Mongabay.co.id

Kasus Lahan Hakim Menangkan TNI-AL, Masyarakat Adat Marafenfen akan Banding

 

 

 

 

 

 

“Katong (kita) semua pasti kecewa gugatan ditolak hakim, tapi katong percaya pada Jir jir Duai (Tuhan) dan leluhur, bahwa katong pung tanah akan kembali par (untuk) katong. Katong terus akang berjuang sampai titik darah penghabisan.” Begitu ungkapan kesedihan Monika, perempuan Aru di depan Pengadilan Negeri Dobo, Kepulauan Aru, Maluku.

Dia histeris dan menangis ketika mendengar putusan hakim PN Dobo. Majelis Hakim, Bukti Firmansyah, Herdian E.Putravianto dan Enggar Wicaksono, menolak gugatan masyarakat adat atas lahan seluas 689 hektar di Marafenfen, Kecamatan Aru Selatan, Kepulauan Aru, Rabu (15/11/21).

Meski begitu, Monika tetap memberi semangat kepada ratusan masyarakat dari 10 klan di Kepulauan Aru. Dia bersama ratusan masyarakat Aru protes vonis putusan hakim PN Dobo dalam sidang sengketa tanah adat masyarakat Marafenfen melawan TNI AL, Gubernur Maluku dan BPN di Pengadilan Negeri Dobo. Sidang pun akhirnya ricuh. Masyarakat adat melampiaskan kekecewaan pasca putusan hakim.

Dalam persidangan, bukti-bukti yang diajukan masyarakat adat melalui kuasa hukum Semuel Waileruny dianggap lemah oleh majelis hakim. Atas penolakan ini, tanah adat ratusan hektar bakal jatuh ke tangan TNI-AL.

Awal sidang, ratusan warga adat yang sejak kemarin bermalam di Lapangan Yos Sudarso menunggu dengan tertib di luar halaman pengadilan. Mereka menyanyikan lagu adat diiringi pukulan tifa dan gong.

Hanya sebagian kecil warga masuk di ruangan sidang. Sebagian besar menyaksikan sidang lewat infocus di luar ruangan.

Semuel Waileruny, kuasa hukum Masyarakat Adat Marafenfen bilang, putusan hakim tidak mencerminkan keadilan.

Dia nilai, majelis hakim tak mempertimbangkan sejumlah bukti seperti surat pernyataan dan keterangan kalau tak ada pelibatan masyarakat dalam proses pembebasan lahan, namun nama mereka dicantumkan oleh TNI-AL.

“Padahal ini yang jadi landasan dari penerbitan sertifikat itu,” katanya.

 

***

Setelah hakim membacakan putusan, tangisan dan teriakan terdengar dari luar halaman sidang. Masyarakat adat , laki perempuan saling merangkul. Mereka menangis melampiaskan kekecewaann.

“Itu katong pung tanah adat, kanapa kamong (kalian) ambil, kamong bawa dari mana,”teriak seorang pemuda adat. Dia menangis dirangkul adik dan kakak perempuannya.

Sebagian aparat kepolisian berupaya menenangkan warga, dengan memeluk mereka. Suasana sedih begitu terasa.

Jelang beberapa menit, terlihat puluhan batu dilemparkan ke Kantor Pengadilan Dobo. Lemparan batu ini merusak sejumlah kaca jendela. Aparat kepolisian terpaksa evakuasi terhadap majelis hakim dan kuasa hukum TNI-AL dengan kendaraan keluar dari pengadilan.

Polres Dobo melepaskan water canon untuk membubarkan massa yang makin beringas merusak gedung Kantor PN Dobo. Polisi pakai tameng, berusaha melindungi diri dari lemparan massa.

Sugeng Kundarwanto, Kapolres Kepulauan Aru, sekitar pukul 15.20 WIT, terlihat ke lokasi kejadian berupaya menenangkan massa.

Masyarakat sempat bersitegang dengan kepolisian setelah aksi penyegelan di pertigaan Monumen Cendrawasih dibubarkan.

