Mongabay.co.id

Bumi Terluka: Bencana Iklim Mengancam Ketahanan Pangan Global

 

 

Bulan Juli 2021, sebuah video dari Argentina viral di media sosial yang menunjukkan orang-orang berjalan melintasi area yang tampak seperti gurun, namun bukan gurun. Area tersebut adalah dasar Sungai Paraná, bagian dari sistem sungai terbesar kedua di Amerika Selatan.

Biasanya, aliran sungai di Brazil menuju laut melalui River Plate, mengalirkan aliran yang luas meliputi seluruh Paraguay, Brazil selatan, dan Argentina utara. Volume air yang mengalir ke Atlantik, kira-kira sama dengan air Sungai Mississippi.

Apa yang terjadi sekarang tidaklah normal. Mengeringnya bentangan sungai ini merupakan kejadian paling parah sejak 1944 di wilayah tersebut. Tidak ada bantuan yang bisa diharapkan datang dalam waktu jangka pendek. Menurut perkiraan Kementerian Pekerjaan Umum Argentina, kurangnya curah hujan akan berlangsung selama tiga bulan lagi.

Selain merusak tanaman, kekeringan juga berarti biji-bijian yang diangkut dengan tongkang tidak dapat dipasarkan dengan murah, memaksa pemerintah Argentina mendukung transportasi komoditas sebanyak $10,4 juta, merugikan petani dan eksportir biji-bijian negara tersebut sebesar $315 juta. Kemudian, konsumen lah pada akhirnya akan membayar harga tersebut.

Wilayah Paraná sedang mengalami “bencana lingkungan yang sesungguhnya,” kata Rafael Colombo, anggota Asosiasi Pengacara Lingkungan Argentina.

Berbagai penyebab, menurutnya termasuk, “Serangkaian intervensi antropomorfik yang kompleks dan beragam, terkait dengan perluasan agroindustri, peternakan, hutan, sungai, dan ekstraktivisme pertambangan selama 50 tahun terakhir.” Ditambah lagi dengan dampak perubahan iklim global yang disebabkan oleh manusia.

 

Karena kurangnya hujan di sumber Sungai São Francisco, waduk Sobradinho di Brasil mengalami kekeringan terburuk sepanjang sejarahnya. Foto: Marcello Casal Jr/Agência Brasil [CC BY 3.0 BR]

 

Bumi sedang sekarat

Dampak cuaca ekstrim dapat diperkirakan terjadi di berbagai bagian planet ini setiap tahun, tetapi kekeringan DAS Paraná bukanlah hal aneh pada 2021. Sebaliknya, ini mewakili kondisi normal baru karena lumbung pangan regional utama di seluruh dunia menghadapi perubahaan suhu luar biasa tinggi. Memperburuk rekor kekeringan secara simultan, dan membawa bencana kebakaran hutan. Banjir juga belum pernah terjadi sebelumnya tahun ini: sementara Paraná mengalami kekeringan rekor, daerah aliran Sungai Amazon yang berdekatan di Manaus, Brazil, dihantam banjir bulan Juni yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Peristiwa di seluruh planet ini, jika digabungkan memiliki dampak merugikan pada tanaman dan ternak, meskipun terlalu dini untuk menghitung kerugian, dunia kemungkinan akan melihat kenaikan harga yang signifikan dalam beberapa bulan mendatang, untuk segala hal mulai tomat, roti hingga daging sapi.

“Belum pernah terjadi sebelumnya” tampaknya menjadi tema yang paling tepat untuk menggambarkan cuaca ekstrim tahun 2021: pertengahan Juli, Provinsi Henan China, salah satu wilayah terpadat di negara itu, dilanda hujan selama satu tahun — 640 milimeter [lebih dari 2 kaki] — hanya dalam tiga hari, sebuah fenomena “tidak pernah terjadi dalam 1.000 tahun terakhir”.

Sedikitnya, 71 orang tewas dan 1,4 juta orang mengungsi dari banjir, bahkan saat China bersiap menghadapi hujan lebat. Banjir juga berdampak pada 972.000 hektar [2,4 juta hektar] lahan pertanian, dan — sementara sebagian besar tanaman biji-bijian di wilayah itu telah dipanen sebelumnya — pemrosesan, penyimpanan, dan pengangkutan biji-bijian musim panas dapat terpengaruh, dengan banjir merusak pabrik tepung.

