Mongabay.co.id

Menanti Putusan Hakim Lindungi Wilayah Adat Marafenfen

Pagelaran seni dan budaya ini merupakan rangkaian menjelang putusan sidang sengketa Tanah Masyarakat Adat Marafenfen melawan TNI-AL dan Pemerintah Maluku. Foto: C Belseran/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Masyarakat Adat Marafenfen, di Kepulauan Aru, Maluku, gigih  berjuang mempertahankan wilayah adat mereka. Sejak 1991, TNI Angkatan Laut, menguasai wilayah adat mereka seluas 689 hektar dan membangun beberapa fasilitas pangkalan militer seperti bandara, gedung dan rumah. Kondisi ini yang mendorong warga adat mengajukan gugatan kepada Pemerintah Maluku, TNI-AL dan BPN ke Pengadilan Negeri Dobo. Rabu (17/11/21) ini agenda hakim akan ketuk palu perkara ini.

Mama Rosina Gaelagoy, perempuan adat Marafenfen menceritakan, awal TNI-AL datang ke Marafenfen sekitar Februari 1991. Saat itu, ada helikopter mendarat, sejumlah TNI-AL berseragam memasang patok tanpa meminta persetujuan siapa pun.

“Pada saat itu mereka hanya bertanya dimana Desa Marafenfen dan siapa nama kepala desanya? Setelah itu, mereka berangkat kembali ke Jakarta,” katanya.

Sekitar Mei tahun sama, kembali helikopter mendarat. Mereka juga memasang patok sebanyak mungkin di lokasi yang akan dipakai sebagai pangkalan angkatan laut.

Pada bulan sama beberapa personil TNI AL juga datang bersama tim dari Kantor Pertanahan Maluku dan pegawai Kecamatan Kepulauan Aru. “Mereka datang ke lokasi langsung mengukur lokasi 600 patok. Setelah itu mereka langsung datang ke Desa Marafenfen lalu hanya melaporkan kepada kepala desa tanpa meminta persetujuan dari yang punya hak atas tanah itu termasuk kepala desa.”

Di wilayah Marafenfen juga ada binatang endemik seperti burung cendrawasih, kakatua dan lain-lain, termasuk rusa dan babi.

Sebelum TNI-AL masuk, masyarakat bebas bercocok tanam di tanah ini. Mengambil hasil, bahkan berburu rusa sepuas-puasnya.

Dulu, hanya dengan peralatan tradisional, masyarakat bisa mudah berburu rusa. Setelah TNI-AL masuk, keadaan berbalik.

“Mereka janjikan bisa membawa kehidupan lebih baik, lebih sejahtera bagi masyarakat, sekarang. Kenyataan, tak seperti itu. Rusa yang dulu jadi hama, sekarang punah. Kalau masyarakat mencari, satu hari dapat satu, sudah syukur. Malah pernah tak dapat. Burung-burung yang jadi kebanggaan juga habis.”

Waktu itu, mereka bentuk tim untuk memperjuangkan hak dan berangkat ke Jakarta sekitar 1992. Mereka hampir setahun di Jakarta dengan harapan bertemu petinggi TNI-AL termasuk panglima ABRI.

“Ternyata mereka tidak diterima siapa pun termasuk Pangab juga tidak bersedia menerima. Mereka kembali dengan kecewa karena dinyatakan gagal menjumpai para petinggi negara ini.”

Usaha mereka tidak selesai begitu saja. Tim kedua berangkat kembali ke Jakarta pada Desember 1994, dengan tujuan sama. Mereka menginginkan masalah ini selesai baik-baik. Tim kedua pun mengalami nasib sama, hanya berhasil menemui Komnas HAM.

“Sekjen Komnas HAM waktu itu menyurati TNI-Al dengan harapan kasus ini bsia diselesaikan secara baik hingga masyarakat tak merasa dirugikan. Menurut Sekjen Komnas HAM waktu itu, bila ini tidak diselesaikan, akan menjadi bom waktu bahkan ke depan akan menelan energi lebih banyak lagi. Memang sekarang ternyata sekarang seperti itu,” katanya.

Pada 2016, mereka menyurati Komnas HAM ditindaklanjuti surat dari Komnas HAM kepada TNI-AL.

“Komnas HAM Maluku menyurati TNI-AL di Ambon dan mereka membalas surat Komnas HAM itu dengan melampirkan jumlah data yang menggambarkan seolah-olah tanah ini sudah diperoleh dengan prosedur yang benar dan jelas.”

Dalam surat itu, TNI-AL ada melampirkan surat pernyataan pelepasan dari kepala desa bersama ketua adat dari Desa Marafenfen. Terlihatlah kejanggalan di sana.

 

Baca juga: Masyarakat Adat Mafafenfen Terusik Kehadiran TNI-AL

 

Bukti kuat

Samuel Waileruny, Kuasa hukum Masyarakat Adat Marafenfen mengatakan, hakim seharusnya mengabulkan tuntutan masyarakat adat. Sebab bukti-bukti di persidangan sangat kuat.