 

Baca juga: Masyarakat Adat Mafafenfen Terusik Kehadiran TNI-AL

Polisi yang berjaga di PN Dobo. Foto: Christ B/ Mongabay Indonesia

 

Sugeng terlihat memerintahkan aksi masyarakat adat bubar. Seketika bunyi tembakan dari senjata aparat kepolisian terdengar. Massa pun berhamburan. Sebagian memberanikan diri. Massa yang masih emosi, marah dengan aksi aparat kepolisian dan nyaris ricuh. Beruntung beberapa aparat keamanan mencoba meredakan suasana yang memanas itu.

Dampak rentetan tembakan kepolisian, seorang pemuda mengalami luka ringan terkena serpihan peluru.

Masyarakat pun melakukan sasi adat terhadap Kantor Pengadilan Dobo. Hingga Rabu pukul 23.00 WIB, ratusan massa tetap bertahan dan menduduki PN Dobo.

 

Sasi fasilitas umum

Aksi masyarakat adat berlanjut. Masyarakat Adat Marafenfen dibantu tetua adat Ursia dan Urlima Kabupaten Kepulauan Aru ritual adat ‘sasi’ atau penyegelan secara adat sejumlah fasilitas pemerintah seperti Bandara Udara Rar Gwamar, Pelabuhan Laut Dobo, Kantor Bupati, Kantor DPRD Dobo, dan PN Dobo.

Sebelum memasang sasi adat, tua-tua menggelar ritual dan memasang sasi yang terbuat dari daun kelapa dan kain putih.

Sasi mulai dari PN Dobo, Kepulauan Aru. Aksi ini sempat mendapat penolakan kepolisian tetapi warga tetap jalan. Ritual adat ini pun dilakukan oleh Tetua Adat Ursia dan Urlimasi.

Sasi adalah larangan dalam hukum adat. Tujuannya, agar manusia tidak melanggar larangan itu. Sasi bisa dicabut apabila para tetua adat setuju dan ada ritual adat untuk mencabutnya.

Sasi merupakan bentuk kearifan lokal yang terpelihara di Indonesia bagian timur, khusus di Kepulauan Maluku dan tanah Papua.

Pantauan Mongabay di lapangan, usai menyegel kantor PN Dobo dengan sasi adat, sebagian masyarakat bertolak menuju Bandar Udara Rar Gwamar Dobo. Di sana, massa juga sempat dihalau aparat kepolisian dan petugas bandara. Namun beberapa saat aksi sasi juga dilakukan para tetua adat.

Tak hanya disitu, masyasrakat dari 10 belang atau klan di Kepulauan Aru ini juga mendatangi kantorbBupati dan DPRD. Di sana tak banyak mendapat perlawanan hingga mereka dengan leluasa sasi adat.

Terakhir, massa juga bertolak di Pelabuhan Yos Sudarso, Dobo. Dipimpin tetua adat, memaksa masuk untuk menyegel obyek vital negara ini. Namun mereka sempat dihalau aparat kepolisian yang sudah membarikade depan pintu gerbang pelabuhan.

Sempat tawar menawar, aparat kepolisian akhirnya mengalah dan membiarkan para tetua ada melakukan penyegelan dalam bentuk ritual sasi di dalam pelabuhan, dan depan gerbang pelabuhan.

Beberapa kapal fery yang hendak sandar di pelabuhan akhirnya meninggalkan dermaga. Demikian juga dengan aktivitas bongkar muat seketika dihentikan. Mobil-mobil truk yang bongkar muat juga terlihat meninggalkan kawasan Pelabuhan Yos Sudarso, Dobo.

Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol. Roem Ohoirat saat dihubungi mengatakan, ada tiga fasilitas negara disegel secara adat oleh masyarakat adat, yaitu PN Dobo, kantor pemerintahan Kabupaten Aru dan Pelabuhan Yos Sudarso Dobo.