China tidak sendirian. Pada akhir Juli, sebagian India mengalami hujan 594 mm [23 inci] hanya dalam beberapa hari, sementara Manila dan provinsi-provinsi terpencil di Filipina dibanjiri hujan lebat, menyebabkan evakuasi massal dan kerusakan tanaman.

Gelombang panas ekstrim dan kekeringan telah memecahkan rekor di seluruh AS Barat, dari California selatan hingga Nevada dan Oregon. Saat kekeringan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya semakin dalam, regulator air California, mengambil langkah yang sangat tidak biasa: melarang ribuan petani mengambil air dari sungai besar dan aliran air untuk irigasi. Kekeringan pasti akan menjadi berita buruk bagi pencinta spageti: California menanam lebih dari 90% tomat kalengan Amerika dan sepertiga pasokan dunia. Harapkan harga yang jauh lebih tinggi dan “isyaratkan penimbunan tomat.”

 

Don Pedro Reservoir di California [area cokelat harus tertutup air]. Kekeringan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya membuat ribuan petani yang setiap tahun mengambil air dari sungai untuk irigasi, tidak akan dapat memanfaatkan sumber-sumber tersebut. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Saat kebakaran besar kembali terjadi di AS Barat pada 2021, tim pemadam kebakaran harus bekerja sampai kapasitas maksimal. Foto: Dinas Kehutanan NW melalui Twitter

 

Sementara itu, 91 titik kebakaran hutan berkobar di seluruh AS, menghancurkan ekosistem dan infrastruktur. Tiga juta hektar terbakar sepanjang tahun ini, dengan musim kebakaran masih jauh dari selesai, sementara selama periode yang sama tahun lalu, hanya 2,1 juta hektar yang terbakar. Kebakaran besar yang disebabkan perubahan iklim di Amerika Serikat bagian barat juga memiliki dampak negatif terhadap komoditas pertanian, dengan petani dan peternak dibebani meroketnya tingkat asuransi kebakaran, sering kali naik hingga puluhan ribu dollar.

“Trennya telah mengirimkan gelombang kejut ke seluruh wilayah pertanian California,” kata layanan berita lingkungan online Grist. Tarif asuransi yang selangit itu dapat mendorong beberapa peternakan keluar dari bisnis, atau membuat pertanian terlalu berisiko untuk diasuransikan.

Lebih jauh ke timur, di Colorado dan Utah, para peternak juga merasakan sakitnya. Ketika kekeringan memburuk, banyak yang enggan memusnahkan ternak mereka. “Semua orang akan menjual sapi mereka, jadi mungkin sekarang lebih pintar melakukannya, sementara harganya naik, sebelum pasar kebanjiran,” kata Buzz Bates, peternak dari Oab, Utah.

Kekeringan di Barat juga telah menciptakan kondisi ideal bagi telur belalang untuk menetas, yang menyebabkan serangan hama meluas dan hilangnya hasil panen. kata seorang petani Oregon. “Mereka adalah momok Bumi… Mereka hanya menghancurkan tanah, menghancurkan tanaman.”

 

Belalang. Serangan hama besar melanda Afrika tahun lalu dan AS tahun ini. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Momok kelaparan global

Kekeringan tahun ini memperburuk kelaparan di beberapa negara termiskin di Bumi. Madagaskar selatan mengalami kekeringan terburuk dalam empat dekade. Maliha, 38 tahun dan seorang ibu tunggal dengan delapan anak, mengatakan kepada Reliefweb: “Sejak hujan berhenti, anak-anak tidak dapat makan secara teratur. Saya memberi mereka apa pun yang bisa saya temukan, seperti daun kaktus. Dengan diet ini, mereka mengalami diare dan mual, tetapi kami tidak punya pilihan. Setidaknya itu tidak membunuh mereka.”

