Mongabay.co.id

Berbagai Pengalaman dari Indonesia kepada Dunia

 

Indonesia membagikan pengalaman melaksanakan program nasional penanganan sampah plastik di laut kepada negara-negara dunia yang ikut dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26 (COP26) yang sedang berlangsung di Glasgow, Inggris Raya. Pengalaman tersebut, diharapkan bisa diikuti oleh negara lain yang masih belum melaksanakannya.

Bagi Indonesia, penanganan sampah plastik di laut menjadi program yang sangat penting untuk dilaksanakan. Mengingat, wilayah Indonesia dua pertiganya adalah lautan yang diapit oleh dua samudera besar, Pasifik dan Hindia.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah pidato pada sesi Diskusi Panel yang digelar pada Selasa (2/11/2021), berbicara di hadapan para peserta dengan tegas dan jelas.

Menurut dia, Pemerintah Indonesia akan terus berkomitmen untuk melaksanakan penanganan sampah plastik di laut meski dengan tantangan yang sangat berat. Komitmen itu digaungkan, karena Indonesia menyadari bahwa polusi plastik adalah masalah yang sangat memengaruhi kehidupan bangsa.

“Kami tidak akan membiarkan krisis yang membayangi ini berlanjut,” tegas dia dalam diskusi bertajuk “Scaling Up Governance and Collaborative Actions in Combating Marine Plastic Litter Towards Climate Actions in Indonesia.”

Untuk mewujudkan komitmen tersebut, Indonesia mengambil tindakan tegas dan berani di setiap tingkat dan lintas sektor dengan tujuan untuk bisa melaksanakan transformasi yang diperlukan, yaitu mencapai traget polusi plastik mendekati nol.

Luhut kemudian bercerita, demi melaksanakan komitmen, pada 2018 lalu Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden RI Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Plastik Laut. Bersamaan itu, diterbitkan juga Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanganan Sampah Plastik Laut 2018-2025.

baca : COP26: Organisasi Masyarakat Sipil Khawatir Perdagangan Karbon Hanya Solusi Palsu bagi Iklim

 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah acara dalam COP2 6 Glasgow. Foto : Kemenko Marves

 

Kehadiran Perpres tersebut, semakin memperkuat komitmen Indonesia untuk menangani sampah plastik yang ada di lautan. Program tersebut sejak saat itu menjadi prioritas dalam agenda nasional, sehingga bisa mendorong terciptanya lingkungan yang lebih baik.

Sinkronisasi antara Perpres dengan RAN, diakui juga sudah berjalan jauh hingga saat ini. Hal itu, terwujud di antaranya melalui integrasi pengelolaan sampah yang berjalan dari hulu hingga ke hilir, serta penekanan pada ekonomi sirkular yang menempatkan peran masyarakat, pengusaha kecil, dan sektor informal sebagai aktor utama.

“Melalui pendekatan ini, pandangan terhadap pengelolaan sampah telah bergeser menjadi sumber perekonomian masyarakat yang sekaligus dapat meningkatkan kualitas lingkungan,” terang dia.

Selain mengelola sampah dari hulu ke hilir, komitmen penanganan sampah plastik di laut juga dilakukan Indonesia melalui penanganan sungai yang sudah tercemar. Keberadaan sungai seperti itu, diakui menjadi salah satu penyebab utama munculnya polusi plastik di laut.

Upaya lain yang juga sudah dilakukan, adalah dengan membentuk kemitraan National Plastic Action Partnership (NPAP) di Indonesia. Kemitraan yang pertama kali ada itu, menjadi jembatan penghubung antara Pemerintah dengan masyarakat umum, khususnya sektor swasta.

“Diharapkan itu bisa mendukung tujuan nasional dalam mengurangi 70 persen polusi plastik laut pada tahun 2025, serta untuk menjadi contoh bagi seluruh dunia,” tutur dia.

Berbagai upaya tersebut diyakini Luhut Binsar Pandjaitan akan bisa membawa Indonesia menjadi negara yang bisa membangun fondasi sistematis yang kokoh untuk memperkuat kerja kontributor individu. Kemudian, juga untuk menghubungkan para pemimpin kunci yang akan berkolaborasi dalam bidang yang sama, dan memimpin implementasi peta jalan aksi dan investasi Indonesia.

baca juga : Ini Cara Indonesia Bersihkan Sampah Plastik di Laut

 

Perahu nelayan terlihat di senja hari. Foto: Unsplash/Narendra Dinata/Free to use

 

Kehadiran kemitraan tersebut, juga menjadi bentuk inisiasi kerja sama dengan berbagai pihak untuk menangani sampah plastik yang ada di laut. Dia yakin, kemitraan bisa menjadi salah satu upaya dan solusi jangka panjang untuk mengatasi persoalan sampah plastik di laut.

Tanpa melibatkan pihak lain, Pemerintah Indonesia akan merasa kesulitan untuk melaksanakan komitmen tersebut. Sebaliknya, dengan bergandengan tangan, maka pandangan terhadap sampah akan bisa berubah menjadi lebih baik lagi.

“Pandangan kita tentang sampah dari nothing menjadi something. Saya percaya, kita dapat memiliki lingkungan yang lebih baik, serta manfaat lain yang berharga dan dapat diukur secara ekonomi,” tegas dia.