“Kita mencoba bernegosiasi dengan mereka, untuk membuka sasi adat itu, karena yang di sasi merupakan fasilitas pemerintah. Sasi itu sebenarnya adalah larangan-larangan terhadap fasilitas-fasilitas yang dimiliki pribadi. Itu milik negara, kenapa mereka harus sasi. Sementara kita berupaya negosiasi,”katanya.

Upaya komunikasi, katanya, secara persuasif . Masyarakat diimbau tak anarkis dan tak terprovokasi.

Brigjen TNI (Mar) Said Latuconsina, Danlantamal IX Ambon, mengatakan, selama ini hubungan TNI-AL dengan Masyarakat Marafenfen baik, tak ada masalah.

Menurut dia, yang mempermasalahkan Marafenfen ini dari luar bukan orang di situ.

“Tanah itu kan sudah bersertifkat. Itu tanah negara. Ada 689 hektar, makanya pada sidang itu pembuktian disitu. Kalau mereka bisa buktikan itu tanah mereka, itu tanah adat harusnya menang di sidang tapi faktanya kan tidak,” katanya dalam rilis.

Dia bilang, saat pembuktian di lapangan mereka tidak bisa menunjukkan batas-batas lahan. “Itu salah satu kelemahan mereka tidak mampu menunjukkan batas-batasnya, mana batas yang dibilang tanah adat itu, mereka tidak bisa menunjukkan. Proses itu sudah lama dan selama ini tidak ada masalah.”

Dia membantah kalau dibilang TNI-AL merampas tanah adat. Obyek lahan itu, katanya, tanah negara dari dulu dan sudah ada sertifikat negara. Bahkan, katanya, TNI-AL juga memberikan lahan seluas 200 hektar untuk masyarakat garap.

Dia ceritakan status lahan versi TNI-AL. Tanah itu, katanya, merupakan lahan negara yang dikuasai TNI-AL. Pada 1991, ada rencana bikin sertifikat hingga ada pembahasan dengan masyarakat desa.

“Kita menyediakan lahan 200 hektar untuk masyarakat, kemudian memperbaiki gereja, sekolah. Dari hasil pertemuan dengan masyarakat itu, untuk 100 keluarga [diberi] satu orang sekitar dua hektar,” katanya.

Latuconsina bilang, kalau mereka bilang itu fiktif seharusnya di pengadilan bisa menang.

“Ini kan dari 1992, pasti orangnya sudah meninggal dunia dan tidak ada lagi disitu, jadi itu mereka mengandai-andai dengan pemikiran mereka sendiri. Silakan kalau ngomong begitu, mereka harus bisa buktikan di pengadilan. Dong bisa saja kita mau bicara apa saja tapi kita harus bicara berdasarkan fakta hukum. Ini sudah masuk ranah hukum.”

TNI-AL, katanya, menyerahkan proses hukum pada pengadilan, tak ada intervensi. “Silakan saja kalau mereka mau banding, ini kan ranah hukum, kita ikuti saja, kita serahkan semua secara hukum.”

 

Baca juga: Menanti Putusan Hakim Lindungi Wilayah Adat Marafenfen

Masyarakat adat di Kepulauan Aru, di luar Pengadilan Negeri Dobp. Foto: Christ B/ Mongabay Indonesia

 

Upaya banding?

Mama Rosina Gaelagoy, perwakilan Masyarakat Adat Marafenfen kecewa dengan putusan hakim. Langkah hukum pun akan mereka tempuh demi pertahankan lahan mereka.

“Kami tetap semangat. Jujur sebagai anak negeri dari Marafenfen telah berjuang selama ini, ketika mendengarkan hasil putusan tadi memang sangat kecewa. Saya melihat ke depan bagaimana, nasib masyarakat adat di Desa Marfenfen setelah TNI-AL menang. Sebelum menang saja mereka sudah melakukan tindakan-tindakan kurang etis, kurang menghargai masyarakat adat,” katanya pada pertemuan daring Rabu malam.

Kalau tak mengajukan banding, katanya, Masyarakat Adat Marafenfen tak akan lagi bebas menikmati alam.

Rosina bilang, harus tetap mempertahankan tanah adat karena bagian jati diri Masyarakat Adat Marafenfen.

