Transformasi ekosistem ini melihat bagaimana faktor lingkungan alam menjadi faktor pendorong perubahan pertanian.

Seperti yang disampaikan Rambo (1984) bahwa ekosistem menjadi faktor yang menentukan dalam sistem sosial, karena manusia akan menyesuaikan diri dengan wilayah yang ia tinggal. Pada konteks inilah sistem pertanian dibangun menyesuaikan ekosistem untuk merawat jasa lingkungan agar pasokan energi (kebutuhan sehari-hari) terjaga, relasi ini dilihat sebagai mutualisme antara manusia dengan alam.

Jika ekosistem berubah terutama karena faktor antroposentris dalam hal ini sistem sosial yang lebih dominan, maka akan mendorong perubahan corak pertanian, ekonomi dan budaya, pada titik inilah transformasi terjadi.

Faktor antroposentris yang terjadi di Kota Batu adalah rusaknya kawasan esensial, seperti hilangnya kawasan hutan. Faktor-faktor ini mendorong perubahan kondisi alam di Kota Batu, seperti peningkatan suhu dan anomali cuaca.

Meningkatnya suhu udara dan curah hujan di Kota Batu, menurut hasil penelitian Ruminta (2015)  bahwa telah terjadi rata-rata peningkatan suhu Kota Batu dari 21,8 °C menjadi 22,3 °C, lalu untuk curah hujan terjadi peningkatan dari 232 mm3 menjadi 294 mm3 per tahun.

Kondisi tersebut telah mendorong menurunnya produktivitas pertanian, khususnya apel. Suhu dan curah hujan mempengaruhi produksi tanaman apel, dari soal ketahanan tanaman, keberadaan hama dan gulma yang meningkat.

Maka tidak mengherankan jika produksi apel menurun cukup signifikan, jika merujuk data yang dihimpun dari laporan statistik BPS, tahun 2010 produksi apel sebesar 842.799 ton pada temperatur 22,3 °C dengan curah hujan sebesar 334 mm3, sementara di tahun 2019 produksi apel hanya sebesar 505.254 ton pada temperatur 22,6-23°C dengan curah hujan sebesar 232,5 mm3.  

Perubahan suhu dan curah hujan telah mendorong penurunan produksi apel, karena semakin menurunnya produktivitas apel, paling tidak juga berimplikasi pada semakin maraknya alih fungsi lahan pertanian dalam hal ini contoh kasus ada di pertanian apel.

Petani yang merugi akibat menurunnya hasil pertanian, terdorong untuk mengalihfungsikan lahannya menjadi peruntukan lain, salah satunya perumahan dan objek wisata. Tidak hanya apel, alih fungsi lahan juga terjadi pada lahan pertanian pangan seperti sawah untuk perumahan, wisata dan peruntukan lain, dari tahun 2009 sampai 2019 dengan memakai analisis GIS, ditemukan jika lahan sawah menyusut sekitar 6,19%, lalu permukiman meningkat menjadi 5,46% (Subagiyo dkk, 2020).

Kondisi ini dipengaruhi oleh kerentanan produksi pertanian terutama saat musim tanam sampai musim panen, baik dari faktor perubahan iklim, penurunan kesuburan lahan karena kimiaisasi pertanian, sampai pasar yang tidak berpihak pada petani, sangat berpengaruh pada rentannya kesejahteraan petani.

Alih fungsi juga erat kaitannya dengan faktor eksternal, seperti maraknya wisata dan perumahan yang mendorong harga tanah menjadi mahal, karena produktivitas pertanian yang tidak stabil, maka banyak ditemui kasus alih fungsi lahan pertanian.

Baca juga: Alih Fungsi Lahan Penyebab Angin Kencang, Petani Apel Kota Batu Gagal Panen

 

Petani memanen apel di Batu. Para petani menderita kerugian banyak pohon yang roboh akibat angin kencang di tahun 2019 lalu. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Kebijakan Tata Ruang yang Tidak Sensitif

Dari penjabaran di atas, paling tidak telah menunjukkan jika faktor perubahan ekosistem telah mendorong perubahan iklim yang turut menjadi faktor pendorong alih fungsi lahan pertanian.

Kondisi inilah yang tidak ditangkap oleh pemerintah Kota Batu, meski mereka mengeluhkan dan mengkhawatirkan hilangnya lahan pertanian, khususnya ikon mereka yakni pertanian apel.