“Sebelumnya kami merasa belum ada dasar kuat untuk masuk mengajukan gugatan. Karena apa? TNI AL sudah memiliki nama-nama itu. Seakan-akan ada masyarakat yang sudah melakukan musyawarah untuk melepaskan tanah adat kepada TNI AL. Lalu, mereka pun sudah memiliki Keputusan Gubernur tentang pelepasan hak masyarakat dan diserahkan kepada TNI AL seluas 654 hektar,” katanya dalam diskusi daring Selasa (16/11/21).

Mereka sudah memiliki sertifikat hak pakai dari pertanahan dengan luas tanah 689 hektar. Dalam posisi itu, mereka merasa kesulitan. “Karena apa? Yang dimiliki masyarakat hanya urat-surat biasa. Setelah TNI-Al mengurati Komnas HAM kemudian Komnas HAM menyurati masyarakat dengan melampirkan 100 nama seakan-akan mengikuti musyawarah untuk melepaskan tanah kepada TNI AL, kami melakukan pengecekan dan penelitian,” kata Samuel.

Dari daftar 100 nama di absensi kehadiran yang diklaim sebagai musyawarah itu terdapat banyak kejanggalan. Banyak nama fiktif. Ada juga nama yang dituliskan di daftar kehadiran itu, tetapi tahun 1991 masih anak-anak. Ada pula nama yang sebenarnya sudah lama meninggalkan Desa Marafenfen. Termasuk, nama-nama ketika hari yang diklaim terjadi musyawarah itu, sedang tidak berada di Desa Marafenfen.

Dalam perjalanan, marga-marga juga dihadirkan sebagai saksi untuk memperkuat gugatan. Marga yang mendiami tanah ulayat terbukti mempunyai legitimasi untuk melakukan gugatan dan sudah terbukti di pengadilan melalui keterangan para saksi secara rinci.

Dalam gugatan warga juga dijelaskan fakta bekas kampung lama juga terdapat wilayah perburuan, pertanian dan perkebunan.

“Itu kami sudah buktikan di pengadilan. Dibuktikan dengan saksi-saksi. Semua bilang, memang di situ negeri lama.”

Tanah adat, katanya, merupakan tempat bercocok tanam dan pengambilan tumbuhan liar, pusat pengambilan sarang burung walet dan binatang liar. Wilayah ini merupakan habitat satwa dilindungi.

Senada dikatakan Mufti Bahri dari Forest Watch Indonesia (FWI). Dia bilang, tidak ada lagi alasan bagi hakim menolak gugatan Masyarakat Adat Marafenfen. Bukti-bukti dari masyarakat di persidangan, katanya, sudah sangat kuat.

Dia bilang, yang dialami Masyarakat Adat Marafenfen ini merupakan imbas tidak pernah terselesaikannya permasalahan hingga ke akar. Ketika satu masalah selesai, muncul dan diikuti masalah-masalah lain.

“Semua bermula dari tata guna hutan kesepakatan 1982 Departemen Kehutanan, dimana mereka menunjuk hutan di Aru sebagai bagian dari kawasan hutan.”

Celakanya, wilayah itu dianggap wilayah hutan kosong. Faktanya, ada dari 187 komunitas adat turun temurun mendiami wilayah Aru.

Dari sekitar 700.000 luas Kepualuan Aru, sekitar 70% berstatus hutan produksi konversi. Dengan status itu, kawasan hutan di sana dianggap tak produktif. Padahal, wilayah hutan di sana termasuk padang savana yang jad lokasi konflik merupakan wilayah masyarakat. Di sana, mereka berburu, ritual adat, dan lain-lain.

Mufti mengatakan, negara harus hadir memberikan keadilan bagi masyarakat dengan menghargai hak-hak masyarakat adat di Kepulauan Aru, termasuk di Marafenfen.

Ilham Poetra Marjam dari Sajogyo Institute mengatakan, kehadiran TNI AL di Kepulauan Aru menjadi sangat kontradiktif. Seharusnya, TNI-AL menciptakan rasa damai dan melindungi masyarakat di sana. Bukan sebaliknya, jadi ancaman bagi masyarakat.

Dalam keputusan, katanya, hakim, seharusnya memperhatikann keberadaan Masyarakat Adat Marafenfen yang sudah ada jauh sebelum Indonesia ada. Masyarakat adat ini, katanya, yang mempunyai hak atas tanah itu.

“Yang punya tanah, sumber agraria disitu itu adalah rakyat. Kalau pun ada yang mau memakai tanah, harus atas seizin pemiliknya.”

TNI-AL, katanya, bisa saja pakai lahan itu tetapi harus meminta izin dan disetujui marga, bukan hanya ketua marga.

“Paling gampang hakim datang ke sana tanyakan mana orang anggota marga yang ikut musyawarah dan menyerahkan tanah. Saya jamin tak ada yang ikut. Itu cara mudah tak hanya dengan melihat absen yang oleh mereka. Perlu pembuktian langsung ke Marfenfen Kita tinggal menunggu keberanian bapak hakim memutuskan.”