Menurut Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia [WFO] David Beasley, krisis pangan di Madagaskar telah terjadi bertahun-tahun: “Telah terjadi kekeringan beruntun yang telah mendorong masyarakat ke ambang kelaparan.” Lebih dari 1 juta orang Madagaskar telah dibiarkan “tidak aman pangan,” tanpa akses ke “makanan yang cukup, aman dan bergizi,” katanya.

Dia tegas dengan alasannya: “Ini bukan karena perang atau konflik; ini karena perubahan iklim.”

 

Para wanita menunggu menerima makanan darurat untuk anak-anak mereka yang kekurangan gizi di desa Sihanamaro, wilayah Androy, Madagaskar selatan. Foto: WFP/Krystyna Kovalenko

 

Anak-anak menyantap makanan yang didistribusikan World Food Programme di Desa Sihanamaro, wilayah Androy, Madagaskar selatan. Foto: WFP/Krystyna Kovalenko

Komoditas di seluruh planet terdampak

Cuaca ekstrim terus menghantam tanaman di seluruh dunia pada saat harga pangan mendekati level tertinggi dalam satu dekade. Daftarnya berlanjut: banjir di wilayah penghasil daging babi utama China telah meningkatkan ancaman penyakit hewan. Hujan lebat di UE meningkatkan kekhawatiran penyakit jamur yang meluas pada biji-bijian. Dan di dataran tinggi sepanjang perbatasan AS-Kanada, biji-bijian dan ternak berada dalam risiko karena kekeringan yang semakin dalam membuat para pialang komoditas dan petani gelisah. Rusia, wilayah penghasil roti global lainnya, juga panas dan kering, dan ekspektasi panen gandum telah turun.

Brazil adalah salah satu eksportir pertanian terpenting di dunia. Tetapi kekeringan yang berkepanjangan di sana menyebabkan kekhawatiran untuk panen jagung kedua tahun 2021. Kekeringan dan cuaca dingin yang jarang terjadi juga mempengaruhi daerah penghasil kopi, yang mengalami cuaca terdingin dalam 25 tahun. Pada 29 Juli, sebagian besar Brazil bahkan mengalami salju. Panen kopi akan rusak. Harga kopi dunia naik.

Tanaman lain dapat terpengaruh, karena Brazil adalah pengekspor gula, jus jeruk, dan kedelai terbesar di planet ini. “Tidak ada negara lain di dunia yang memiliki pengaruh seperti itu pada kondisi pasar dunia — apa yang terjadi di Brazil memengaruhi semua orang,” Michael Sheridan, Direktur Sumber dan Nilai Bersama Intelligentsia Coffee, pemanggang dan pengecer yang berbasis di Chicago, mengatakan pada Bloomberg.

 

Banjir di Kota Qingshanqiao di Ningxiang, Hunan, China pada 2017. Negara ini kembali mengalami banjir yang mengerikan pada 2021 — masa depan hampir pasti akan lebih buruk kecuali emisi gas rumah kaca dipangkas dengan cepat. Foto: Huangdan2060/ Wikimedia Commons [CC0 1.0]

 

Kekeringan di beberapa bagian India membuat petani dan pemilik ternak dalam kondisi putus asa hampir sepanjang tahun ini. Peristiwa itu memang terjadi di masa lalu, tetapi sekarang menjadi semakin sering, menekan komunitas dan seluruh bangsa. Foto: Srinivasa Krishna via Flickr [CC BY 2.0]

 

Berpesta atau kelaparan: Mengambil untung dari bencana

Seperti di tempat lain, bencana iklim di Brazil bersifat regional, hanya merusak panen di beberapa tempat, tidak di tempat lain. Di daerah yang tidak terkena dampak, petani bekerja dengan baik, bahkan lebih baik dari yang diharapkan karena harga komoditas dunia telah naik, sebagian karena kekeringan di seluruh planet ini. Dan seperti yang sering terjadi di pasar komoditas, satu petani diuntungkan dari bencana yang lain, meskipun pedagang komoditas besar memiliki keberagaman pemasukan dan kekuatan ekonomi untuk menghadapi cuaca buruk —setidaknya untuk saat ini.

