Mongabay.co.id

COP26 dan Urusan yang Belum Rampung untuk Masa Depan Bumi

Keputusan dibuat lewat konsensus, bukan dengan suara mayoritas. Ini adalah aturan baku dalam konferensi iklim tahunan para pihak (conference of the parties/COP) Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak COP1 di Berlin 1995. Hal ini menjadi pepatah mapan COP: tidak ada yang diputuskan sampai semuanya diputuskan.

COP21 di Paris 2015 dianggap suatu cerita sukses. Semua negara pihak menerima Persetujuan Paris yang berseru agar emisi karbon dipotong separuh pada 2030, mencapai keadaan bebas emisi pada 2050, dan kenaikan suhu pemanasan global tidak melampaui 1,5o C di atas tingkat suhu era pra-industri. Namun, bagaimana hasilnya, kenaikan suhu kini sudah sebesar 1,1o C.

Dengan pertemuan COP26 di Glasgow yaitu dari 31 Oktober hingga 12 November, hal apa harus dicapai supaya COP26 dinilai berhasil?

Satu kunci alot agar COP26 berhasil ialah menyelesaikan urusan yang belum rampung perihal Pasal 6 Persetujuan Paris. Pasal 6 ini membuat aturan pelaksanaan Persetujuan Paris.

Baca juga: Jelang COP26: Menanti Solusi Iklim Serius Bukan Akal-Akalan

 

Presiden Joko Widodo bersama PM Inggris Boris Johnson dalam pertemuan COP26 Glasgow. Masa depan Bumi tergantung kesepakatan politik para pemimpin dunia. Dok: Setneg RI

 

COP24 di Katowice, Polandia, pada 2018 bertugas  merancang “Buku Aturan Paris”. Tetapi para perunding iklim tidak dapat sepakat bagaimana menyudahi buku aturan itu. Buku itu tetap belum selesai digarap pada COP25 di Madrid tahun 2019.

Kini terserah pada Glasgow untuk menuntaskan buku aturan ini. COP26 merupakan “harapan terbaik terakhir kita”, ujar Presiden COP26 Alok Sharma dalam nada memelas.  

Tiga isu membara dalam Pasal 6 adalah menghindari hitungan ganda (double counting), alih pindah (carryover) kredit karbon diperoleh sebelum 2020, dan pendanaan bagi adaptasi dan tidak hanya untuk mitigasi.

Mengenai hitungan ganda, ini terjadi bilamana reduksi emisi yang dipakai dalam peralihan karbon dihitung dua kali. Katakan satu negara membayar negara lain untuk bangun jejaring panel solar dengan maksud membujuknya tidak menggali tambang batubara.

Masing-masing negara mengklaim kredit telah menurunkan emisi dan memperhitungkannya dalam aksi iklimnya, disebut sebagai nationally determined contribution (NDC). Reduksi emisi hendaknya tidak dihitung dua kali.

Mengenai alih pindah kredit, argumennya ialah apakah kredit perolehan sebelum 2020 di bawah Protokol Kyoto 1997 yang mewajibkan negara maju menurunkan reduksi, apakah kredit perolehan itu dapat berlaku untuk mencapai target emisi berdasarkan Persetujuan Paris.

Mengenai dana bagi adaptasi, karena reduksi emisi itu aksi pokok mitigasi, maka pertimbangan juga diberikan tentang ongkos kegiatan adaptasi diadakan lewat pungutan terhadap niaga karbon.

“Bila Pasal 6 berhasil, maka setiap negara punya kepentingan untuk itu. Kalau ia berfungsi, maka ia berfungsi untuk semua. Kalau ia tidak berfungsi, ia tidak berfungsi bagi siapa saja.” Demikian Helen Faulkner, sekretaris pertama Kedutaan Inggris bidang perubahan iklim dan kebijakan karbon rendah, dalam penjelasan pra-COP bagi media.

“Mengupayakan agar aturan-aturan itu dibuat dengan tepat adalah hal kritis dalam melawan perubahan iklim: bergantung pada bagaimana ia dibangun, Pasal 6 itu dapat menolong dunia menghindari  tingkat bahaya pemanasan global dan tidak membiarkan negara-negara abai mengurangi emisi secara berarti,” demikian pernyataan sebuah makalah dari lembaga studi iklim World Resources Institute menggarisbawahi.

