- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi memutus kalau mereka tak berwenang tangani kasus karhutla dua perusahaan yang digugat Walhi Jambi. Walhi menilai ada kejanggalan.
- Abdullah, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi, mengatakan, Walhi akan melanjutkan upaya hukum atas putusan ini. Putusan sela Pengadilan Negeri Jambi menciderai hak masyarakat Jambi memperoleh hak atas lingkungan hidup. Walhi tengah mempersiapkan upaya banding.
- Kasus karhutla lain, pada 20 September 2021, Pengadilan Negeri Sengeti menghukum PT. Mega Anugerah Sawit (MAS) dengan denda Rp3 miliar atas kasus kebakaran hutan dan lahan 2019. Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan Rp542,7 miliar untuk biaya pemulihan lahan gambut seluas 1.425 hektar yang rusak karena kebakaran. Perusahaan kasasi.
- Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau, menilai, pemerintah belum berani tegas menghukum perusahaan besar yang terlibat kasus karhutla. Ada ketimpangan penegakan hukum pada perusahaan besar dengan perusahaan kecil maupun petani.
Ramos Hutabarat, Ketua Kuasa Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, duduk di balik meja jaksa penuntut. Dia tengah menunggu putusan maha penting di Ruang Cakra II, Pengadilan Negeri Jambi. Hasilnya?
Pagi itu, 28 Oktober, majelis hakim membacakan putusan sela atas gugatan Walhi Jambi terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan konsesi PT. Pesona Belantara Persada (PBP) dan Putraduta Indah Wood (PIW).
Dua perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam (IUPHHK-HA) itu digugat Rp190 miliar atas kerugian dan biaya pemulihan lahan. Walhi menuding dua perusahaan itu bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) atas kerusakan lingkungan akibat kebakaran lahan gambut di areal izinnya pada 2015 dan 2019. Serta berkontribusi atas kerugian dampak kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap.
Dalam catatan Walhi Jambi, luas kebakaran PBP pada 2015 mencapai 6.122,56 hektar. Dalam 2016 seluas 1.673,48 hektar, 2018 terbakar 606,22 hektar. Kondisi paling buruk terjadi pada 2019 kebakaran 20.693,46 hektar di kawasan gambut dalam atau setara 97% luas konsesi PBP seluas 21.315 hektare, sesuai dengan SK Menhut No. SK.674/Menhut-II/2010.
Luas kebakaran PIW pada 2015 sebanyak 4.392,17 hektar, 2016 terulang 1.872,65 hektar. Kemudian 2019, kebakaran mencapai 20.850.29 hektar, hampir dua per tiga luas konsesi 34.000 hektar.
Walhi menyebut kedua perusahaan itu tidak pernah pemulihan meskipun telah diberi peringatan dan sanksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Gubernur Jambi.
Lewat pengeras suara, Hakim Ketua, Syafrizal mulai membacakan putusan sela setebal 57 halaman. “Mengadili: mengabulkan eksepsi Tergugat I dan Tegugat II. Menyatakan Pengadilan Negeri Jambi tidak berwenang mengadili perkara ini.”
Dalam putusan itu disebutkan, KLHK mencabut sanksi administrasi PBP dan PIW karena dianggap melakukan upaya pemulihan lingkungan, sesuai Surat Keputusan No. S.1275 tertanggal 3 Agustus 2021 dan Surat Keputusan Nomor S.1137 tertanggal 30 Juni 2021. Hakim menilai, perkara gugatan menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Aneh
Putusan hakim membuat Ramos terkejut. Dia menganggap putusan sela tidak berdasar. “Ini keliru, hakim justru menilai surat-surat, seharusnya peraturan-peraturan. Dalam gugatan Walhi itu mempermasalahkan pertanggungjawaban mutlak terhadap pemulihan, tidak pernah satu pun dalam gugutan itu kami mempermasalahkan keputusan tata usaha negara,” katanya.
Berdasar hukum Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 jo. UU No. 11/2021 mengenai tanggung jawab mutlak, merupakan perkara perdata di bawah kewenangan pengadilan negeri. Pasal 78 UU No. 32/2009 juga mengatur soal sanksi administratif.
Ketentuan itu, katanya, dipertegas dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36/2013 mengenai Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Aturan itu menyebutkan, proses pembuktian pertanggungjawaban perdata untuk perkara lingkungan berdasarkan perbuatan melawan hukum atau pembuktian penerapan strict liability.
“Putusan sela ini membuat kami bingung.”
Ramos menganggap putusan sela yang Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi jelas-jelas melanggar ketentuan hukum acara.
Walhi menuding ada kejanggalan dalam proses pencabutan sanksi administratif PBP dan PIW. Pencabutan sanksi oleh KLHK saat sidang gugatan tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Jambi.
