Mongabay.co.id

Mencari Cara Regenerasi Petani

 

 

 

 

Krisis iklim tengah melanda dunia, termasuklah di Indonesia. Bagi Didi Haryana, pegiat Serikat Petani Konawe Selatan, di Sulawesi Tenggara, krisis iklim ada sangkut paut dengan kegagalan reforma agraria, yang membuahkan pembabatan hutan dan berkembangnya industri energi kotor.

Hutan dan lahan teralokasi bagi pebisnis skala besar, sedang petani kesusahan ruang bertani. Bahkan, tak jarang, lahan-lahan subur warga petani malah beralih fungsi jadi lahan bisnis skala besar seperti perkebunan maupun tambang dan lain-lain. Reforma agraria tak berjalan, petani makin terjepit.

Di tengah kondisi itu, generasi muda di desa banyak lebih memilih pekerjaan lain, tak lagi sebagai petani. Meskipun itu tak berlaku bagi Didi. Kesulitan petani, malah mendorong petani muda ini berserikat.

Didi datang dari Pasundan, wilayah barat Pulau Jawa, bersama orangtuanya, pada 2017. Dia pun membaca persoalan transmigran di Konawe Selatan. Di sana, katanya, pemerintah belum banyak serahkan lahan transmigran, sebagian sudah berpuluh-puluh tahun.

Didi pun bersama kawan-kawannya bersimpul, bikin serikat yang kuat, tempat mereka mengatur siasat, memperoleh hak atas tanah mereka.

Lima tahun sudah, Didi bergelut di Serikat Tani, yang memayungi 14 desa di Konawe Selatan itu. Berulang kali Didi bersama kawannya getol berdemonstrasi. Berbagai intimidasi pun mengarah ke mereka.

Sebagai pendatang, Didi dkk menjadi sasaran empuk diskriminasi dari sebuah pemikiran usang tentang “pribumi adalah segalanya” yang berkembang di sana. Diancam diusir, sudah makanan sehari-hari Didi.

Dia bergeming. Akhirnya, pemerintah menyerahkan lahan kepada para transmigran.

Di Konawe Selatan, dunia Didi terbagi dua. Pagi hingga sore, dia bertani—seperti kebanyakan transmigran. Sepulang bertani, Didi mengurus Serikat Tani, jadi seorang aktivis.

Didi hanya segelintir anak muda yang bertekad tetap bertani. Sebaya Didi banyak memilih ke kota atau paling tidak menjadi buruh pabrik tambang, yang berserakan di Sulawesi Tenggara.

“Sekarang, kebanyakan petani sudah berumur lanjut. Sudah jarang nih anak muda yang mau bertani. Karena memang satu, hasilnya kurang,” kata Didi.

Wahyu Fernandez, Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia (RMI) mengatakan, julukan Indonesia sebagai negara agraris melekat sejak lama. Julukan itu, seharusnya membuat pemerintah memposisikan petani sebagai produsen pangan.

Sayangnya, kata Wahyu, petani jadi konsumen bibit sampai pupuk. Tak ada yang memikirkan serius, bagaimana regenerasi petani berlanjut.

Dia melihat, distribusi produk dari desa ke kota tidak semulus dari kota ke desa. Kondisi ini, membuat biaya produksi pertanian membengkak.

“Anehnya, teman-teman kampung itu, bisa beli melalui online shop dan barangnya nyampai. Tapi produksi pertanian lokal sampai ke kota, sulitnya minta ampun,” kata Wahyu.

Sambil menambal biaya produksi, orangtua juga banting tulang mencari biaya menyekolahkan anaknya di kota. “Kemudian anaknya nanti, belum tentu menjadi petani lagi. Ini kan kita lihat ada masalah, negara udah keliru memposisikan petani.”

Agustus lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo bilang, 71% petani berusia lebih 45 tahun, di bawah itu hanya 29%.

Persoalan regenarisasi petani tak sepele walau pertanian di negeri ini sudah tradisi bagi jutaan keluarga di pelosok desa. Turun dari orangtua ke anak-anak, hingga cucu, bersama lahan garapan. Sisi lain, para petani masih minim lahan, bahkan sebagian mereka tak punya tanah.

“Kita usahakan akses reform agraria saja susahnya minta ampun,” kata Wahyu.