Bila aturan-aturan itu dirancang secara tepat, hasilnya dapat bermanfaat bagi semua yang terlibat, WRI menambahkan.

Baca juga: Implementasi Pajak Karbon di Tahun 2022, Antara Rencana dan Tantangan

 

 

Pasar karbon  berperan dalam reduksi emisi. Reduksi emisi menghasilkan kredit karbon dan ini dapat dialihkan antarnegara. PBB dapat juga bertindak untuk menyediakan mekanisme untuk niaga kredit  bertolak dari reduksi emisi guna membantu negara-negara mencapai target NDC mereka.  

Satu contoh pendekatan pasar karbon ialah kasus negara yang membiayai panel solar bagi negara lain bila negara kedua tersebut meninggalkan niatnya untuk menggali tambang batubara. Negara kedua itu akan menikmati energi bersih sedangkan negara pertama memperoleh kredit reduksi emisi.

Pendekatan nonpasar juga ada di atas meja runding. Ini menyangkut penetapan harga karbon secara internasional. Masing-masing negara mengatur perangkat dan mekanismenya sendiri.

Di dalam negeri, pajak karbon dapat diterapkan untuk membujuk industri meninggalkan pemakaian bahan bakar fosil penghasil emisi seperti PLTU berbahan batubara. Indonesia akan melaksanakan pajak karbon berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pemerintah telah juga menerbitkan peraturan presiden penetapan harga emisi karbon yang diumumkan di konferensi iklim Glasgow.

Butir-butir penting dalam Pasal 6 agaknya memerlukan keputusan politik untuk penyelesaiannya. Terkait ini, Presidensi COP26 Britania Raya mengadakan rangkaian pertemuan bilateral dengan negara pihak bersikap keras, menurut perunding iklim Indonesia Kuki Soejachmoen yang hadir di Glasgow.

“Pada umumnya, berbagai isu tersebut dapat diselesaikan secara teknis jika sudah ada keputusan politis dari masing-masing pihak,” kata Kuki, seorang veteran setiap COP sejak COP13 di Bali pada 2007. Ia duduk dalam sidang konferensi  bertajuk “Hal-hal berhubungan dengan Pasal 6 Persetujuan Paris.”

Bagi Indonesia, hal penting adalah kepastian mengenai akunting dari transaksi internasional agar tidak terjadi pemanfaatan oleh lebih dari satu pihak untuk menghindari hitungan ganda, kata Kuki, Direktur Eksekutif LSM iklim Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID).

Indonesia juga berharap agar kredit karbon dari periode sebelum Persetujuan Paris tidak dapat ditransaksikan secara internasional di bawah mekanisme dan kerjasama yang diatur Pasal 6 Persetujuan Paris, Kuki, lulusan teknik lingkungan ITB dan seorang Climate Reality leader binaan Al Gore, menguraikan lanjut.   

Dalam dua hari pertama konferensi, para pemimpin dunia mengeluarkan pernyataan-pernyataan berani untuk menghentikan deforestasi pada 2030 dan mengurangi emisi metan yang sangat keras sebanyak 30 persen pada 2030 dibanding tingkat emisi pada 2020. Metan berdaya panas 28-34 kali lebih keras dari karbon dioksida dalam jangka waktu 100 tahun.

Tetapi pernyataan-pernyataan gagah para pemimpin tidaklah cukup untuk menjadikan COP26 itu sukses. Hal-hal penentu adalah keputusan-keputusan politik yang harus diambil para pemimpin. Sudah pasti, tindakan berupa keputusan politik adalah termasuk buku aturan Paris agar diselesaikan tuntas dan memastikan urusan yang belum selesai tidak dibiarkan membusuk.

 

* Warief Djajanto Basorie, pengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) dan manajer proyek lokakarya Meliput Perubahan Iklim 2011-2017.  Artikel ini adalah opini penulis.

 

Foto utama: Pemandangan tampak atas PLTU Suralaya di kota Cilegon, Provinsi Banten, Indonesia. Gambar oleh Kasan Kurdi / Greenpeace.

 

Exit mobile version