Mongabay.co.id

Kala Ritual “Tordauk” Masyarakat Adat Marafenfen Terganggu

Ritual Adata Tordauk oleh masyarakat adat di Aru Selatan. Sumber foto Dokumentasi Masyarakat Adat Marafenfen.

 

 

 

 

Tiap September atau Oktober, biasa Masyarakat Adat Marafenfen di Kepulauan Aru, melakukan ritual adat tordauk. Warga di Kecamatan Aru Selatan, Kepualauan Aru, Maluku, siap menanti ritual leluhur mereka. Marga Gaelogoy, salah satu marga yang mempunyai andil dalam ritual setahun sekali di Desa Marafenfen ini.

Frans Gaelogoy, Ketua adat Marga Gaelogoy, mulai mempersiapkan rapat kecil dengan beberapa warga Kampung Marafenfen.

Sore, penghujung September itu, Frans nampak merapikan pakaian dan asesoris ritual di rumahnya. Beberapa warga yang menjalankan ritual juga ada di situ. Sebagian dari mereka bertugas mengambil pelepah kelapa untuk membakar alang-alang, berburu rusa, hingga kaum perempuan yang mempersiapkan bekal. Seluruhnya, harus ritual dengan memakai pakaian, topi, dan asesoris adat.

“Itu sudah ditetapkan, orangnya dengan pakaian kebesaran adat itu lalu setelah dia bakar. Semua warga ikut bakar ramai-ramai. Jadi buruan untuk hari itu dibagi rata semua yang hadir,” kata Frans.

Baginya, ritual tordauk sangat penting bagi masyarakat adat di Aru Selatan. Selain perburuan hewan, tradisi ini juga menyatukan dan mempererat masyarakat antar desa-desa di Pulau Trangan Aru Selatan.

Sayangnya, sejak bandara masuk di Marafenfen, alih-alih membawa kesejahteraan dan bikin nasib warga tambah baik, malah warga dapat susah. Beberapa kali ritual adat tidak bisa dilaksanakan dengan maksimal.

Mulai 1992, TNI Angkatan Laut hadir di Desa Marafenfen. Lahan adat sekitar 689 hektar terus mereka perjuangkan, sebagian telah menjadi bandara dan berbagai fasilitasnya. Aktivitas bertambah, diduga perburuan di luar masa ritual terjadi hingga satwa pun makin berkurang.

Sudah dua tahun berturut-turut, ritual bakar ilalang oleh masyarakat di Aru Selatan, tidak berjalan lancar karena hewan buruan mulai sedikit.

“Tahun lalu dan sebelumnya hanya libatkan marga di desa saja, dan tidak dilakukan tordauk bersama-sama karena tidak ada kata kesepakatan,” katanya.

 

Baca juga: Masyarakat Adat Mafafenfen Terusik Kehadiran TNI-AL

Warga di lokasi tordauk. Batu marun di bagian bawah itu merupakan benda sakral bagi warga Gaelagoy. Foto: Masyarakat Adat Marafenfen.

 

Perburuan di padang ilalang

Ritual tordauk yang dinantikan masyarakat Aru Selatan sekitar September atau Oktober ini adalah perburuan hewan seperti rusa, babi liar (Sus sacrofa) dan tikus.

“Jangan membayangkan tikus rumah rattus rattus atau tikus sawah Rattus argentiventer. Tikus yang diburu oleh masyarakat Aru Selatan adalah berbeda yakni Echimipera rufescens. Sosoknya lebih besar hingga karkas juga lebih banyak.”

Perburuan dengan cara itu dilakukan dengan membakar alang-alang yang jadi habitat aneka satwa.

Data BPS Kabupaten 2021, padang savana menghampar di Aru Selatan mencapai 29.170 hektar. Ke mana pun mata memandang yang tampak hanya hamparan ilalang imperata cylindrical.

Bentang alam Kepulauan Aru sangat beragam, salah satu hutan mangrove di sekeliling pesisir laksana cincin hijau seluas 150.000 hektar dan hutan alam. Ekosistem mangrove yang jadi benteng alami pesisir dari ancaman abrasi.

Ada pula batuan karang dari proses pengangkatan dasar laut akibat gerak tektonik. Sampai 2018, terindentifikasi 832 pulau di Kepulauan Aru.