 

Baca juga: Was-was Petani Pesisir Kulonprogo Kala Lahan Tani Terancam Tambang [1]

Hasil pertanian subur petani Kulonprogo. Kini mereka sedang resah karena lahan tani pasir mereka terancam jadi pertambangan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

***

Presiden berkata pemerintah berusaha, bagaimana sektor pertanian menjadi sektor menguntungkan, hingga anak-anak muda tertarik bertani. Caranya, dengan meningkatkan profesionalisme dan daya saing.

Jokowi ingin, petani mulai fokus hilirisasi atau tahap pengolahan pascapanen, hingga menguasai sampai ke proses packaging dan dagang (trading). “Karena justru di sisi inilah keuntungan terbesar akan diperoleh,” katanya.

Dia juga menekankan, pentingnya kompetensi petani guna bersaing dengan produk lintas negara. Kompetensi itu mencakup soal keterampilan teknis, pemanfaatan teknologi, serta kompetitif dalam model bisnis dan manajemen. Jokowi bercita-cita lewat pertanian, Indonesia bisa mandiri pangan.

“Akses kredit usaha rakyat (KUR) dari perbankan harus dimanfaatkan dengan baik untuk meningkatkan produktivitas kegiatan agribisnis dan kesejahteraan petani.”

Kementerian Pertanian telah mengucurkan anggaran Rp70 triliun untuk KUR. Per September 2021, realisasi capai Rp56,3 triliun, setara 80,48% dari target.

“Kalau KUR, misal, dibagi per petani, paling mendapatkan Rp5 juta, itu ongkos produksi saja tidak cukup, sementara mau berharap sektor pertanian menguntungkan bagi petaninya,” kata Eka Pangulimara, Pengurus Pusat Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).

Eka mengatakan, pemerintah kurang bersungguh-sungguh membuat pertanian di Indonesia berjaya.

Terlebih, Indonesia masih keranjingan mengimpor produk pertanian dari negara lain, yang membuat petani kalah saing. Kondisi ini membuat anak-anak muda di desa enggan bertani, karena merasa tak punya masa depan.

“Di Indonesia, kualitasnya cukup rendah, karena ada beberapa kekurangan, baik itu ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi,” kata Ade Irawan, Ketua Umum Serikat Mahasiswa Indonesia.

“Tenaga kerja di sektor pertanian juga itu, menurut BPS banyak tamatan sekolah dasar, hingga kualitas sumber daya manusia, turut mempengaruhi perkembangan dan kemajuan sektor pertanian di Indonesia.”

 

Baca juga: Petani Muda Keren Gobleg Kini Bertani Lewat Ponsel

Petani eks transmigran Timtim membersihkan gulma di dalam kebunnya pada Desember 2020. Hingga hampir 20 tahun mengelola lahan mereka belum mendapatkan SHM atas tanahnya. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

***

Di tengah kesulitan menggaet anak muda bertani, ada cara cukup menarik dilakukan Serikat Petani Pasundan (SPP). Serikat petani ini memberikan ruang luas bagi anak muda hingga anak-anak dari orangtua yang tergabung dalam SPP, ikut bergabung.

“Jadi, estafet kepemimpinan di SPP itu langsung dilanjutkan anak-anak dari petani itu sendiri,” kata Sri Ayu, dari SPP, juga kader Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS).

Di SPP, ada sekolah untuk anak-anak petani yang selama ini berjuang di SPP. Lewat sekolah itu, anak-anak mereka dididik dan mendapatkan pengetahuan.

Menurut Sri Ayu, yang perlu mereka tanamkan bagaimana ideologi perjuangan terus dipahami generasi muda.

Di SPP, anak muda yang ingin melanjutkan estafet, mendapatkan dukungan luar biasa dari orang tua mereka. “Yang berhasil itu harus dipromosikan, bukan dianggap saingan dari petani-petani tua. Yang lemah harus dilindungi.”

Dia bilang, para prinsipnya mereka berjuang bersama, tak membedakan antara tua dan muda. “Yang tua tidak merasa disaingi oleh muda. Yang muda tidak merasa diragukan yang tua.”

 

 

 

*******

Foto utama: Sofyan Adi Cahyono, petani muda Desa Sidomukti, pendiri PO sayuran organik Merbabu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version