Ramos menguraikan dugaan kejanggalan ini, mulai dari KLHK yang baru menjatuhkan sanksi administratif pada BPB dan PIW setelah Walhi Jambi mengajukan gugatan ke pengadilan.
“Kita ajukan gugatan itu 25 Maret 2021, sanksi administratif dalam bentuk Surat Teguran II dari KLHK baru diberikan 13 April 2021.”
Selang dua bulan, KLHK mencabut sanksi administrasi PIW dengan keluarkan surat keputusan. Sebulan kemudian, KLHK mencabut sanksi administrasi PBP juga. KLHK menilai, kedua perusahaan telah melakukan pemulihan lingkungan.
Dalam dokumen putusan pengadilan, PBP dan PIW baru mengajukan dokumen pemulikan ekosistem gambut pada 26 Juli 2021 dan teregister di KLHK 2 Agustus 2021. Seminggu setelah itu, tepatnya 10 Agustus 2021, rapat via zoom membahas rencana pemulihan ekosistem gambut dan revisi RKUPH an-UIPHHK-HA PBP dan PIW.
Tiga hari kemudian, tepatnya 13 Agustus 2021, KLHK menerbitkan Surat Keputusan No SK.5302 tentang Persetujuan Perubahan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan periode 2013-2021 guna perbaikan tata kelola gambut PBP. Pada tanggal sama, KLHK juga menerbitkan SK No. 5031 untuk PIW.
Dua perusahaan itu kembali diberi kesempatan beroperasi sesuai izin dengan tetap melaksanakan rencana pemulihan ekosistem gambut dan melaporkan pada Ditjen Peengendalian dan Pencemaran Lingkungan.
“Dokumen rencana pemulihan itu seharusnya melalui proses monitoring dulu…tidak bisa sekejab mata dalam hitungan bulan. Karena harus ada pemeriksaan faktual yang harus dilakukan,” kata Ramos.
Lanjut upaya hukum
Abdullah, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi, mengatakan, Walhi akan melanjutkan upaya hukum atas putusan ini.
Putusan sela Pengadilan Negeri Jambi menciderai hak masyarakat Jambi memperoleh hak atas lingkungan hidup. Walhi tengah mempersiapkan upaya banding.
Rosmeri, Kuasa Hukum PBP dan PIW siap menghadapi upaya banding Walhi. “Kita siap saja, ini sudah biasa dalam sidang,” katanya, saat Mongabay konfirmasi.
Dia klaim perusahaan sangat komit terhadap keberlangsungan lingkungan hidup, termasuk mencegah kebakaran dan pemulihan lahan bekas kebakaran. Hal itu dibuktikan dengan pembuatan sekat kanal, dan menara pantau.
“Kita sudah pemulihan. Sudah ada tanaman tumbuh—pakis. Kalau ada tanaman tumbuh berarti gambutnya kan basah.”
Saham TNI?
Berdasarkan data Ditjen Ahu Online yang Mongabay lihat, ada perubahan dalam akta anggaran dasar PIW per 23 Juni 2021. Dalam dokumen ini tercatat Yayasan Kartika Eka Paksi yang beralamat di Jalan Medan Merdeka Timur, No.7 ditengarai milik TNI menguasai 500 lembar sahan PT PIW senilai Rp500 juta.
Akhmad Bestari, Kepala Dinas Kehutanan Jambi, mengamini keterlibatan TNI dalam PIW. “Kita mendukung pihak manapun yang serius mau menangani (karhutla) di PIW,” katanya saat ditemui Mongabay di kantornya, 10 November 2021.
Bestari menyebut, selama ini konsesi PBP dan PIW menjadi salah satu sumber kebakaran besar 2015 dan 2019. Dia bahkan beberapa kali mengirim surat ke KLHK agar izin PIW dan PBP.
Bukan hanya jadi biang kebakaran, aktivitas pembalakan liar juga marak dalam 10 tahun terakhir. Hampir setiap tahun, tim gabungan Dinas Kehutanan melakukan operasi dan selalu menemukan aktivitas ilegal.
“Saya percaya illegal logging akan berkurang, apalagi ini TNI.”
Bestari menaruh harapan dengan masuknya Yayasan Kartika Eka Paksi dalam manajemen PIW akan berdampak positif terhadap lingkungan. Dia bilang, dua bulan lalu menerbitkan rencana kerja tahunan sesuai kajian lingkungan dari KLHK. Dalam kajian itu, PIW akan melakukan penanaman komoditi industri dan kehutanan, serta mempertahankan kawasan hutan yang diperkirakan masih 20%.
“Juga harus mempertahankan tata kelola air agar tetap basah, tidak boleh buat kanal lagi.”