Lanskap hutan hujan tropis dataran rendah menutup hampir 75% Kepulauan Aru menyimpan keragaman hayati khas. Hutan dataran rendah berperan sebagai penyedia kebutuhan masyarakat sekaligus habitat satwa. Di area itu mereka melangsungkan ritual tordouk.

Para tetua marga dari pemilik petuanan di lokasi tordauk lazimnya memutuskan waktu penyelenggaraan ritual tahunan itu yang berlangsung selama dua hari. Mereka bermusyawarah dengan masyarakat untuk menentukan waktu ritual.

Frans, marga dari Desa Marafenfen yang dipercaya sebagai tetua adat. Yang lain Marga Bothmir.

Tordouk, menurut Frans berarti ayam berkokok. Warga percaya ada dua putri yang terlambat ketika ayam berkokok. Keduanya berubah wujud menjadi bukit yaitu Setlanin dan Mamasel. Di sekitar area itulah disebut tordouk dan berlangsung kegiatan berburu bersama secara turun temurun.

Ketika perburuan berlangsung hampir seluruh warga desa ikut termasuk perempuan dan anak-anak. Lelaki membawa perlengkapan berburu seperti tombak, parang, dan panah untuk memburu satwa di padang ilalang. Kaum perempuan membawa perlengkapan tidur dan memasak. Mereka bermalam di lokasi perburuan dan mengolah langsung hasil buruan dan menikmati bersama.

Tradisi itu hanya sekali setahun, ketika akhir musim kemarau sebelum musim hujan datang. Tordouk merupakan puncak kegiatan berburu. Di lain waktu sebelum tordouk, ada juga perburuan di lokasi alang-alang kecil di setiap desa.

Di Aru Selatan, terdapat sembilan desa antara lain Marafenfen, Popjetur, Gaimar, Laininir, Feruni, Ngaiguli, dan Fatural. Lokasi pembakaran di beberapa titik alang-alang kecil itulah yang akan mempersempit ruang gerak beragam satwa.

Ketika api menjalar–pada kemarau daun ilalang mongering hingga mudah terbakar-ruang gerak aneka satwa itu menyempit. Satwa yang lolos dari perburuan di lokasi alang-alang kecil akan bergerak ke alang-alang tordouk. Barulah pembakaran alang-alang besar tordouk.

Di padang ilalang itu riuh suara orang mengejar dan mengepung rusa, babi hutan, dan tikus hutan. Sesekali terdengar teriakan atau komando. Mereka memburu aneka satwa itu mengumpulkan seluruh satwa buruan dan membagi rata kepada seluruh warga yang terlibat dalam tradisi itu. Para pemburu dan keluarga mengolah hasil buruan dan menikmati bersama-sama.

Membakar alang-alang cara turun-temurun dalam berburu karena efisien menggiring satwa buruan. Sejatinya ritual itu juga berperan menjaga keseimbangan alam. Masyarakat Kepulauan Aru menghargai lingkungan dan alam dengan merawat kearifan lokal seperti tordouk.

Dia bilang, ritual ini mengandung norma, nilai, dan acara adat. Sisi lain, mereka mengenal tradisi sasi-tata cara adat untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hasil bumi termasuk di hutan atau padang ilalang.

Prinsipnya, sasi merupakan larangan bagi masyarakat untuk mengambil hasil bumi berupa aneka satwa, tanaman pangan, atau hasil laut di wilayah dan waktu tertentu.

Masyarakat Aru mengenal dua jenis sasi yaitu sasi adat dan agama. Landasan sasi adat berupa aturan dari kepercayaan terhadap leluhur. Sasi agama, berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan.

Ketika belum masa ritual berburu, masyarakat dilarang melakukan perburuan dan bakar ilalang di lokasi tordouk. Karena itu, tordouk hanya sekali setahun untuk mengontrol populasi satwa. Antara tordouk dan sasi itu, katanya, saling melengkapi agar membentuk keseimbangan alam.

Secara tidak langsung, tordouk mengontrol populasi agar tidak berlebih. Sisi lain, sasi justru bentuk konservasi melindungi satwa di Aru Selatan.

 

Warga Aru Selatan memikul tumang atau sagu, Makanan khas Masyarakat di Aru, Maluku. Foto: Masyarakat Adat Marafenfen.

 

*****

Foto utama: Ritual tordauk oleh masyarakat adat di Aru Selatan. Foto: Masyarakat Adat Marafenfen.

Exit mobile version