Mongabay.co.id

Mencari Solusi Ekologis Mengurangi Perambahan Hutan

Petani perlu air untuk menyirami dan mengairi tanaman. Namun, di Denpasar Utara, mereka mulai mengalami kesulitan air. Foto: Luh De Suryani/Mongabay Indonesia

 

Dua kelompok warga dari Kalimantan dan Bali berdiskusi untuk mencari solusi perambahan hutan di daerah masing-masing. Kalimantan mengalami perambahan hutan akibat ekspansi perkebunan sawit dan pertambangan. Sedangkan di Jembrana, Bali ada pembukaan lahan hutan lindung jadi kebun pisang, vanilli, dan umur pendek lainnya.

Sebuah kelompok anak muda dari Jembrana mengembangkan sejumlah strategi melalui bendera Bisnis Alternatif Sosial Ekologi (BASE) Bali yang kini mengelola hutan belajar seluas 3,5 ha. Itu cara mendekatkan fungsi hutan lindung sebagai penyangga pulau Bali pada masyarakat termasuk anak-anak.

Sementara di hulu, mereka juga mencontohkan cara mengoptimalkan kebun agar warga tidak merambah ke hutan. Putu Bawa, salah satu pendiri BASE Bali menunjukkan kebunnya sendiri yang kini dikelola dengan pendekatan permakultur di Yehembang Kauh, Jembrana, sekitar 2,5 jam berkendara dari Kota Denpasar.

Sebelumnya kebun seluas 3,5 ha hanya berisi kelapa dan buah. Namun kini menjadi kebun yang bisa memasok kebutuhan pangan sehari-hari seperti sayur, bumbu, ikan, dan juga area konservasi. Ia juga membuat titik-titik instalasi penampungan air hujan untuk mengurangi pemanfaatan air bawah tanah. Terlebih desanya, Yehembang Kauh kini mengalami musim krisis air terutama saat kemarau. Padahal dulu jadi area sumber air.

Bawa menargetkan membuat 108 kolam terdiri dari sebagian kolam penampungan air hujan. Saat ini ada 8 kolam, terdiri dari kolam ikan, kolam produsen pupuk cair, dan penampungan air hujan.

“Saat ini ada 8 kolam, target 108 kolam untuk keperluan air bersih dan kesulitan air di kawasan sini,” jelas Bawa yang ditemui awal November.

baca : Usai Degradasi, Terbitlah Hutan Belajar Desa

 

Kolam ferocement menampung air hujan dalam kebun yang dikelola kelompok petani muda BASE di Yehembang Kauh, Jembrana, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Saat mulai mengelola kebun di musim hujan, hal pertama yang dibangun adalah kolam untuk penampungan air hujan. Di area kebun belajar ada beberapa jenis kolam dengan cara pembuatan berbeda. Semuanya memiliki fungsi utama menampung air hujan, namun ditangani dengan cara berbeda. Misalnya kolam paling kecil berisi ikan yang diberi pakan organik, membuang daun kering, dan sisa makanan dapur sehingga berwarna hijau keruh. Kolam dengan alas terpal ini menjelma produksi pupuk cair untuk kebun sekitarnya.

Kemudian ada kolam besar yang dibuat dari lapisan ferocement, kombinasi pasir, sekam, dan kawat ayam berbentuk bulat. Bisa menampung air hujan 62 meter kubik dengan kedalaman 1,5 meter sehingga perlu konstruksi kuat tahan gempa. Teknik ferocement selain dinilai lebih kuat, juga efisien karena biaya lebih murah 30% dibanding aplikasi batako atau batu bata.

Ada pohon buah mengkudu di sekitar kolam yang juga berguna. Buah mengkudu yang jatuh ke kolam dinilai berguna karena menetralkan pH untuk memastikan batas bawah baku minum. Kolam ini diisi ikan-ikan hias air tawar kecil untuk mencegah larva nyamuk. Selain untuk kebutuhan menyiram juga bisa tempat berendam.

Area zona satu ini adalah sebuah kebun belajar yang difungsikan juga untuk tempat diskusi dan belajar mengidentifikasi penyelesaian sengketa ekologi. Di sinilah pusat kebun pangan sehari-hari dan implementasi praktik memproduksi bibit organik mandiri, pupuk, pakan ternak, penggunaan panel surya sebagai sumber energi, dan lainnya.

Salah satu solusi jangka panjang yang diyakini untuk mengurangi konflik perambahan hutan dan konflik antar warga atas sumberdaya seperti air dan lahan adalah memastikan produksi pangan untuk kemandirian desa.

baca juga : Bibit Impor vs Lokal, Begini Upaya Kemandirian Petani Benih

 

Petani muda BASE Jembrana Bali memperagakan pembuatan pakan ternak organik. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana menghasilkan pangan dengan tetap melindungi hutan?

“Pertimbangkan kebutuhan dasar. Jika petani bisa membaca kebutuhan pasar, mereka bisa menahan hasil panen,” Gus Wesnawa, pegiat BASE Bali lain menimpali. Sementara itu komoditas sawit dan karet sangat tergantung pada pasar global karena warga tidak mampu mengolah untuk kebutuhan sehari-hari. Jika pasar global menghentikan transaksi komoditas tersebut, maka petani merugi.