Mongabay mendatangi Markas Korem 042/Garuda Putih untuk mendapat penjelasan mengenai apa saja rencana setelah yayasan milik TNI masuk dalam bagian PIW. Dari bagian penerangan Korem mengatakan Komandan Korem 042/Garuda Putih, Brigjen TNI M. Zulkifli, tengah dinas luar kota.
Mongabay juga meninggalkan pesan pertanyaan, tetapi hingga berita ini terbit belum mendapat jawaban.
Vonis
Sementara itu, untuk kasus karhutla lain di Jambi, pada 20 September 2021, Pengadilan Negeri Sengeti menghukum PT. Mega Anugerah Sawit (MAS) dengan denda Rp3 miliar atas kasus kebakaran hutan dan lahan 2019. Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan Rp542,7 miliar untuk biaya pemulihan lahan gambut seluas 1.425 hektar yang rusak karena kebakaran.
Dwi Nanto, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi mengatakan, vonis MAS masih ringan. Dwi merujuk teori penghitungan kerugian kebakaran lahan gambut Basuki Wasis pakar lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), bahwa, kebakaran gambut menyebabkan kerugian Rp1,2 miliar per hektar. Ini karena kehilangan kandungan nitrogen, kalsium, fosfor, kalium, magnesium dalam gambut.
“Kalau dihitung kerugian kerusakan gambut, harusnya lebih dari itu,” katanya.
Sarkim, Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Arang Arang terkaget-kaget mendengar kabar MAS didenda setengah triliun lebih. “Rp 500 miliar?” kata Sarkim.
“Sudahlah menyerahlah, kalau banding nanti malah tambah berat.”
Sarkim ingat betul bagaimana dia ikut pontang-panting memadamkan api saat konsesi MAS terbakar pada 28 Juli 2019. Minggu siang itu dia sedang istrirahat. Tiba-tiba dapat kabar dari anggota penjaga api bahwa kebun nanas warga Desa Arang-Arang di sebelah PT. Sumbertama Nusa Pertiwi (SNP) terbakar.
Sarkim segera ambil kunci motor bergegas menuju ujung kanal kebun sawit SNP. “Kami ke camp (SNP) informasikan takut api nyebrang, itu apinya sudah 300 meter, ndak sampai satu jam.”
Cuaca panas dan tiupan angin bikin api seperti kesetanan dan sulit terkendali. Lebih 200 orang berjibaku memadamkan api, tetapi mereka kewalahan. Belum sehari semalam, kebun warga sepanjang dua kilometer habis terbakar. Api juga membakar lahan kosong MAS dan sebagian perkebunan sawit SNP.
Berhari-hari api di konsesi MAS tak kunjung padam. Api terus merayap di dalam gambut ebih dua meter hingga sulit padam. “Di atas nampaknyo mati, tapi api di bawah itu masih hidup,” kata Sarkim.
Catatan akhir tahun 2019 KKI warsi menyebut, luas kebakaran MAS 2.700 hektar lebih.
Kebakaran gambut menyebabkan Desa Sipin Teluk Duren dan Desa Arang Arang diselimuti asap tebal hingga beberapa pekan. Banyak warga terserang ISPA, terutama anak-anak dan lansia. Lutpiyah, warga Desa Arang-Arang dua minggu sakit batuk dan demam. “Kalau malam sesak napas, batuk, susah tidur,” katanya.
Bukan hanya Lutpiyah, Wak Den suaminya juga sama. “Kalau malam itu teraso nian (sekali) sesak, ngisep asap itu. Beda udaranya yang dak katik (tidak ada) asap, sama katik (ada) asap. Yang jelas batuk.”
Sarkim juga ikut terkapar setelah seminggu berjibaku memadamkan api di tengah kepungan asap. “Sayo keno (sakit) jugo, napas itu sesak, batuk ndak berhenti-berhenti.”
Saat bencana asap menyergap, Mongabay sempat mengunjungi Sekolah Dasar Negeri 47 Desa Sipin Teluk Duren. Banyak siswa bilang sesak napas dan batuk, terutama malam hari. Data yang dirilis Walhi Jambi menyebutkan, kebakaran 2019 menyebabkan 63.554 orang menderita ISPA. Sebanyak 1.073 sekolah di Jambi libur saat kabut asap memburuk.
MAS tidak mau menyerah begitu saja dengan putusan hakim. Dalam kanal sistem informasi penelusuran perkara PN Sengeti, diketahui MAS mengajukan banding. Mongabay belum berhasil mengkonfirmasi perusahaan mengenai upaya banding ini.
Dwi Nanto menyakini MAS akan kalah, karena baru mengantongi izin lokasi dan belum memiliki IUP. Meski demian, MAS tetap ada peluang menang kalau melihat penegakan hukum pada perusahaan yang terjerat kasus karhutla sebelumnya.
