Mongabay.co.id

Banjir Bandang Kota Batu dan Rusaknya Kawasan Hutan

 

 

Banjir bandang yang terjadi di Desa Sumber Brantas dan Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, pada Kamis [4/11/2021], tidak hanya merusak bangunan dan membuat warga mengungsi. Tetapi juga, merenggut korban jiwa.

Pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim, Institut Teknologi Sepuluh Nopember [ITS] Surabaya, Amien Widodo, menyebut perubahan masif di kawasan hulu sungai maupun lereng Gunung Arjuno seharusnya sudah dapat dijadikan acuan untuk melakukan pencegahan sebelum bencana terjadi. Terlebih, banjir juga sudah pernah terjadi sebelumnya, meski tidak berdampak pada kerusakan lingkungan.

“Ini menunjukkan perubahan di bagian hulu sudah sedemikian besar, masif, dan sangat luas. Bencana ini bukan yang pertama, awal 2021 sudah ada, pada 2020 juga pernah terjadi tapi tidak besar,” ujar Amien Widodo, baru-baru ini.

Keberadaan pohon kayu di hutan kata Amien, memiliki peran penting menahan laju air saat hujan. Sekitar 80 persen air hujan akan meresap ke tanah, tertahan akar. Berbeda bila hutannya gundul, air akan membawa material tanah dan batu ke hilir.

Banjir bandang di Batu, kata Amien, gagal diantisipasi karena hutan yang beralih fungsi belum direhabilitasi atau ditanami kembali. Bahkan, sebagian besar sudah menjadi lahan pertanian sayuran.

“Agar tidak terjadi bencana ya dihutankan lagi. Tapi, apakah bisa dilakukan cepat? Sekarang, wilayah itu merupakan sawah, tempat wisata, dan permukiman,” ujarnya.

Amien meminta, pemerintah daerah dan BPBD memperhatikan kembali peta rawan gerakan tanah atau longsor, serta rawan bencana lainnya di Jawa Timur. Masyarakat harus mulai disiagakan, menyiapkan jalur evakuasi sebelum bencana terjadi.

Selain Gunung Arjuno, dia juga menyoroti kawasan lain yang juga rawan longsor dan banjir. Mulai Gunung Lawu sisi Jawa Timur di Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ngawi, yang hampir setiap tahun longsor, lalu sekeliling Gunung Wilis, yaitu Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Tulungagung, dan Kabupaten Kediri.

“Sekitar Gunung Anjasmoro juga perlu diwaspadai, kawasan Wonosalam di Jombang, dan di Malang sekitar Dinoyo. Biasanya sebelum longsor terjadi, material menutupi atau membendung sungai, karena airnya tambah besar lalu jebol, terjadilah banjir bandang,” paparnya.

Baca: Alih Fungsi Lahan dan Fenomena Hilangnya Kawasan Esensial di Kota Batu

 

Gunung Arjuno dari sisi kebun teh Lawang, Kabupaten Malang. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] melalui keterangan pers yang diterima Mongabay, meminta pemerintah daerah meningkatkan kesiapsiagaan terkait kemungkinan munculnya banjir susulan. Ini karena musim hujan masih terjadi hingga beberapa bulan ke depan.

Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Kota Batu bersama BPBD Provinsi Jawa Timur, telah mengerahkan sejumlah peralatan berat untuk mempercepat penanganan bencana, khususnya mengevakuasi material yang dibawa banjir.

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, meminta percepatan pencarian korban dilakukan dan segera melakukan pembersihan material. “Saat kondisi seperti ini, memang dibutuhkan bantuan anjing pelacak untuk mempermudah identifikasi, pada titik mana korban dicari,” ujarnya.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga telah menyiagakan dapur umum, air bersih, serta kebutuhan hidup sehari-hari yang dibutuhkan warga saat mengungsi.

Baca: Duka Korban Banjir Bandang Kota Batu, Bagaimana Upaya Mitigasi agar Bencana Tak Berulang?

 

Lereng Gunung Arjuno yang ditanami sayuran. Foto: PROFAUNA

 

Penelusuran

Penelusuran yang dilakukan PROFAUNA Indonesia di wilayah Malang dan Batu, menunjukkan fakta adanya alih fungsi hutan di lereng Gunung Arjuno menjadi lahan pertanian atau perladangan. Kondisi tersebut yang diduga kuat menjadi penyebab utama banjir bandang di Kota Batu.