Dari pengalaman yang sudah didapat Indonesia hingga sekarang, diharapkan negara lain bisa semakin aktif berpartisipasi dalam memerangi sampah plastik di laut, bertukar pandangan tentang tata kelola dan prioritas kebijakan sampah plastik laut, serta mengidentifikasi potensi kerja sama lintas pemangku kepentingan.

 

Perikanan Terukur

Di hari yang sama, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga membagikan rencana program kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan yang akan diterapkan mulai 2022 mendatang. Prorgam tersebut tidak lain adalah penangkapan secara terukur berbasis kuota.

Kebijakan tersebut, rencananya akan diterapkan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Kebijakan ini diambil untuk memastikan kepentingan ekologi terlindungi, dan manfaat ekonomi dapat diwujudkan secara optimal.

Menurut dia, kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota dibuat dengan pertimbangan untuk keseimbangan ekonomi dan ekologi di laut Indonesia. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi keseimbangan pemanfaatan secara ekonomi dan kelestarian ekosistem secara ekologi.

Dalam praktiknya, penerapan kebijakan tersebut akan dilakukan dengan melibatkan teknologi pemantauan secara terpadu. Teknologi tersebut akan berperan sebagai pemantau kepatuhan pelaku usaha perikanan tangkap terhadap peraturan dan pengaturan yang sudah berlaku.

baca juga : Penangkapan Ikan Terukur, Bisa Tekan Laju Perubahan Iklim

 

Menteri Kelautan dn Perikanan Wahyu Sakti Trenggono dalam sebuah acara dalam COP2 6 Glasgow. Foto : KKP

 

Adapun, pengaturan yang dimaksud adalah di area penangkapan, jumlah ikan yang boleh ditangkap berdasarkan kuota volume produksi, jenis alat tangkap, pelabuhan perikanan sebagai tempat pendaratan/pembongkaran ikan, dan penggunaan anak buah kapal lokal.

“Kami menyiapkan sistem teknologi berbasis satelit terpadu yang akan digunakan sebagai sistem utama untuk surveilans operasi penangkapan ikan,” terang dia.

Detailnya, kebijakan penangkapan terukur dengan basis kuota diberlakukan oleh KKP melalui pembagian tiga zona WPPNRI. Pertama, zona industri yang terbagi kuota penangkapannya untuk pelaku usaha perikanan (industri), nelayan tradisional, serta kuota hobi.

Kemudian, zona kedua adalah zona terbatas dan pemijahan, serta ketiga adalah zona nelayan lokal yang pelaksanaannya tanpa kuota penangkapan. Ketiga zona tersebut diharapkan bisa menjadi bagian untuk menata kelola kembali subsektor perikanan tangkap.

Sejauh ini, Trenggono melihat sudah ada kemajuan dalam formulasi dan penerapan kebijakan kuota penangkapan ikan dengan terukur yang dilakukan oleh KKP. Dia yakin, kebijakan tersebut akan menghasilkan efek berganda untuk pembangunan nasional, utamanya ketahanan pangan.

Manfaat lain yang bisa didapat dari kebijakan tersebut, yaitu bisa menjadi senjata utama untuk memberantas praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF). Dengan kebijakan tersebut, diharapkan ke depan akan berubah menjadi legal, dilaporkan, dan diatur (LRR).

Selain itu, kebijakan penangkapan secara terukur juga diharapkan bisa mendorong pengelolaan perikanan dilakukan dengan berkelanjutan, mengatasi isu-isu terkait pengumpulan data dan ketertelusuran ikan, serta optimalisasi pelabuhan-pelabuhan perikanan di Indonesia.

Dia menyebutkan, jika kebijakan tersebut bisa diterapkan secara penuh, maka itu bisa meningkatkan produktivitas, bisa dan berkontribusi pada pencapaian strategi net-zero emissions dan updated national determined contribution (NDC).

Pasalnya, kebijakan tersebut akan menjalankan efektifitas dan efisiensi pemanfaatan sumber daya dan energi dalam kegiatan penangkapan ikan berkelanjutan. Dengan kata lain, itu akan meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim kita.

“Saya percaya kita mampu mengoptimalkan potensi Ekonomi Biru (kita), dan pada saat yang sama menjaga keberlanjutan ekosistem untuk Indonesia yang makmur,” ucap dia.

Trenggono kemudian mencontohkan, sejumlah negara yang masuk dalam kelompok Persatuan Eropa (EU), Islandia, Kanada, Selandia Baru, dan Australia sudah lebih dulu menerapkan sistem penangkapan ikan terukur dengan basis kuota.

Negara-negara tersebut menerapkan kebijakan tersebut, karena ingin memastikan keberlanjutan subsektor perikanan tangkap mereka bisa tetap berjalan. Manfaat positif tersebut, akhirnya mendorong Cina untuk segera menerapkan secara penuh sistem kuota dengan berbagai pembatasan.

“Sebagai bagian dari kebijakan (kuota) untuk memastikan komoditas (perikanan) lestari, dan lingkungan sehat untuk perikanan,” pungkas dia.

 

Exit mobile version