Mongabay.co.id

Cerita Warga yang Tinggal di Sekitar PLTU Pangkalan Susu

 

 

 

 

Adzan subuh sayup di Desa Sei Siur Dusun 4 Panton, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, awal November lalu. Dari kejauhan terdengar jerit tangis seorang anak di desa yang berdekatan dengan PLTU) batubara. Jaraknya tak sampai 500 meter dari pemukiman.

Yanti, sang ibu sedikit berteriak membangunkan anak yang lain untuk memasakkan air hangat, ambil salep untuk mengoleskan ke tubuh anaknya yang merintih kesakitan.

Dia cerita anaknya Adel korengan di sekujur tubuh yang menimbulkan gatal. Penyakit ini muncul usai anaknya mandi air laut di paluh di belakang rumah.

Saat itu , dia ikut saudaranya yang membersihkan sampan sambil bermain dan mandi. Tak lama setelah itu dia gatal-gatal.

Bukan hanya Adel, anak yang lain alami juga sejak 2020. Selain gatal-gatal, keluarga Yanti juga sesak napas.

Mereka duga limbah batubara dari PLTU Pangkalan Susu jadi penyebab. Sebelum ada PLTU dekat rumah, keluarga Yanti tak pernah alami gatal-gatal maupun sesak napas. Kini, air laut dekat rumahnya pun jadi lebih hangat.

Keluarga Yanti tak hanya menanggung penyakit juga beban biaya. Dia berupaya mengobati gatal-gatal dan sesak napas yang kerap muncul.

Untuk berobat, dia harus merogoh kocek sedikitnya Rp1 juta untuk biaya obat-obatan termasuk pemeriksaan darah. Jarak menuju kota yang cukup jauh dengan kondisi tak sehat itu sangat menyulitkan sekali bagi keluarga Yanti.

Kalau berobat ke puskesmas mereka tidak yakin, karena obat-obatan hanya itu-itu saja dan tidak menyembuhkan penyakit.

“Ini sangat berat kami jalani. Ekonomi kami pas-pasan hanya menjual bakso di depan rumah, tidak ada rasa tanggung jawab dari pihak terkait, ” katanya.

 

Baca juga: Bongkar Muat Batubara PLTU Pangkalan Susu Berpotensi Cemari Laut, Berikut Foto dan Video

 

Yanti berharap, pemerintah menurunkan tim medis ke desa secara rutin. Selama ini, katanya, tidak pernah ada perhatian untuk membantu masyarakat terdampak limbah PLTU batubara ini.

“Medis harus datang ke sini mengobatin masyarakat di Dusun 4 Panton ini. Jangan dibiarkan lagi.”

Baginya kehadiran pembangkit listrik di Pangkalan Susu bukan masalah, tetapi kalau tak pakai batubara. Banyak bahan ramah lingkungan bisa dipakai, ada matahari, air, dan lain-lain.

Ketika keluar dari rumah Yanti, terlihat jelas cerobong pembuangan limbah PLTU yang mengeluarkan asap hitam pekat ke udara. Rumah Yanti yang tinggal tak jauh dari situ bak kena ‘gerimis’ abu yang jatuh menempel di rumah dan terhirup oleh siapa saja.

Kalau warga di daerah lain sekarang wajib pakai masker karena sedang pandemi COVID-19. Di sini, masyarakat penting pakai masker guna mengurangi dampak dari ‘virus’ cerobong asap pembangkit batubara.

Riset dampak PLTU batubara dari Universitas Harvard – Atmospheric Cheminstry (ACMG) bersama Greenpeace pada 2015, memperlihatkan, betapa PLTU batubara bisa meningkatkan risiko kematian sekitar 6.500 jiwa per tahun.

Dari penelitian itu juga menyatakan, beberapa penyakit berisiko muncul bagi mereka yang terpapar zat berbahaya dari pembangkit batubara, antara lain stroke, jantung iskemik, kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif kronik, serta penyakit pernapasan dan kardiovaskular lain.

Kajian Yayasan Srikandi Lestari menyebutkan, hasil nelayan, petani budidaya tambak udang vaname, keramb ikan kerapu sering mengalami kerugian sejak PLTU Pangkalan Susu beroperasi. Petani juga ada alami gagal panen.

Dari segi kesehatan, Srikandi Lestari dapatkan data Puskesmas Beras Basa dan Dinas Kesehatan Langkat yang menaungi ring 1 PLTU Pangkalan Susu. Dari sana terlihat, penderita ISPA akut 1.653 orang per enam bulan pada 2019 dan Puskesmas Beras Basa (700 orang) ISPA/3 bulan.

PLTU di Sumut seperti PLTU Pangkalan Susu unit 1, 2, 3 dan 4 telah beroperasi komersial, sejak September 2019. PLTU Unit 3 dan 4 pada sistem Sumatera Bagian Utara (SBU) pakai batubara berkalori ± 4.200 kcal perkg. Dari analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) operasi PLTU unit 1,2,3 dan 4 perlu batubara 11.885 ton perhari.