Otoritas statistik pemerintah Brazil, IBGE, mengharapkan, “Panen biji-bijian, sereal, dan minyak sayur memecahkan rekor pada 2021.” Agribisnis di luar wilayah Paraná yang terkena dampak kekeringan sangat menggembirakan. Maurilio Biagi Filho, yang keluarganya memiliki perkebunan gula luas, mengatakan bahwa “sangat jarang” harga pertanian tinggi bertepatan dengan rekor produksi. “Ketika hal itu terjadi, sungguh luar biasa,” tambahnya.

Fenomena serupa terlihat di AS, nasib dua sabuk jagung yang sangat berbeda telah muncul. A.S. Tenggara sedang mengalami “cuaca musim panas yang hebat” [dingin dan basah], sedangkan Barat Laut menghadapi “kekeringan yang mengerikan” [cuaca panas/kering]. “Intinya adalah tanaman sedang rusak di Barat, dan membaik di Timur,” komentar salah satu sumber media pertanian.

 

Maurílio Biagi Filho, tokoh agribisnis terbesar di Brasil, mengharapkan peningkatan pendapatan besar tahun ini karena kenaikan harga komoditas dunia yang disebabkan kekeringan di negara itu. Foto: JornalCana

 

Gambaran ekonomi campuran ini datang dengan peringatan: Saat 2021 terungkap dan krisis iklim global semakin dalam dari tahun ke tahun, perkiraan mengatakan semakin sedikit petani yang diuntungkan, dengan bencana cuaca ekstrim dan gagal panen berkembang biak.

Pada 1990-an, seorang ilmuwan Woods Hole Research Center, menggambarkan kekacauan iklim yang akan datang, begini: “Pikirkan sepanci air dingin di atas kompor. Tambahkan air panas ke panci dan terus tambahkan. Air akan mulai bergerak, berputar-putar dalam pola yang semakin tidak menentu dan semakin intensif. Gelembung kecil muncul, kemudian gelembung yang lebih besar muncul saat Anda menambahkan energi ke sistem, sampai Anda mendidih. Itu metafora yang bagus untuk perubahan iklim global: saat emisi meningkat, peristiwa cuaca ekstrim muncul lebih sering, secara acak dan tak terduga di mana-mana.”

 

Kekacauan iklim melahirkan kerawanan pangan

Kelemahan dari kenaikan harga komoditas saat ini sudah menjadi jelas bagi banyak orang: dengan jutaan orang miskin terkena bencana iklim, pemerintah di negara-negara yang kesulitan secara keuangan harus memberikan bantuan makanan. “Inflasi makanan adalah hal terakhir yang dibutuhkan pemerintah saat ini,” Carlos Mera, seorang analis di Rabobank, mengatakan kepada Financial Times.

Harga pangan yang lebih tinggi sering menimbulkan keresahan politik, bahkan di negara-negara di mana ketimpangan pendapatan menjadi masalah. Pada awal Juli, pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di barat daya Iran, meneriakkan slogan-slogan anti-rezim dan menuntut akses yang lebih besar ke air untuk minum, untuk lahan pertanian dan ternak mereka.

Namun krisis iklim tidak menunjukkan tanda-tanda mereda: tanggal 22 Juni, Nuwaiseeb, Kuwait, mencatat suhu 53,2° Celcius [127,7° Fahrenheit]. Di negara tetangga Irak dan Iran, suhu tidak jauh tertinggal. Rekor sepanjang masa juga dipecahkan di Turki [kebakaran hutan membakar hewan ternak], dan di Irlandia Utara dan Jepang utara. Moskow dilanda gelombang panas bersejarah pada Juni, dengan suhu melonjak hingga 34°C [93°F], rekor 120 tahun. Gelombang panas ini adalah berita buruk bagi pasokan dan harga pangan global — dan bagi keamanan nasional.

Harga pangan yang tinggi, yang sebagian disebabkan oleh kekeringan, dipicu oleh perubahan iklim, diyakini sebagai faktor kunci di balik kerusuhan yang menyebar di sebagian besar Timur Tengah dan Afrika Utara pada 2011, yang memicu Musim Semi Arab.