“Kalau kita berkaca pada kasus sebelumnya seperti PT. Kaswari Unggul (Kaswari) yang menang di tingkat kasasi, MAS ada kemungkinan menang. Kasusnya hampir sama, lokasi yang terbakar belum ditanami jadi dia (Kaswari Unggul) tetap lepas. Padahal dalam logika sehat kita, harusnya kalah.”
Hasil penelusuran Mongabay, Kaswari diketahui bebas dari jerat hukum setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi penuntut umum Kejaksaan Negeri Tanjung Jabung Timur. Dalam putusan 19 November 2020 itu, MA memutuskan Kaswari tidak terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti dakwaan JPU.
Sementara kasus kebakaran hutan yang ditangani Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kaswari dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dengan tanggung jawab mutlak (strict liability) atas kerusakan lingkungan hidup karena kebakaran lahan gambut 129,18 hektar di Tanjung Jabung Timur, Jambi pada 2015.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menghukum Kaswari membayar ganti rugi materiil dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp25,6 miliar. Putusan ini sesuai nilai gugatan KLHK di PN Jakarta Selatan. Kaswari kasasi pada Oktober 2020 dan belum ada putusan hingga sekarang.
Menurut Dwi, lepasnya perusahaan yang terlibat karhutla dari jerat hukum menjadi citra buruk penegakan hukum di Indonesia. Dia mendorong KLHK berkolaborasi dengan sipil yang punya sumber daya untuk melakukan gugatan pada ‘penjahat lingkungan’.
“KLHK punya kuasa iya. Tapi KLHK juga punya tekanan politik hingga tidak bisa bergerak bebas, beda dengan masyarakat sipil.”
Banyak tersisa
Pada 2019, Polda Jambi memeriksa 12 perusahaan terkait kebakaran hutan dan lahan, yakni: PT. Restorasi Ekosistem, PT. Bara Eka Prima, PT. Sumbertama Nusa Pertiwi, PT. Agro Tumbuh Gemilang Abadi, dan PT. Putra Duta Indahwood. Lalu, PT. Pesona Belantara, PT. ABT, PT. Puri Hijau Lestari. PT. Secona, PT. Mega Anugrah Sawit dan PT. Dewa Sawit Sari Persada. (DSSP) Dari semua itu, hanya MAS dan DSSP yang jadi tersangka karhutla.
Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau, menilai, pemerintah belum berani tegas menghukum perusahaan besar yang terlibat kasus karhutla.
“Putusan PN Sengeti itu untuk efek jera, iya, tetapi MAS ini perusahaan kecil yang jaringannya masih lokal. Sementara perusahaan besar seperti BEP itu tidak tuntas diselesaikan. Eksekusi putusan RKK juga lamban.”
Feri bilang, ada ketimpangan penegakan hukum pada perusahaan besar dengan perusahaan kecil maupun petani. “Kalau masyarakat atau petani kecil cepat eksekusi. Jauh berbeda dengan perusahaan besar yang prosesnya begitu lambat bahkan eksekusi putusan sidang juga bertele-tele.”
Sejak putusan kasasi 8 Oktober 2018 atas kasus kebakaran 2015, eksekusi RKK berjalan sangat lambat. Sampai saat ini belum ada aset anak perusahaan Makin Group itu yang disita pengadilan.
Pengadilan Tinggi Jambi menghukum RKK membayar kerugian materil dan biaya pemulihan ekologis senilai Rp191, 804 miliar karena 591 hektar konsesi terbakar pada 2015. Dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung juga menolak permohonan RKK.
Jasmin Ragil Utomo, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerin Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beralasan, proses eksekusi RKK lamban karena pandemi COVID-19 dan pemberlakukan PPKM. Selain itu, proses eksekusi juga harus melalui beberapa tahapan hingga memakan waktu panjang.
KLHK telah mengajukan beberapa aset RKK untuk eksekusi seperti rekening dan sertifikat HGU untuk tiga lahan konsesi. Ragil tak disebut rinci berapa luas obyek HGU yang akan disita.
Dia hanya menjelaskan, rekening dan lahan HGU yang akan disita disesuaikan dengan nilai denda pengadilan.
Proses eksekusi oleh Pengadilan Negeri Jambi dengan melibatkan PN Jakarta Pusat dan PN Sengeti. Ragil bilang sudah bicara dengan panitera PN Sengeti mengenai penyitaan aset RKK, awal Agustus lalu.
Hingga kini, eksekusi belum ada kemajuan. Harzian, juru bicara PN Sengeti, mengatakan, pengadilan sedang menunggu dari KLHK untuk menyiapkan dokumen pendukung untuk dibawa ke BPN.
“Pada pokoknya PN Sengeti siap melaksanakan eksekusi apabila pemohon (KLHK) melengkapi dokumen persyaratan dari BPN,” katanya 30 September lalu.
******