Dia menyerahkan langkah lanjutan kepada tim kuasa hukum.“Urusan ini belum selesai. Kami juga berharap generasi muda baik di Aru maupun luar tetap berjuang.”

Samuel Waileruny mengatakan, upaya banding akan dilakukan karena putusan tak adil. “Prinsipnya ini kebenaran, kita harus memperjuangkan secara sungguh-sungguh. Soal nanti hasil akhirnya bagaimana, tetap kita harus berjuang. Langkah hukum mesti kita ambil adalah melalui banding,” katanya.

Dalam putusan itu, katanya, majelis hakim, hanya mempertimbangkan keputusan gubernur dan sertifikat Kanwil Pertanahan. Majelis hakim, katanya, berusaha menghindar dari fakta-fakta yang membuktikan kalau keputusan gubernur atau pejabat itu harus berdasarkan pada fakta yuridis maupun faktual.

“Jadi, dia hanya bilang, karena sudah ada pelepasan hak atas tanah oleh kepala desa. Pertimbangannya ke situ. Kami sudah buktikan, pada kepala desa itu dia pernah diundang oleh camat untuk menyelesaikan masalah antara masyarakat adat Marafenfen dan TNI-AL. Tapi justru surat-surat pelepasan hak itu sudah ada sebelum ada pertemuan kepala desa dengan camat.”

Putusan hakim ini, katanya, merupakan ancaman luar biasa bagi Masyarakat Adat Marafenfen. Artinya, ke depan, bisa saja gubernur menerbitkan surat keputusan, lalu Badan Pertanahan menerbitkan sertifikat walaupun tidak ada proses pelepasan hak atas tanah dari masyarakat adat dan dianggap sah.

“Dianggap seakan-akan masyarakat adat ini tidak pernah ada. Hak-hak mereka itu tidak pernah ada.”

Rukka Sambolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, putusan majelis hakim ini menunjukkan sistem hukum dan peradilan di Indonesia tak mampu memberikan keadilan pada Masyarakat Adat Marafenfen.

Putusan itu, katanya, belum mampu melihat kebenaran-kebenaran yang melampaui teks, surat-surat dan dokumen resmi.

“Ada ketidakmampuan hakim memilah antara fakta-fakta otentik dan fakta-fakta yang dimanipulasi. Ini sudah dijelaskan bagaimana tadi kesaksian langsung dari para korban, korban pembohongan yang namanya disalahgunakan.”

“Justru yang lebih dipertimbangkan adalah yang tertulisnya. Dokumen yang bohong, daripada kesaksian dari manusia itu sendiri. Ini menunjulkan betapa sistem peradilan kita masih jauh dari harapan,” kata Rukka.

Menurut dia, putusan itu jelas tidak bisa diterima karena banyak fakta di pengadilan justru dianggap tidak relevan dan tak ada hubungan dengan perkara itu.

Bercermin dari kasus Madafenfen ini, katanya, makin menguatkan betapa Undang-undang Masyarakat Adat mendesak. Hingga saat ini, pembahasan RUU Masyarakat Adat masih belum jelas. Dia bilang, penting menghadirkan instrumen hukum yang bisa melindungi hak-hak masyarakat adat.

Erasmus Cahyadi, pengurus AMAN mengatakan, ada satu hal yang membedakan putusan ini dengan beberapa putusan terkait masyarakat adat di tempat lain. Satu hal yang dianggap sebagai kemajuan dalam putusan itu yakni majelis hakim menerima legal standing masyarakat adat. Meski begitu, katanya, putusan majelis hakim tetap saja tidak mencerminkan keadilan.

Dia bilang, pilihan untuk banding merupakan langkah hukum lanjutan yang perlu dan penting dilakukan.

*****

Foto utama: Masyararakt Adat di Kepulauan Aru, di luar PN Dobo saat sidang gugatan Masyarakat Adat Marafenfen melawan TNI-AL, Gubernur Maluku dan BPN. Foto: Christ B/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version