Mongabay.co.id

Duka Korban Banjir Bandang Kota Batu, Bagaimana Upaya Mitigasi agar Bencana Tak Berulang?

Rumah Suliamat diterjang banjir, rata dengan tanah. Hanya menyisakan pondasi rumah. (Foto: Eko Widianto)

 

 

 

 

Mata Suliamat, sembab. Air mata meleleh dari kedua bola mata lelaki paruh baya ini saat melepas jenazah anak pertama dan cucu semata wayangnya, 6 November lalu. Jenazah bapak anak, Mahendra Feri (27) dan Alverta Shenazia Alarvisa Vindra (3) ditemukan sekitar lima kilometer dari rumah Suliamat.

Mereka terpisah sejauh 200 meter. Kedua jenazah dimakamkan bersama-sama di pemakaman umum Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.

Feri dan anaknya jadi korban terjangan banjir bandang di Kota Batu, Jawa Timur. Saat kejadian 5 November itu, Feri tengah menggendong Vindra di dalam rumah. Hujan deras mengguyur Batu sejak pukul 15.00 WIB.

Awalnya, kata Suliamat, air menggenangi Kali Paron, anak Sungai Brantas di samping rumah. Selang 10 menit, listrik padam. Air bercampur lumpur, kayu gelondongan dan batu menerjang rumah.

Saat itu, di dalam ada lima orang. Feri bersama istrinya, Devisatul Istiqamah dan Vindra dan anak kedua Sulaimat, Linda Ariesta.

“Feri saat itu momong anaknya. Tiba-tiba air bah menerjang rumah,” kata Sulaimat. Sulaimat bergegas keluar rumah, atap teras ambruk dan menimpanya. Lumpur memenuhi wajah, beberapa menit kemudian surut.

Devisatul Istiqamah menggandengnya. Melalui cahaya dari luar, keduanya merayap keluar reruntuhan rumah. Mahendra Feri, Vindra dan Linda hanyut terseret bah. Linda selamat, saat ini menjalani pengobatan di rumah sakit. Sedangkan Feri dan Vindra, meninggal dunia.

Rumah yang mereka bangun 1994 itu, rata dengan tanah. Seluruh harta benda ludes, terseret banjir, termasuk sepeda motor dan tiga sapi peliharaan. “Harta bisa dicari, saya kehilangan anak dan cucu,” kata Sulaimat.

Kali Paron, katanya, selama ini dikenal sebagai sungai mati. Saat kemarau tak ada air mengalir. Saat musim hujan, menampung air hujan. Banjir bandang kali ini, kata Sulaimat, terparah sepanjang hidup tinggal di Kota Batu. “Sungai ini tak pernah banjir besar seperti ini.”

 

Eksavator membersihkan material banjir mulai lumpur, batu dan kayu di Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Hutan lindung hilang

Banjir bandang di Kota Batu 5 November lalu diduga kuat karena alih fungsi hutan lindung di Lereng Gunung Arjuno. Protection of Forest & Fauna (ProFauna) menyusuri hutan lindung di lereng gunung. “Sekitar 90% tutupan hutan lindung di lereng Gunung Arjuno habis,” kata Rosek Nursahid, Ketua ProFauna.

Dia mengatakan, kalau air melintas Kali Paron dari area atas di kaki Gunung Arjuno. Air bercampur lumpur, batu dan gelongongan kayu berasal dari hutan lindung yang berubah lahan pertanian.

Warga gunakan pertanian intensif untuk menanam aneka komoditas seperti kol, wortel dan kentang.

Hutan lindung, berubah fungsi menjadi lahan pertanian selama bertahun-tahun. Lokasinya curam dengan kemiringan tajam, katanya, tak layak untuk pertanian.

Saat hujan, tanah tergerus dan pohon ukuran yang raksasa tumbang karena kebakaran dua tahun lalu turut menutup aliran alami. “Tanah tergerus menutupi jalan air di Pusung Lading, Desa Sumbergondo, Kecamatan Bumiaji. Saat curah hujan tinggi ambrol dan meluncur ke desa di bawahnya.”

 

Ubah tanaman

Rosek memantau pembukaan lahan secara besar-besaran selama lima tahun terakhir. Sejak setahun terakhir, ProFauna mendekati petani, mengajak beralih komoditas dengan menanam buah-buahan. Tanaman itu lebih aman dan bisa menahan laju longsor. Para petani di Blok Bido Jali, Bumiaji dan Blok Pring Jowo mulai beralih menanam aneka jenis buah seperti alpukat, durian, nangka dan manggis.

“ProFauna memberi bantuan ribuan bibit tanaman buah,” katanya.

Kalau tak reboisasi, katanya, khawatir banjir dan tanah longsor terus menghantui warga Batu.

 

ProFauna menelusuri aliran air yang menjadi penyebab banjir di Bulukerto, Bumiaji, Kota Batu. Terjadi alih fungsi hutan lindung menjadi lahan pertanian. Foto: Rosek Nursahid

 

Dia berharap, banjir bandang bisa membuka mata hati penduduk, dan Pemerintah Kota Batu untuk menghentikan alih fungsi hutan lindung. ProFauna pun menolak rencana investor menanam porang di kawasan itu.