Pendiri dan Ketua PROFAUNA Indonesia, Rosek Nursahid, mengatakan keadaan ini menyebabkan tanah di lereng-lereng gunung tidak lagi kuat menahan gempuran hujan. Akibatnya, air membawa serta tanah dan material di atasnya ke bawah atau hilir, ketika hujan turun dengan intensitas tinggi.

“Memang curah hujan cukup tinggi, tapi bukan sesuatu yang sangat besar dibandingkan kondisi sebelumnya. Utamanya karena alih fungsi hutan, terutama hutan lindung di lereng Arjuno yang sebagian besar sudah beralih menjadi tanaman sayur,” kata Rosek.

Alih fungsi hutan yang sudah terjadi bertahun inilah, yang menimbulkan sedimentasi dan pendangkalan pada jalur air, saat hujan turun di musim-musim sebelumnya. Selain itu, imbuh Rosek, kebakaran hutan pada 2019 di hampir sebagian besar lereng Gunung Arjuno, turut mempengaruhi terjadinya banjir bandang ini.

“Banyak pohon mati, tumbang, yang menghalangi atau membendung jalur air, kemudian jebol, dan menjadi kekuatan dahsyat yang bisa menghancurkan jembatan dan apa saja,” paparnya.

Rosek mengungkapkan, keseriusan pemerintah melakukan rehabilitasi hutan harus serius. “Mulai Cangar, tahura, Batu, dan Kebun Teh Lawang, sudah begitu masif dimanfaatkan untuk pertanian. Program rehabilitasi hutan dan lahan belum total dijalankan,” terangnya.

Baca juga: Alih Fungsi Lahan Penyebab Angin Kencang, Petani Apel Kota Batu Gagal Panen

 

Lokasi banjir bandang di Kota Batu, saat dikunjungi Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Foto: Humas Pemprov Jawa Timur

 

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Jawa Timur, Rere Christanto. Kata dia, hilangnya kawasan resapan di Kota Batu akibat alih fungsi hutan menjadi pertanian adalah penyebab terjadinya banjir bandang. Walhi mencatat, terdapat 1.295 hektar kawasan hutan di Kota Batu yang rusak, akibat untuk pertanian, ladang, tegalan, permukiman, hingga tempat wisata.

“Lebih banyak akibat alih fungsi kawasan yang dibiarkan terjadi. Kalau melihat hulu dari sungai-sungai yang meluap di Kecamatan Bumiaji, ada hulu di kawasan hutan yang beralih fungsi menjadi ladang atau tegalan,” ujarnya.

Walhi Jawa Timur, secara khusus menyoroti tata ruang yang tidak mempertimbangkan kelestarian kawasan-kawasan yang penting secara ekologis. Pegunungan, hutan, dan hulu sungai, sangat rentan terhadap perubahan.

“Ketika mengalami perubahan bentang secara masif dan tidak ada upaya pemulihan, maka kawasan di bawahnya akan menerima dampak kerusakan itu,” lanjutnya.

Rere mengungkapkan, penggunaan kawasan hutan untuk aktivitas budidaya masyarakat, sangat mungkin dilakukan. Namun, tetap memperhatikan bentuk atau model yang sesuai wilayah tersebut. Bila berada di kawasan hulu dengan kemiringan cukup tinggi dan menjadi wilayah resapan air, penggunaan lahan untuk budidaya sayur seharusnya tidak dengan model terbuka.

“Sangat memungkinkan dengan model agroforestri, budidaya pohon, buah dan sebagainya, yang masih punya tegakan dan masih berfungsi sebagai wilayah resapan.”

Pengelola kawasan hutan seperti Perhutani, Dinas Kehutanan, atau di KLHK, ujar Rere, seharusnya ikut bertanggung jawab terhadap pengelolaannya. Jangan membiarkan masyarakat membuka kawasan  tanpa mempertimbangkan kontur wilayah.

“Semua harus bekerja keras untuk memperbaiki kawasan, agar bencana banjir tidak terulang lagi,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version