Mongabay.co.id

Horja Bius, Band Etnik Penyuara Hak Masyarakat Adat

Bambu, salah satu alat musik Horja Bius. Foto: dokumen Horja Bius Band

 

 

 

 

Horja Bius. Begitu nama band etnik yang bikin video klip kampanye penolakan kekerasan dan ekspansi perkebunan kayu PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Dalam judul lagu “Story of Haminjon”, video klip dokumenter itu menceritakan sejarah pohon kemenyan dan perjuangan masyarakat Desa Pandumaan Sipituhuta di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Alkisah, legenda seorang putri yang diasingkan ke hutan yang menjelma jadi pohon kemenyan (haminjon) yang mengeluarkan air mata (getah).

Lirik lagu “Story of Haminjon” ini dipakai dari kesaksian masyarakat adat, perjuangan melawan TPL, turun aksi hingga ke gedung-gedung pemerintahan saat protes.

Horja Bius, ini band indi asal Jakarta, berdiri pada 2013. Mereka biasa megangkat isu-isu sosial dalam lagu-lagunya. Nama Horja Bius berasal dari bahasa Batak, diambil dari nama upacara adat tradisional Suku Batak di Samosir.

Horja bius adalah sebuah musyawarah untuk menyelesaikan masalah yang akan disepekati bersama-sama, di kampung itu.

 

Baca juga: Akhirnya Masyarakat Pandumaan Sipituhuta Dapatkan Hutan Adat Mereka

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Band ini didirikan atas suara adat dan filsafat dari tanah Batak yang menerapkan puisi-puisi sebagai sumber inspirasi lagu mereka, yang kini terancam punah. Seperti pada lagu Tonggo. Kata Tonggo menunjukkan pada mantra, doa, nasehat dan filosofi kehidupan yang terkandung dalam agama lama asli masyarakat Batak di Sumatera.

Horja Bius memiliki akar sangat mendalam di dalam budaya Batak. Bius mengacu pada manifestasi tertinggi dari hukum adat di antara orang Batak, yang terbagi jadi banyak marga, masing-masing dengan wilayah leluhur mereka.

Kepemimpinan tertinggi atas hukum ini disediakan oleh Raja Marga Sipungka Huta, yang disebut sebagai Raja Bius. Raja Bius merujuk secara kolektif kepada pemegang kekuasaan yang memerintah atas tanah leluhur dan menetapkan hukum untuk semua klan yang tingga di sana.

Bius sangat dihormati karena kekuatan untuk menyatukan klan dan untuk memastikan keharmonisa di antara mereka.

Mogan Pasaribu, sang vokalis mengatakan, pesan penting dalam video klip itu adalah hutan tergerus akan mengikuti menghilangnya kebudayaan. Dia bilang, alam dan tradisi di dalam kebiasaan Batak jadi inspirasi mereka bermusik. Dalam kesadaran itu mereka terusik untuk berkarya tentang tradisi Batak dan cerita-cerita rakyat.

“Tidak boleh kita melihat haminjon (kemenyan) sebagai komoditi saja. Ada sejarah dan banyak cerita-cerita purba yang tidak boleh diperlakukan dan hilang begitu saja”, katanya saat wawancara melalui telepon.

Kasus lahan antara masyarakat adat di sekitar Danau Toba dengan perusahaan raksasa kayu, TPL, sudah berlangsung bertahun-tahun. Perjuangan warga lokasi rapak, level daerah hingga pusat. Bahkan, sebagian warga harus berhadapan dengan jerat hukum sampai alami penderitaan fisik demi mempertahankan wilayah adat mereka. Hasil perjuangan itu, baru sebagian kecil hutan adat–yang awalnya pemerintah berikan izin kepada perusahaa– sudah dikembalikan, sebagian besar masih dalam ketidakpastian.

Selain Story of Haminjon, Horja Bius juga bikin lagu berjudul “Among”, sebuah panggilan ayah kepada pemangku jabatan. Lagu ini berisi kritikan kepada pemerintah yang tidak mengerti persoalan mendasar masyarakat adat.

“Pejabat mesti ikut merasakan apa terjadi dengan masyarakatnya.”

 

Baca juga: Mempertahankan Lahan dari PT TPL, Warga Adat Natumingka Luka-luka

Horja Biu. Foto: dokumen Horja Bius

 

Selama pandemi COVID-19, Horja Bius mengalami kesulitan dalam bikin video klip. Awal Oktober 2020, mereka membuat video klip di Bakkara, bertemakan asal usul Raja Batak.

Adapun personel Horja Bius selain Mogan Pasaribu sebagai vokalis, ada Martahan sitohang (sulim/suling), Deo Lumbangaol (tagading/gendang), dan Didit Alamsyah (sarune atau alat music tiup khas Batak). Kemudian, Bibiw Kirana (hasapi/kecapi), Ardi Pakpak (kucapi/ kecapi/ gitar), serta Lukas HD sebagai pemain vass dan gong bambu.

Semua alat musik yang mereka pakai buatan sendiri dan berasal dari alam. Mereka juga berusaha terus memakai alat tradisional. “Suara sangat berbeda, seperti gong dari bambu, ada khas suara low bass”, kata Mogan.

Bicara soal hak-hak masuarakat adat, Mogan menilai, belum ada political will para penguasa. Mereka terkesan tak serius dalam melindungi hak-hak masyarakat adat.

“Kami yang di Jakarta ini juga melihat dari kacamata politik soal keadilan bagi masyarakat adat. Kayak di TPL saja, pemerintah belum berpihak pada mereka, padahal ini konflik sudah berlangsung lama.”

Band ini pun mendukung perjuangan masyarakat adat miliki UU Masyarakat Adat guna memberikan payung hukum bagi pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.

Berbagai kalangan yang konsern isu masyarakat adat khawatir kalau UU Masyarakat Adat lagi-lagi molor alias tak disahkan mengingat berulang kali masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tetapi selalu gagal sejak periode Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendorong rancangan UU ini.

 

Baca juga: Konflik Lahan dan Kerusakan Lingkungan Terus Terjadi dalam Operasi PT TPL

******

Foto uyama: Bambu, salah satu alat musik Horja Bius. Foto: dokumen Horja Bius Band

Exit mobile version