Selain itu, Pemerintah Kota Batu dan Perum Perhutani diajak terlibat memulihkan hutan lindung. Perlu empat atau lima tahun untuk memulihkan hutan lindung yang mestinya rumah macan tutul (Panthera pardus melas), lutung Jawa ((Trachypithecus auratus) dan aneka jenis burung.

Walhi Jawa Timur menyebut, kerusakan hutan di Kota Batu terjadi selama 20 tahun terakhir. Wahyu Eka Setiawan, Manajer Kampanye Walhi Jatim menunjukkan, citra satelit yang memperlihatkan sekitar 348 hektar hutan primer di Kota Batu hilang. Data lahan hijau eksisting pada 2012 seluas 6.034,62 hektar, pada 2019, tersisa 5.279,15 hektar.

Analisis mereka, sekitar 150 hektar kawasan hutan di hulu Sungai Brantas jadi pertanian sedang ruang terbuka hijau (RTH) publik Kota Batu hanya 12-15%. “Alih fungsi hutan menjadi penyebab menurunnya wilayah resapan dan tangkapan air.”

Alih fungsi hutan di hulu Sungai Brantas untuk pertanian, di Desa Tulungrejo, hingga Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Batu.

Tutupan berkurang, katanya, mengurangi daya tangkap air hingga air mengalir mengikuti pola ke dataran lebih rendah. Curah hujan tinggi, tak terserap pepohonan dan sungai tidak tak sanggup menampung volume air, akhirnya meluap.

 

Alat erat menarik batang pohon raksasa yang menerjang Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Perubahan RTRW

Alih fungsi hutan lindung, selain berdampak terhadap banjir dan longsor, juga meningkatnya suhu udara, dan ancaman krisis air. Sekitar 20 tahun lalu, katanya, 111 sumber mata air di lereng Gunung Arjuno, kini tersisa separuh. Selebihnya, sumber mata air mati, tak mengeluarkan air.

Suhu udara di Kota Batu sekarang rata-rata 22.6-23 derajat celsius. Bandingkan dengan kondisi sama lima tahun lalu, suhu sekitar 21-22.3 derajat celsius.

Di Batu, kata Wahyu, tidak ada kawasan perlindungan khusus kawasan hutan, lahan hijau dan kawasan mata air. Diperparah dengan revisi Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Batu 2021. Dalam perda revisi RTRW, katanya, tidak menjelaskan perlindungan kawasan esensial.

Revisi Perda RTRW mengancam kawasan lindung di hulu Sungai Brantas. Lantaran sebagian kawasan diberi peluang untuk jadi tempat wisata buatan, dan pertanian. “Perda RTRW tidak sensitif bencana dan masa depan lingkungan hidup Kota Batu,” katanya.

Revisi Perda RTRW tidak transparan dan tak partisipatif. Walhi Jatim mendesak, perlindungan kawasan esensial, demi masa depan kota ini. “Jika Kota Batu hancur, Kota Malang dan sepanjang DAS Brantas juga terdampak.”

Punjul Santoso, Wakil Wali Kota Batu mengatakan, kalau Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko bersama pimpinan DPRD dipanggil Kementerian Agraria dan Tata Ruang terkait RTRW dan rencana detail tata ruang kota (RDTK).

“Saya sendiri belum tahu yang ditunjuk KATR apakah sudah didok dewan untuk mendapat rekomendasi dan semua diloloskan? Kita belum tahu,” katanya.

KATR, katanya, akan mengeluarkan rekomendasi atas revisi Perda RTRW. RTRW ini sebagai panduan penataan kawasan, justru melindungi dan mencegah bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

Pemkot Batu, katanya, turut melibatkan Perum Perhutani dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) agar hutan dikelola hati-hati. “Tim bagian hukum masih melakukan kajian,” katanya.

Menurut Punjul, banjir terjadi tahun di Kota Batu tetapi tak pernah sebesar Kamis lalu.

Untuk pola pertanian di hulu Sungai Brantas, Punjul menunjuk Dinas Pertanian untuk menata pola tanam petani, seperti melarang pertanian di lahan berkemiringan lebih dari 45 derajat, tanaman metode terasering hingga bisa mengurangi tanah longsor.

Raymond Valiant, Direktur Utama Perusahaan Umum Jasa Tirta I mengatakan, banjir bandang melewati saluran alami dan bergabung ke Sungai Brantas. Jadi, air yang mengangkut tanah, batu, batang pohon dan material lain mengalir dan masuk ke Brantas.

Saat banjir di hulu, debit Brantas 430 meter kubik per detik, kategori kondisi siaga. Kini, debit Brantas berangsur turun.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu mendata 22 rumah rusak ringan hingga berat dampak banjir. Sebanyak 142 orang mengungsi. Banjir merenggut tujuh nyawa. Banjir bandang di Kota Batu ditetapkan sebagai tanggap darurat bencana sesuai UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

 

Rumah warga di Batu, rata dengan tanah kena terjang banjir bandang. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Banjir bandang di Dumai

Banjir terjadi di berbagai daerah, tak hanya di Kota Batu, juga di beberapa kota lain di berbagai pulau, baik Kalimantan, Sumatera dan lain-lain. Di Kota Dumai, Riau, misal, sejak penghujung Oktober hutan turun dan banjir bandang, seorang anak meninggal dunia.