Jurnalis Ross Gelbspan, menulis pada 1997, memperingatkan dunia tentang “keadaan darurat yang akan datang”, jurang perubahan iklim yang semakin dalam dan mengganggu — pusaran cuaca ekstrim di mana sistem produksi pangan, seluruh populasi, pemerintah, dan negara akan jatuh dan gagal. Berujung dengan membawa kelaparan, kesengsaraan bagi manusia, kerusuhan sipil, dan perang.

 

Carlos Mera, analis senior di Rabobank, sebuah perusahaan perbankan dan jasa keuangan Belanda, dalam perjalanan ke Brazil untuk menganalisis panen kopi, melalui telekonferensi pada 2019. Foto: Dok. Twitter

 

Kerusakan iklim

Konsensus berkembang: saat ini, hampir semua ilmuwan dan pembuat kebijakan [selain politisi yang sejalan dengan kepentingan bahan bakar fosil] setuju bahwa penyebab mendasar dari krisis iklim saat ini adalah seratus tahun [kurang dari satu nanodetik dalam sejarah planet ini] aktivitas manusia, memompa miliaran ton gas rumah kaca ke atmosfer.

Baru-baru ini, sebuah rancangan laporan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change [IPCC], dijadwalkan akan diterbitkan awal tahun depan, diperoleh oleh kantor berita AFP. AFP mengatakan laporan itu berbunyi sebagai “sejauh ini, katalog paling komprehensif yang pernah dikumpulkan tentang bagaimana perubahan iklim menjungkirbalikkan dunia kita.” IPCC memperingatkan bahwa dampak buruk dari pemanasan global akan sangat jelas terlihat selama 30 tahun terakhir.

Sama seperti Rafael Colombo, pengacara lingkungan Argentina, IPCC menunjuk ke pengaruh antropomorfik penyihir: emisi gas rumah kaca, degradasi lahan di bawah pertanian intensif, penggundulan hutan, penggunaan pupuk dan pestisida sintetis yang berlebihan, penggembalaan berlebihan, dan ekstraksi air yang berlebihan untuk pertanian dan kegunaan lainnya. Tapi tetap saja, emisi meningkat seiring dengan populasi dan penggunaan sumber daya yang sembrono.

 

Perubahan transformasional’ menjadi kebutuhan

Draf laporan IPCC menyatakan: “Kita membutuhkan perubahan transformasional yang beroperasi pada proses dan perilaku di semua tingkatan: individu, komunitas, bisnis, institusi, dan pemerintah. Kita harus mendefinisikan kembali cara hidup dan konsumsi kita.”

Ariel Ortiz-Bobea, profesor di Charles H. Dyson School of Applied Economics and Management di Cornell University, mengatakan teknik pertanian yang jauh lebih baik adalah jalan ke depan. Dia mengatakan kepada Mongabay bahwa harus ada “investasi yang lebih besar dalam penelitian dan pembangunan dan juga sistem pertanian yang ‘cerdas iklim’  untuk mengkompensasi perubahan iklim angin sakal.”

Dia menekankan, “Investasi ini perlu dilakukan sekarang – atau kemarin.” Menghasilkan output yang lebih tinggi dari “tanaman cerdas iklim” akan memungkinkan umat manusia untuk “menjaga tingkat pertumbuhan historis dalam produksi [tanaman] tanpa harus meningkatkan input.”

Colleen Doherty, profesor biokimia di North Carolina University, mengambil pendekatan serupa, menunjukkan bahwa pertanian “cerdas iklim” dapat dicapai sebagian dengan menciptakan tanaman yang jauh lebih tangguh. “Kami harus membiakkan tanaman untuk kondisi yang bahkan kami tidak tahu sekarang akan seperti apa. Segalanya berubah begitu cepat sehingga kita harus dapat mengantisipasi apa masalahnya sebelum terjadi, ”katanya, menambahkan dengan optimisme yang hati-hati: “Kami hampir tidak menyentuh potensi tanaman.”

Jika pendekatan semacam itu berhasil, itu harus memberikan lebih dari sekadar peningkatan teknologi yang telah dicapai dalam beberapa dekade terakhir. Sebuah makalah baru-baru ini, “Perubahan iklim antropogenik telah memperlambat pertumbuhan produktivitas pertanian global,” menunjukkan bahwa perubahan iklim telah menghapus tujuh tahun peningkatan produktivitas pertanian selama 60 tahun terakhir.