TNI-AL mengklaim pembebasan lahan diawali pelepasan hak atas tanah oleh Ketua Persekutuan Masyarakat Adat Desa Marafenfen dengan surat pernyataan pelepasan 20 Agustus 1991.

“TNI AL sudah menindaklanjuti pelepasan hak sesuai rekomendasi panitia pembebasan tanah Dati II Kabupaten Maluku Tenggara dan keinginan Persekutuan Masyarakat adat desa Marafenfen,”kata Brigjen Marinir TNI Said Latuconsina, Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal) IX Ambon, dalam rilis kepada media, 16 September lalu.

Dalam rilis 14 September, dia bilang, permasalahan ini sedang proses penyelesaian hukum sidang gugatan perdata di PN Dobo. Kalau ada hal-hal yang dianggap merugikan masyarakat, katanya, bisa disalurkan sesuai ketentuan hukum berlaku.

 

 

Dukungan mengalir

Solidaritas untuk menyelamatkan tanah dan hutan adat Desa Marafenfen, Kepulauan Aru, Maluku, terus mengalir. Kali ini dukungan Save Marafenfen oleh puluhan seniman dan budayawan di Kepulauan Aru.

Mereka adakan malam pagelaran seni di Tribun Lapangan Cendrawasih, Kota Dobo, Kepulauan Aru, 13 November lalu.

Rumah Sastra Aru yang menampung para seniman ini ikut mengekspersikan dukungan bagi Masyarakat Adat Marafenfen yang sedang memperjuangkan tanah adat seluas 689 hektar dari penguasaan TNI AL.

Pagelaran seni dengan lagu dan puisi ini bergantian oleh para seniman Aru, antara lain, Risto, Angki Apalem, Rahmat Mangar, Jesen Adrian dan Lestari Miru, diiringi tiupan saxaphon dari Mika Ganobal dan biola Willy.

Puisi ini bentuk curahan hati dan kritikan atas penguasaan hutan oleh TNI AL, dan kehidupan hewan Kepulauan Aru seperti babi, rusa, cendrawasih dan kakatua hitam.

“Tanah adat itu bukan ose yang punya, bukan beta yang punya, tapi katong yang punya,”demikian sepenggal puisi yang dibacakan Angki Apelem berjudul “Ini Bukan Puisi”.

Dia mengajak semua anak muda dan masyarakat Aru, bersama- sama berjuang mempertahankan tanah adat yang telah leluhur secara turun temurun.

Tanah adat, katanya, adalah harga diri yang harus dipertahankan “Katong (kita) tidak akan mati karena penindasan dan penjajahan, karena katong akan tetap hidup untuk melakuian perlawanan.”

Puisi khusus juga dipersembahkan untuk dua pahlawan perempuan Aru, Mama Do dan Mama Since, yang dengan gagah berani berjuang mempertahankan tanah adat Marafenfen.

Kedua perempuan pemberani ini telah dipanggil pulang dalam kedamaian oleh sang pencipta, perjuangan mereka diteruskan Masyarakat Adat Aru.

Ada 117 negeri adat di Aru, juga diminta bersatu menjaga tanah dan hutan adat agar nyanyian merdu burung   cendrawasih dan kakatua raja hitam tetap terdengar.

 

Stiker Save Marafenfen

Belasan pemuda yang tergabung dalam Pemuda Aru dan Komunitas Rumah Sastra Aru, Minggu (14/11/21) sore memasang stiker dukungan #SaveAru di sejumlah kendaraan motor maupun mobil yang melewati kawasan Pasar Dobo.

Mereka menghentikan kendaraan dan memasang stiket di pintu mobil, maupun bagian depan motor, untuk mensosialisasikan kegiatan #Save Aru.

Johan Jambumona mengatakan, kegiatan ini untuk memberitahukan kepada publik, bahwa perjuangan #SaveMarafenfen, masih terus berjalan.

Dia berharap, lewat pengadilan yang sedang berlangsung, tanah adat dapat dikembalikan kepada masyarakat adat.

”Harapan saya, tanah adat dapat dikembalikan kepada masyarakat adat jangan diberikan kepada orang yang tak punya hak,”katanya.

Rumah Sastra Arafura (RSA) pun, menggelar acara sama lagi, pagelaran seni dan budaya bertemakan “Lawan Dengan Cinta”, di Tribun Lapangan Yos Sudarso, Senin (15/11/21).

Pagelaran seni dan budaya ini merupakan rangkaian menjelang putusan sidang sengketa Tanah Masyarakat Adat Marafenfen melawan TNI-AL dan Pemerintah Maluku.

 

******

Foto utama: Pagelaran seni dan budaya ini merupakan rangkaian menjelang putusan sidang sengketa Tanah Masyarakat Adat Marafenfen melawan TNI-AL dan Pemerintah Maluku. Foto: C Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version