Mengelola kebun kurang produktif atau monokultur dimulai dengan pemetaan isi kebun, lalu identifikasi keberagaman tanaman yang bisa panen bergantian. Misalnya sayur dan bumbu dipanen setiap hari, kacang-kacangan dan umbi setiap bulan, buah tiap tahun, dan lainnya. Jenis tanaman yang tidak boleh dilupakan untuk diidentifikasi adalah tanaman yang berfungsi konservasi seperti bambu, enau, beringin, dan kwanitan (pohon endemik hutan Jembrana) dan lainnya.

Berikutnya, hitung biaya dan hasilnya sebelum dan setelah dikelola. Kalau ada selisih hasil, Bawa menyarankan negoisasi ke pemilik tanah untuk pembagian hasil. Selanjutnya, mengidentifikasi pembeli di sekitar kampung dahulu agar perekonomian bergerak di desa dan mengurangi biaya transportasi. Selebihnya dijual di pasar tradisional. “Pasar di sekitar kita, misalnya saya jual kelapa ke teman satu desa yang buat VCO,” contohnya. Memotong rantai pasar bisa dilakukan jika sudah dipetakan pelaku di sistem rantai pasok, seperti pengepul dan pedagang besar.

Hal berikut yang menurutnya penting dipelajari adalah pengolahan pascapanen. Misalnya sisa panen bayam brasil dan pisang bisa digoreng untuk keripik.

 

Teknik Pertanian Organik

Untuk menambah keterampilan mengoptimalkan kebun, diskusi ini juga diisi dengan praktik membuat pakan ternak organik dan membuat kebun tanpa gali.

Kebun tanpa gali banyak diminati karena lebih mudah diaplikasikan siapa saja termasuk anak-anak. Dimulai dengan membuat pola desain dengan bedengan batu/kayu keliling sebagai pembatas. Material pembatas ini menggunakan bahan yang ada di sekitar termasuk batok atau kulit sabut kelapa. Berikutnya, di bagian paling bawah dialasi daun pisang, bisa juga daun gamal dan daun polong-polongan mengandung urea.

Lapisan berikut adalah cacahan batang pisang yang mengandung unsur NPK. Disusul lapisan daun kering, daun busuk, kemudian lapisan tanah dengan ketebalan sekitar 10 cm di bagian paling atas. Kebun tanpa gali ini bisa langsung ditanami bibit agar lapisan-lapisan material tidak kering.

I Gusti Ayu Komang, pelatih permakultur dan pegiat BASE Bali mengatakan, 1-2 bulan kemudian, bibit akan menyentuh lapisan kaya nutrisi di lapisan-lapisan material kebun tanpa gali.

baca juga : Usai Degradasi, Terbitlah Hutan Belajar Desa

 

Petani muda BASE Jembrana Bali memperlihatkan pembuatan kebun tanpa gali secara organik. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Praktik berikutnya adalah membuat pakan ternak unggas dan ikan organik. Untuk pakan unggas, bahannya ampas kelapa sisa pembuatan minyak dan VCO, dibaluri sedikit parutan kunyit sebagai anti bakteri dan virus, dan parutan ubi jalar. Semuanya diaduk jadi satu, bisa langsung diberikan ke unggas atau dikeringkan agar tahan lama.

Sedangkan pakan ikan parutan terdiri dari ubi parut yang kaya mineral, vitamin campur kepala udang atau kepala ikan teri kering sebagai perasa dan aroma. Jika ingin berbentuk seperti pelet, tambah tepung beras atau bekatul untuk perekat. Adonan ini dijemur dan bisa tahan 6 bulan – 1 tahun. Adonan kering akan terapung dan mudah dimakan ikan.

Keterampilan praktis mengoptimalkan hasil kebun bertambah dengan informasi aneka cara pengolahan limbah kulit kelapa. Seorang buruh pabrik kulit kelapa menjelaskan kulit kelapa diolah jadi cocofiber dengan mengolah sabutnya, hasilnya jadi material bantal atau sofa yang empuk dan disukai pasar global terutama bagi yang sensitif material hewani seperti bulu angsa. Sangat lembut tapi kuat. Sedangkan serbuknya diolah jadi cocopeat, kompos berkualitas tinggi dengan menambahkan kotoran ternak.

Safri, Kepala Desa Nanga Nuar, Kecamatan Silat Hilir, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat bercerita tentang kebun sawit yang dominan di desanya. Sedangkan Mahmud, Kades Pinang Laka, Pengkadan, mengatakan areanya dominan kebun karet. Keduanya memiliki motivasi menambah keberagaman tanaman terutama kebutuhan pangan. Sawit dan karet memiliki karakteristik berbeda, sehingga perlu penanganan lahan spesifik.

Beberapa hal yang disepakati petani dua kelompok warga ini adalah pentingnya area produksi pangan sehari-hari dan konservasi di area perkebunan, desa, dan rumah. Agar tidak tergantung pada komoditas perdagangan yang rentan spekulan dan tidak bisa diolah.

 

***

 

Keterangan foto utama : ilustrasi. Petani perlu air untuk menyirami dan mengairi tanaman. Namun, di Denpasar Utara, mereka mulai mengalami kesulitan air. Foto: Luh De Suryani/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version