Mongabay.co.id

Kala Presiden Resmikan Sirkuit Mandalika, Persoalan Lahan Masih Menggantung

 

 

 

 

 

Pada 12 November lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan Sirkuit Mandalika di Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Peresmian ini ditandai dengan presiden mencoba lintasan sirkuit dengan sepeda motor modifikasi miliknya. Di atas lintasan sepanjang 4,3 km itu, Jokowi ditemani Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan beberapa pejabat lain. Sirkuit dengan 17 tikungan dan biaya total pembangunan Rp 1,1 triliun itu jadi buah bibir nasional hingga internasional.

Berselang lama di atas sirkuit digelar Idemitsu Asia Talent Cup (IATC), walaupun pada seri terakhir pada 14 November ditunda karena marshal lokal melakukan boikot. Selanjutnya, pada 19-24 November akan digelar World Super Bike (WSBK).

Sirkuit yang jadi bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika ini, masih menyisakan persoalan lahan dan akses keluar masuk warga jadi sulit. Beberapa warga yang memiliki tanah menyatakan belum dibayar. Padahal di sisi tanah mereka sudah dibangun berbagai fasilitas. Termasuk Dusun Ebunut, Desa Kuta, makin terisolir di tengah event ini. Akses masuk di samping lintasan sirkut tidak lagi dapat terakses selama event. Mencari jalan cukup jauh, berlumpur saat musim hujan, serta beriringan dengan truk dan alat berat proyek menjadi pilihan terakhir warga.

Saat kedatangan presiden, perwakilan warga sempat berdialog walaupun tidak lama. Damar, pemilik tanah mengatakan, masih ada tanah beberapa warga yang belum dibayarkan oleh Indonesia Tourism Development Coporation (ITDC) selaku pengembang kawasan KEK Mandalika. Di hadapan presiden dan rombongan, Damar menyampaikan kalau tanah di Dusun Ebunut sampai saat ini belum peroleh pembayaran. Warga masih bertahan di lahan mereka.

“Kami minta sebelum WSBK bisa diselesaikan,’’ katanya.

Damar bilang, warga bukan menolak pembangunan KEK Mandalika. Dulu, kawasan sirkuit ini lahan warga. Damar punya lahan yang sudah dibayar ITDC, tetapi ada juga lahan yang belum. Begitu juga lahan di Dusun Ebunut, masih berkerabat dengan Damar, belum dibayar hingga kini.

Dari luas lahan di dalam sirkuit 1,5 hektar, milik Damar yang belum dibayar 21 are. Di sekitar sirkuit ada juga lahan warga lain dengan luas bervariasi.

“Tadi Pak Presiden minta menteri BUMN untuk menyelesaikan,’’ kata Damar.

Penegasan lisan presiden ini disampaikan di Mesjid Nurul Bilad, pintu masuk KEK Mandalika. Usai sholat Jumat di mesjid, presiden yang didampingi Menteri BUMN Erick Thohir menemui Damar dan warga lain.

“Masih ada 48 keluarga, secepatnya (diselesaikan),’’ kata presiden.

Saat bersamaan presiden meminta Menteri BUMN untuk menyelesaikan sengketa ini. Penegasan presiden disampaikan di hadapan warga dan Menteri BUMN disaksikan para pejabat yang mengiringi.

“Kalau belum selesai Pak Erick. Secepatnya,’’ kata presiden.

 

Baca juga: Nasib Para Perempuan yang Hidup di Sekitar KEK Mandalika


 

Belum ada kejelasan

Syukur, pemilik lahan di Ebunut mengatakan, belum ada kejelasan terkait sisa pembayaran lahan. Di sekitar lahannya mulai dibangun jalan yang akan jadi akses ke pantai. Lahan yang belum dibayarkan seluas dua hektar.

“Lahan ini kami berempat yang punya,’’ kata Syukur.

Dia menunjukkan batas-batas lahan yang belum dibayar.

Syukur bilang, pernah bertemu tim dari pemerintah. Saat itu dia sampaikan kalau lahan yang diklaim Syukur bersama rekannya itu sudah dijual. Dia heran, pemerintah bisa membeli tanah bukan kepada pemiliknya. Padahal, sejak awal Syukur belum pernah menjual tanah itu.

“Mana orangnya yang mengaku menjual itu?”

Dia ceritakan proses penjualan lahannya yang lain. Awalnya, pemerintah pendataan lahan yang akan diganti rugi. Syukur perlihatkan bukti bahwa dia sudah menjual tanahnya yang lain seluas 1,45 hektar.