Sisa pembakaran batubara berupa abu terbang (fly ash) sekitar 70% dan bottom ash 30% akan dibuang ke tempat penampungan abu (ash disposal area) yang tersedia dengan truk dan belt conveyor.

Batubara untuk PLTU Pangkalan Susu dibeli dari Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Bengkulu dan beberapa daerah lain.

Sumiati Surbakti, Direktur Yayasan Srikandi Lestari mengatakan, dari bukti dan fakta di lapangan selama mendampingi diduga terjadi pencemaran lingkungan baik udara, laut maupun daratan.

Banyak warga yang terdampak akibat proyek pembangunan PLTU berbahan bakar batubara. Dia bilang, pemerintah tinjau ulang pembangunan begitu banyak PLTU ini.

Pembangkit batubara dinilai lebih murah dari sumber energi terbarukan karena karena biaya eksternal, seperti ongkos lingkungan dan daya rusak bagi masyarakat tak masuk perhitungan alias alam dan masyarakat yang menanggung.

“Itu sangat tidak berkeadilan. Segelintir orang menikmati keuntungan, masyarakat menderita kerugian. Indonesia bisa menciptakan energi terbarukan, ramah lingkungan.”

Melihat laut sepanjang Aru, hasil penelusuran Yayasan Srikandi Lestari, air sangat kotor terkena limbah dan tumpahan batubara saat pemindahan dari kapal induk ke tongkang.

“Ini membuat biota laut tak betah tinggal di situ. Masyarakat nelayan Pangkalan Susu terutama nelayan tradisional cari ikan susah. Jangankan ikan besar, ikan kecil saja susah,” katanya.

 

Aksi protes PLTU Pangkalan Susu. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Tak hanya komitmen

Angin segar penghentian pembangunan PLTU datang dari Tiongkok. Pada 22 September lalu, Presiden Tiongkok berjanji tidak akan membangun PLTU batubara baru di luar negeri. Presiden Xi Jinping menyampaikan komitmen ini dalam debat umum sidang ke-76 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa.

Dia mengatakan, Tiongkok, menyatakan akan berusaha mencapai lepas emisi karbon sebelum 2030 dan mencapai karbon netral sebelum 2060. Salah satu caranya, meningkatkan dukungan negara berkembang dalam mengembangkan energi hijau dan rendah karbon serta tidak akan membangun proyek PLTU batubara baru di luar negeri.

Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (StuEB) menyatakan, komitmen iklim Presiden Tiongkok yang tak akan membangun lagi PLTU termasuk di luar negeri, harus segera terimplementasi, antara lain dengan mengevaluasi PLTU batubara di Sumatera.

Ali Akbar, Ketua Kanopi Hijau Indonesia juga konsolidator StuEB mengatakan, komitmen Xi Jinping cukup memberi angin segar dalam melawan krisis iklim. Namun, katanya, tak serta-merta pernyataan tetapi perlu ada implementasi.

Dia bilang, sudah begitu banyak dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat dengan penggunaan batubara sebagai energi.

Beberapa contoh PLTU batubara yang memberikan dampak buruk bagi lingkungan seperti di Nagan Raya, Aceh, Teluk Sepang (Bengkulu), Pangkalan Susu (Sumatera Utara) dan sedang konstruksi PLTU Sumsel 1 (Sumatera Selatan) dan dalam perencanaan PLTU Jambi 1 dan 2.

Indira Suryani, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menambahkan, dampak PLTU batubara juga dirasakan warga di Sumatera Barat. Ada dua PLTU sudah beroperasi yaitu PLTU Ombilin dan PLTU Teluk Sirih.

PLTU Ombilin berada di Desa Sijantang Koto, Kota Sawahlunto, sudah sejak lama menyemburkan abu racun FABA. Itu terjadi ketika alat penangkap abu rusak dan tidak diperbaiki hingga sekarang. Kondisi ini, katanya, menyebabkan abu sisa pembakaran batubara keluar dari cerobong dan menghujani warga.

Abu bawah sisa pembakaran (bottom ash) ditumpuk sampai membentuk gunung di dekat PLTU hingga mengalir ke sungai ketika hujan.

Begitu juga di Jambi. Hardi Yudha Direktur Lembaga Tiga Beradik mengatakan, di PLTU Semaran, Sarolangun, sudah berdampak kepada kesehatan warga seperti batuk, sesak nafas bahkan penyakit kulit. Apalagi, katanya, akan ada pendirian PLTU Jambi 1 dan 2 dengan kapasitas 2×300 MW.

 

Ribuan ton batubara diangkut melalui transportasi laut dari berbagai daerah untuk memenuhi keperluan PLTU Pangkalan Susu. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

******

Foto utama:   Kepulan asap PLTU Pangkalan Susu yang tak jauh dari pemukiman penduduk. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version