Ortiz-Bobea, penulis utama makalah tersebut, mengatakan bahwa “efek perlambatan” mungkin meningkat, karena “pertanian global semakin rentan terhadap perubahan iklim” dan “pemanasan global semakin cepat.”

Sebuah metode yang sangat berbeda untuk menghadapi krisis dibentangkan oleh gerakan pertanian regeneratif. Para pendukungnya skeptis terhadap kemampuan para ilmuwan untuk membiakkan tanaman yang lebih tangguh.

“Meskipun miliaran dollar dihabiskan untuk penelitian dan media, tidak ada satu tanaman utama yang diuntungkan dari modifikasi rekayasa genetika untuk membuat mereka secara signifikan lebih tahan terhadap kekeringan,” André Leu, Direktur Internasional Regenerasi Internasional, mengatakan kepada Mongabay, meskipun perusahaan bioteknologi dan para peneliti memang mengklaim beberapa kemajuan dalam bidang pembangunan itu.

 

Perkebunan kedelai berbatasan dengan hutan tropis di Brazil. Deforestasi dan degradasi lahan akibat ekspansi agribisnis yang agresif adalah salah satu dampak antropomorfik di wilayah Amazon — dampak yang juga mencakup peningkatan kekeringan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Kekeringan global merusak kemajuan manusia selama berabad, mengurangi pasokan air untuk tanaman, mata pencaharian, dan untuk bertahan hidup. Foto: Petterik Wiggers/UN WFP

 

Jawaban tidak akan muncul dari laboratorium, katanya, tetapi dengan bekerja dengan masyarakat pedesaan yang telah memperoleh pengetahuan yang tak tertandingi tentang ekosistem lokal melalui pengalaman berabad-abad. “Ada banyak penelitian yang diterbitkan yang menunjukkan bahwa peningkatan agro-keanekaragaman hayati melalui campuran spesies dan varietas tanaman, bersama dengan pemuliaan partisipatif yang dipimpin petani, meningkatkan ketahanan kekeringan dan iklim ekstrim,” katanya.

“Sistem ini sekarang bekerja secara global di setiap benua yang subur.” Selain itu, para pendukung mengatakan pertanian regeneratif dapat “secara substansial mengurangi perubahan iklim” dengan menyerap emisi gas rumah kaca yang signifikan.

Sampai saat ini, tidak ada pendekatan yang diterjemahkan ke dalam “perubahan transformasional” yang diminta oleh rancangan laporan IPCC, terutama karena pemerintah di seluruh dunia belum bertindak secara agresif untuk mengatasi skala bencana yang terjadi di seluruh planet dengan kecepatan sangat tinggi. Hanya sedikit analis yang berharap banyak bahwa ini akan berubah pada KTT Iklim penting COP26 November 2021 di Skotlandia.

Sementara itu, situasinya terus memburuk: Prakiraan yang dirilis bulan ini oleh Badan Energi Internasional memperkirakan dunia akan mencatat “tingkat keluaran karbon dioksida tertinggi dalam sejarah manusia” tahun ini.

Banyak ilmuwan dan pembuat kebijakan khawatir bahwa kelangsungan hidup spesies manusia sekarang terancam. Draf laporan IPCC memperingatkan: “Kehidupan di Bumi dapat pulih dari perubahan iklim yang drastis dengan berevolusi menjadi spesies baru dan menciptakan ekosistem baru. Manusia tidak bisa.”

 

Seorang wanita berdiri di luar rumahnya yang hancur akibat banjir di Kenya. Foto: Greenpeace

 

Ancaman nyata juga ada di Indonesia

Indonesia dengan angka populasi penduduk terbesar kelima di dunia juga tidak dapat mengindahkan ancaman perubahan iklim, terutaman dalam memenuhi pasokan pangan bagi masyarakatnya. Tantangan bertambah besar ditambahkan dengan fakta bahwa Indonesia secara geografis merupakan negara rawan bencana alam, disertai ekonomi masyarakat juga bergantung pada sektor agraris.