Tetapi hal tersebut belum mendorong kepekaan pemerintah kota untuk membuat sebuah kebijakan yang lebih sensitif terhadap pertanian dan lebih luasnya ekosistem. Karena selama ini, berkaca dari pengaturan ruang, Kota Batu belum memprioritaskan perlindungan kawasan esensial seperti hutan primer, lahan produktif dan kawasan sempadan sumber mata air.

Dari praktik yang terekam berdasarkan hasil observasi dan assesment penulis, masih maraknya alih fungsi kawasan hutan, lahan pertanian dan sumber mata air, seperti kasus di Sumber Umbul Gemulo dan Sumber Kasinan, lalu maraknya alih fungsi lahan pertanian di wilayah Junrejo untuk pariwisata, baik yang berizin maupun yang tidak.

Lalu alih fungsi lahan hijau untuk perumahan seperti yang tampak di sekitar wilayah Panderman, sampai alih fungsi hutan primer untuk kebutuhan pertanian di sekitar perbatasan dengan Mojokerto yakni area hutan lindung wilayah Cangar. Menjadi salah satu dasar argumentasi mengapa kebijakan tata ruang di Kota Batu tidak sensitif keberlanjutan ekosistem.

Hal ini juga turut didorong oleh rencana revisi Perda Tata Ruang Kota Batu, berdasarkan analisis perbandingan antara Perda yang lama dengan hasil revisi, terjadi perubahan yang cukup signifikan.

Kesimpullannya, secara keseluruhan isi revisi Perda tersebut tidak memiliki komitmen dalam perlindungan kawasan esensial di Kota Batu. Salah satunya tidak menyebutkan kata tegas perlindungan kawasan setempat di sumber mata air, lahan hijau dan pertanian sampai kawasan lindung hutan.

Narasi yang dibangun sangat moderat sehingga berpotensi menimbulkan penafsiran ganda, yang kedepan akan berpotensi melegalkan alih fungsi kawasan esensial.

Mengingat mayoritas penduduk di Kota Batu masih dominan sebagai petani, alih fungsi lahan pertanian dan kawasan esensial akan mendorong kerentanan ekonomi, sehingga berpotensi meningkatkan kemiskinan.

Sementara sektor pariwisata tidak cukup untuk mendorong peningkatan kesejahteraan, karena rata-rata dimiliki perorangan atau perusahaan besar yang tentu tidak se-inklusif pertanian. Selain itu, maraknya alih fungsi hutan dan semakin terancamnya sumber mata air, terbukti dengan peningkatan suhu udara dan curah hujan, serta matinya beberapa sumber mata air, penurunan debit hingga kualitas air, akan memperentan kehidupan masyarakat Kota Batu tak terkecuali para petani.

Bahkan dalam konteks air, tidak hanya Kota Batu yang terdampak, tetapi Kota Malang dan juga wilayah Kabupaten/Kota yang berada di wilayah DAS Brantas juga terancam, karena Kota Batu merupakan hulu dari DAS Brantas.

Sehingga pemerintah Kota Batu harus berbenah dengan kebijakan yang lebih sensitif ekosistem. Masih ada waktu untuk mengubah revisi Perda RTRW yang sangat tidak peka terhadap ruang dan lingkungan hidup, sebelum rentetan bencana datang di masa yang akan datang, tentu akan lebih merugikan.

 

Referensi

Geertz, C. (2016). Involusi pertanian: proses perubahan ekologi di Indonesia. Komunitas Bambu: Depok

Marten, G. G. (2010). Human ecology: Basic concepts for sustainable development. Routledge.

Prayitno, G., Subagiyo, A., & Kusriyanto, R. L. (2020). Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kota Batu Indonesia. GEOGRAPHY: Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, 8(2), 135-150.

Rambo, A. T., & Sajise, P. E. (1984). Introduction to human ecology research on agricultural systems in Southeast Asia. College, Laguna, Philippines: University of the Philippines at Los Banos.

Ruminta, R. (2015). Dampak perubahan iklim pada produksi apel di Batu Malang, Impacts of climate change on production of apple in Batu Malang. Kultivasi, 14(2).

Sumber online

Deforestasi dan Perubahan Iklim Menghempas Apel Batu

https://batukota.bps.go.id/

* Wahyu Eka Setyawan, penulis adalah mahasiswa Magister Sosiologi Pedesaan Universitas Brawijaya dan Manajer Kampanye WALHI Jawa Timur. Artikel ini adalah opini penulis.

 

Exit mobile version