Banjir menggenangi lima kelurahan dari tiga kecamatan di Dumai, seperti Kelurahan Bumi Ayu dan Bukit Datuk, Kecamatan Dumai Selatan. Kemudian, Kelurahan Bintan dan Sukajadi, Kecamatan Dumai Kota. Lalu, Kelurahan Bukit Nenas, Kecamatan Bukit Kapur.

“Kelurahan Bumi Ayu, paling terdampak. Posisi persis di sepanjang aliran Sungai Dumai. Sekarang, banjir masih sepinggang orang dewasa, terutama di RT1,” kata Amrizal Anara, Kalaksa BPBD Dumai.

Data BPBD Dumai, akhir Oktober, warga terdampak banjir mengungsi ada 584 jiwa. Mereka, tersebar di tujuh titik posko pengungsian.

 

Sungai menyempit, hutan tergerus

Amrizal Anara, mengatakan, banjir dipicu hujan intensitas tinggi hingga air Sungai Dumai meluap karena kelebihan daya tampung. Beberapa bulan sebelum banjir, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Dumai, gencar menormalisasi sungai dari hulu ke hilir sepanjang 11 kilometer. Upaya itu, katanya, sempat didukung Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera dengan meminjamkan satu alat berat amfibi.

Agustus lalu, kegiatan terhenti karena alat harus pindah ke Rokan Hulu. Pengadaan alat berat Dinas PUPR baru tiba, 31 Oktober.

“Sungai Dumai sudah lama tak dibersihkan,” kata Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR Dumai, Wan Rico.

Pendangkalan Sungai Dumai tak dipungkiri pemerintah kota itu. Rico bilang, penyempitan dan pendangkalan sungai karena banyak faktor, antara lain, dipicu proses pasang-surut air laut yang membawa lumpur dan mengendap ke dasar sungai. Juga faktor aktivitas manusia di sepanjang sungai.

 

Alat berat mengeruk Sungai Dumai, yang dangkal. Sungai dangkal disebut jadi salah satu penyebab banjir bandang di Kota Dumai, Riau. Foto: Dinas PUPR Dumai

 

Bantaran Sungai Dumai dihimpit rumah-rumah penduduk dengan tidak mematuhi jarak pendirian bangunan sekitar 15 meter, kiri-kanan bibir sungai. Kondisi itu, berbarengan dengan kebiasaan membuang sampah ke sungai. Sampah ke jalan dan parit pun masuk sungai.

“Sulit juga. Itu DAS. Sekarang, kiri-kanan padat. Malahan ada yang di atas sungai. Dapur rumah sampai menjorok ke sungai. Kalau tegak di jembatan, nampak juga pemandangan yang kayak gitu.”

Alur Sungai Dumai, membelah kota itu menjadi dua bagian. Ia melintasi Kecamatan Dumai Selatan, Barat dan Kota. Hulu pun rusak. Tutupan pohon makin berkurang. Banyak pembukaan lahan di hulu untuk perkebunan. Bumi Ayu, kelurahan paling terdampak banjir, berada di sekitar hulu sungai.

Sungai Dumai, juga bagian dari Taman Wisata Alam (TWA). Kawasan hutan wisata, itu ditetapkan Menteri Kehutanan pada 10 April 1990 seluas 4.712,50 hektar. Ia di bawah pengawasan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Riau.

Menteri Siti Nurbaya baru saja mengunjungi lokasi yang juga disebut Bukit Jin itu, tepat 31 tahun setelah ditetapkan.

Satu bulan sebelum kunjungan itu, BBKSDA Riau memperingati Hari Bakti Rimbawan dengan deklarasi penyelamatan TWA Sungai Dumai.

Suharyono, Kepala BBKSDA Riau, waktu itu, tidak menampik keterancaman kawasan konservasi yang berada di jantung Kota Dumai itu. Dikutip dari Antaranews.com, 16 Maret 2021, kata Suharyono, perambahan sporadis sebagian besar karena alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit bahkan berujung kebakaran hutan.

Penyempitan dan pendangkalan Sungai Dumai juga diikuti area tangkapan air di sekitar. Seperti di Tasik Bunga Tujuh, dekat Bandara Medang Kampai. Dinas PUPR Dumai juga menargetkan pembenahan pada titik ini termasuk embung di sekitar bekas kompleks Chevron yang biasa untuk menampung air.

“Kita kembalikan lagi fungsi masing-masing. Kami berharap, sama-sama jaga alam dan lingkungan. Pohon-pohon harus tetap dipelihara,” kata Rico.

 

 

******

Foto utama: Rumah Suliamat diterjang banjir, rata dengan tanah. Hanya menyisakan pondasi rumah. Foto: Eko Widianto/Mongabay Indonesia

Exit mobile version