Begitu menanyakan lahan dia yang lain barulah terungkap tanah itu telah dijual. Mereka tidak pernah menunjukkan bukti penjualan tanah itu. Syukur curiga ada calo yang menjual tanah itu. Sama seperti korban lain yang masih bertahan di dalam kawasan saat ini juga belum mendapatkan ganti rugi.

“Siapa yang jual tidak dibuka. Mari kita buka sama-sama. Banyak calo yang jual tanah orang,’’ katanya.

Syukur menyebut kerabatnya, Amaq Bengkok, dengan rumah hanya beberapa langkah dari lintasan sirkuit juga jadi korban. Dia punya banyak lahan, tetapi tidak mendapatkan keadilan.

“Bisa jadi Amaq Bengkok korban permainan calo. Tanah dijual oleh orang lain. Hingga saat ini Amaq Bengkok masih bertahan di gubuknya, yang berbatasan langsung dengan pagar kawat pembatas sirkuit. Banyak tanahnya, tapi orang lain yang jual. Kasihan dia.”

 

 

Baca juga: Nasib Warga yang Terkurung Sirkuit Mandalika

 

Anak-anak yang masih tinggal di Ebunut harus jalan kaki cukup jauh untuk ke sekolah. Akses jalan terhalang Sirkuit Mandalika. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Mongabay mengunjungi permukiman warga di Dusun Ebunut, yang masih bertahan hingga kini. Puluhan aparat kepolisian berjaga di kampung itu. Rumah-rumah semi permanen masih berdiri. Anak-anak kecil asyik bermain, lupa kalau di depan rumah mereka sedang berlangsung balapan motor. Laki-laki dewasa sibuk menyiapkan lahan untuk menanam palawija, sebagian pergi menjaring ikan ke laut. Sebagian ada yang menjadi buruh di proyek KEK Mandalika.

Dusun Ebunut berbatasan langsung dengan laut, Pantai Seger. Pasir putih dengan bukit yang menjadi spot foto terbaik saat senja. Di sini juga tempat berlangsungnya Festival Rakyat Bau Nyale. Setiap tahun, biasa tiap Februari, ribuan warga datang ke pantai selatan Lombok Tengah menangkap nyale (cacing laut).

Akses jalan umum sudah banyak berubah setelah pembangunan Sirkuit Mandalika. Saat perhelatan IATC dan WSBK, semua akses ke pantai dijaga ketat aparat kepolisian. Beberapa warga yang ingin menonton dari atas bukit disuruh balik oleh polisi, bahkan mereka diminta keluar dari dalam kawasan sirkuit.

Semua pintu masuk ke kawasan dijaga ketat aparat. Beberapa pintu masuk diblokade hingga menutup akses warga yang masih bertahan di dalam perkampungan.

Kondisi ini mendapat kritikan dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) NTB. Menurut FPR, aksi pengamanan berlebih aparat ini menimbulkan ketakutan bagi masyarakat. Pos polisi dibangun di dekat perkampungan warga yang masih bertahan.

“Pengetatan keamanan tidak hanya berupa penjagaan pos-pos keamanan yang telah didirikan. Tetapi patroli yang menyasar perkampungan dan rumah-rumah warga yang masih bertahan menolak digusur,’’ kata Badaruddin, juru bicara FPR NTB.

Makin mendekati perhelatan IATC dan WSBK makin banyak petugas keamanan, termasuk TNI berjaga di pintu masuk KEK Mandalika. FPR NTB menilai, pengalaman berlebih itu sebagai bentuk intimidasi.

FPR NTB juga mengkritik presiden yang akan menyelesaikan persoalan ganti rugi lahan. Menurut Badaruddin, tidak cukup hanya ucapan ketika dicegat warga. Presiden harus mengeluarkan kebijakan hingga ada kepastian hukum yang jadi penjamin hak masyarakat yang tergusur.

“Aturan itu harus meliputi nominal ganti rugi bangunan yang disesuaikan dengan biaya pembangunan rumah, lahan yang disesuaikan dengan harga pasar, dan tanaman yang disesuaikan pada nilai yang dihasilkan,’’ katanya.

Persoalan sosial lain yang timbul karena pembangunan ini juga harus dipikirkan pemerintah. Warga yang menjadi korban penggusuran harus mendapatkan tempat relokasi layak. Akses ke pelayanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja harus disediakan.

“Berikan jaminan kepastian kerja bagi pemuda kawasan KEK Mandalika.”

 

Buruh tani membajak lahan persis di samping Sirkuit Mandalika. Terlihat satu orang naik ke pohon untuk menonton perlombaan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia
Di depan rumah warga Dusun Ebunut, polisi berjaga dengan cara mendirikan tenda dan memarkir kendaraan. Beberapa warga di Dusun Ebunut masih bertahan karena belum mendapatkan ganti rugi. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

*****

Exit mobile version