Di awal 2021, Indonesai tidak henti-henti diterjang berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, puting beliung, dan gempa bumi. Dikutip dari publikasi Katadata.com yang mengkompilasi data BNPB, “1.677 kejadian bencana alam terjadi di Indonesia pada periode 1 Januari hingga 5 Agustus 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak 676 kejadian atau 40,3% merupakan bencana banjir. Jenis bencana alam yang juga banyak terjadi adalah puting beliung, yakni 452 kejadian. Sebanyak 328 kejadian bencana alam yang terjadi sepanjang tahun ini berupa tanah longsor. Lalu, kebakaran hutan dan lahan [karhutla] tercatat sebanyak 174 kejadian.”

Perubahan iklim, degradasi dan alih fungsi lahan serta pandemi COVID-19 menjadi tantangan sektor pertanian dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Ditengah banyaknya bencana alam dan pandemi yang menghantam struktur kehidupan dan pola produksi serta konsumsi masyarakat Indonesia, masih ada beberapa kelompok masyarakat yang dapat bertahan di seektor budidaya yang berlandaskan nilai tatanan kehidupan masyarakat adat menjadi satu tata kunci bagi ketahanan pangan di Indonesia.

Berdasarkan penuturan Rukka Sombolinggi, di program Bincang Alam Mongabay dengan tema ‘Refleksi Hari Masyarakat Adat”, dia selaku Sekjen AMAN, mengatakan banyak komunitas masyarakat adat yang bertahan dalam masa pandemi. Dengan mengoptimalisasikan swadaya dalam pemenuhan rantai pangan.

Ekosistem hutan dan pesisir terbaik yang tersisa di bumi ini dijaga oleh masyarakat adat. Masa pandemi, lumbung-lumbung pangan masyarakat adat itu paling kuat. Masyarakat adat menjaga keanekaragaman hayati dan memaksimalkan potensi sumberdaya alam tanpa merugikan alam dan lingkungan. Seperti tradisi cocok tanam masyarakat adat di Lombok, membuktikan kemandirian pangan dan tangguh menghadapi bencana, gempa 2018 dan pandemi COVID-19.

Warga adat bisa penuhi keperluan sehari-hari dari kebun beragam mereka, dari karbohidrat, sayur mayur, buah sampai bumbu tersedia. Bibit-bibit yang masyarakat adat di Lombok gunakan pun bibit lokal yang bisa beradaptasi dengan kondisi lahan.

 

Sawah kering di wilayah Anosy di selatan Madagaskar. Ketika kerawanan pangan memburuk secara global, keamanan nasional dapat terancam di banyak negara. Foto: Daniel Wood/SEED Madagaskar

 

Komitmen Indonesia

Presiden Joko Widodo dalam masa pemerintahannya di periode kedua menambahkan Proyek food estate sebagai program prioritas yang menjadikan ini dalam Program Strategis Nasional [PSN] 2020-2024. Dengan dirumuskannya program food estate, dapat dipahami bahwa pemerintah Indonesia sudah sadar atas ancaman krisis pangan, diperkuat dengan pandemi COVID-19 yang semakin menggoyahkan kekuatan rantai pangan domestik.

Dikutip dari pernyataan Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK, Agus Justianto pada diskusi virtual Pojok Iklim [20/1], dia menyampaikan bahwa perubahan iklim memberi dampak buruk pada berbagai aspek kehidupan termasuk krisis pangan.

Risiko kelangkaan pangan mengemuka sebagai efek disruptif dari pandemi COVID-19 dan berpotensi menyebabkan bencana kelaparan di berbagai tempat di penjuru dunia, termasuk Indonesia. Ketahanan pangan sebenarnya dapat tercapai jika bersinergi dan beriringan dengan ketahanan iklim. Dalam era new normal ini, seluruh dunia perlu untuk mendahulukan program ketahanan pangan, energi, dan air sebagai kebutuhan dasar manusia.

Dalam rangka menyambut COP26, Indonesia sudah memuat dan mempublikasikan dokumen terbaru National Determined Contribution [NDC] dan Dokumen Strategi Jangka Panjang pada Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050.

Ada empat pendekatan strategis NDC Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip dasar. Salah satunya adalah mempromosikan ketahanan iklim dalam pangan, air dan energi: mengakui pentingnya memenuhi kebutuhan populasi muda yang terus bertambah dan kebutuhan akan akan pangan, air dan energi. Indonesia juga akan meningkatkan pengelolaan sumber daya alamnya untuk meningkatkan ketahanan iklim dengan melindungi dan memulihkan daratan utama, ekosistem pesisir dan laut.

 

Seorang perempuan di Lombok tengan panen jagung di kebun. Kebun yang beragam menjadi bukti kebutuhan pangan bisa dipenuhi secara mandiri. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Berubahnya pola produksi dan konsumi pangan di Indonesia

Ditengah berbagai ancaman, bantuan teknologi dapat diaplikasikan dalam berbagai sektor agraris. Seperti pertanian, budidaya perikanan, serta perternakan. Tren baru dimana generasi muda enggan bertani secara konvensional, namun memilih pendekatan yang lebih moderen dan berbasi teknologi yang lebih advance.

Teknologi Internet of Things [IoT] memiliki potensi untuk mengubah sektor produksi pangan dalam banyak hal. Pertanian cerdas berdasarkan teknologi IoT memungkinkan petani mengurangi limbah dan meningkatkan produktivitas mulai dari jumlah pupuk yang digunakan hingga jumlah perjalanan yang telah dilakukan kendaraan pertanian, dan memungkinkan pemanfaatan sumber daya yang efisien seperti air, listrik, dll.

Solusi pertanian adalah sistem yang dibangun untuk memantau bidang tanaman dengan bantuan sensor [cahaya, kelembaban, suhu, kelembaban tanah, kesehatan tanaman] dan mengotomatisasi sistem irigasi. Para petani dapat memantau kondisi lapangan dari mana saja. Mereka juga dapat memilih antara opsi manual dan otomatis untuk mengambil tindakan yang diperlukan berdasarkan data ini. Misalnya, jika tingkat kelembaban tanah menurun, petani dapat memasang sensor untuk memulai irigasi. Pertanian cerdas sangat efisien jika dibandingkan dengan pendekatan konvensional.

Analisis prediktif untuk pertanian memainkan peran kunci, teknologi ini membantu petani untuk memutuskan rencana masa depan mengenai produksi tanaman, penyimpanannya, teknik pemasaran, dan manajemen risiko. Untuk memprediksi tingkat produksi jaringan buatan tanaman menggunakan informasi yang dikumpulkan oleh sensor dari pertanian. Informasi ini mencakup parameter seperti tanah, suhu, tekanan, curah hujan, dan kelembaban. Para petani bisa mendapatkan data tanah yang akurat baik melalui dasbor atau aplikasi seluler yang disesuaikan.

Adaptasi teknologi di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Petani lokal pun terhambat dalam mendapatkan akses ke teknologi. Sebagaimana diperlukannya dukungan pemerintah dalam membuka akses petani dan juga peran investor yang memudahkan petani skala kecil dan menengah untuk membeli dan menggunakan lisensi teknologi tersebut.

Beberapa startup di Indonesia telah mengadaptasi teknologi. Cerita sukses dari perkembangan sektor agraris tersebut merefleksikan bagaimana peluang pemanfaatan sumber daya yang didukung teknologi dapat menghasilkan komoditas secara maksimal, efisien dan ramah lingkungan.

Disamping kekuatan Indonesia mengadopsi nilai-nilai masyarakat adat dan mengimplementasikan teknologi dalam pembangunan pertanian, perlu juga  memprioritaskan pendekatan yang adaptasi dengan mitigasi kebencanaan.

Oleh karena itu, keterlibatan berbagai pihak dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam beradaptasi dan memahami perubahan iklim di Indonesia untuk mengimplementasikan teknologi serta tetap mempertahankan budaya lokal masyarakat adat dalam pemenuhan pangan.

Perubahan secara terstuktur seperti yang disebutkan dalam NDC untuk COP26, menjadi indikator dan pedoman bagaimana Indonesia dapat bertahan dalam perubahan iklim dan memitigasi risiko yang mengancam ketahanan pangan Indonesia.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: A world of hurt: 2021 climate disasters raise alarm over food security. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

 

Exit mobile version