Mongabay.co.id

Menalar Kerusakan Lingkungan Hidup

Ekosistem hutan rawa gambut, air tawar, hutan mangrove, dan rivarian menjadi penopang utama seluruh kehidupan di kawasan SM Rawa Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Ekosistem hutan rawa gambut, air tawar, hutan mangrove, dan rivarian menjadi penopang utama seluruh kehidupan di kawasan SM Rawa Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Penanganan Coronavirus Disease 19 (COVID-19) masih berlangsung. Vaksinasi sebagai upaya perlindungan diri dalam mencegah penyakit menular ini. Penerapan protokol kesehatan terus jalan, bahkan diperketat dari 3M jadi 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas).

Saat sama, Ibu Pertiwi didera kegelisahan terkait kondisi lingkungan hidup, yang sejatinya respon atas perilaku manusia dalam memperlakukan lingkungan. Saat ini, banjir dan longsor menjelma sebagai musibah laten, terus terjadi, berulang.

Belum lagi teratasi, pasca banjir mengancam juga aneka penyakit ikutan seperti pencernaan (diare) dan kulit (gatal), serta leptospirosis.

Pandangan kalau bencana ini sebagai suatu yang wajar, dan lumrah perlu dikoreksi. Aneka musibah–dalam bentuk dan rupa apapun– sebisa mungkin dihindari.

Kondisi kini, semacam terjadi pergeseran paradigma (cara pandang) dalam menerjemahkan dan memaknai lingkungan hidup serta alam semesta. Alam dipahami sebagai obyek yang dapat dieksploitasi besar-besaran guna memenuhi keinginan manusia yang pada dasarnya tak pernah mengenal rasa cukup dan puas.

Chapman dkk (2007) dalam bukunya berjudul “Bumi yang Terdesak”, menyebutkan, populasi manusia tidak hanya tumbuh secara eksponensial, tetapi gaya hidup dan pola konsumsi telah mendorong muncul teknologi yang makin merusak lingkungan.

Teknologi modern yang dikembangkan dalam mendukung pola konsumsi berlebihan ini menghasilkan bahaya lingkungan yang begitu besar, seperti lapisan ozon makin rusak dan memicu perubahan iklim.

 

Rumah Suliamat diterjang banjir, rata dengan tanah. Hanya menyisakan pondasi rumah. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Kesadaran baru

Seharusnya, pandemi bisa menyadarkan dan mengingatkan masyarakat global kalau masalah ini senyatanya bukanlah soal keterbasan daya tampung dan kelengkapan fasilitas maupun sarana medis. Bukan pula kekurangan tenaga pakar bidang penelitian dan pengembangan bioteknologi dalam memproduksi vaksin, melainkan tentang dua hal mendasar dalam kehidupan.

Pertama, perihal kesadaran dan kebiasaan publik atas pola hidup bersih dan sehat. Selama pola dan gaya hidup cenderung masih serampangan, yang namanya penyakit akan silih berganti.

Faktanya, pandemi berhasil memaksa umat manusia sejagat untuk kembali belajar tentang hal mendasar dalam kehidupan yakni mencuci tangan dan bagaimana sikap serta perilaku dalam bergaul dan berkomunikasi dengan baik dan benar.

Kedua, perihal perlakuan terhadap lingkungan hidup yang cenderung semena-mena. Fenomena eksploitasi sumber daya alam secara kasat mata terjadi di banyak tempat.

Pemicunya, pergeseran gaya hidup yang mengarah pada hedonis materialistis. Aneka keinginan tak pernah mengenal rasa cukup dan puas, telah menyudutkan alam sebagai obyek eksploitasi tanpa mempedulikan daya dukung dan daya lenting lingkungan.

Ringkasnya, kedua problematika mendasar ini terpilih sebagai jalinan sebab-akibat, bahwa kesadaran membentuk pola pikir. Pola pikir akan berwujud nyata melalui perilaku konkret keseharian.

Dengan demikian, bila kesadaran publik akan pola dan gaya hidup sehat relatif masih rendah, mustahil bila sikap dan perilaku kesehariaan mencerminkan tindakan ramah dan bersahabat dengan alam.

Pengabaian karakter manusia, niscaya melahirkan aneka perilaku menyimpang yang akan menciderai kehidupan secara luas.

Sekiranya, boleh sejenak belajar dari sejarah Tiongkok yang berhasil mengendalikan pandemi COVID-19. Dulu, ketika Tiongkok ingin hidup tenang, mereka membangun tembok China yang sangat besar. Mereka berkeyakinan tak akan ada orang sanggup menerobos karena tinggi sekali, sekaligus tebal. Tetapi 100 tahun pertama setelah tembok selesai dibangun, sejarah mencatat, Tiongkok terlibat tiga kali perperangan besar.

Memang, setiap kali terjadi perang, pasukan musuh tidak menghancurkan tembok atau memanjatnya, tetapi cukup dengan menyogok penjaga pintu gerbang.

Tiongkok, di zaman itu terlalu sibuk dengan pembangunan tembok, tetapi mereka lupa membangun karakter manusia. Sejak saat itu, Tiongkok belajar bahwa membangun karakter manusia seharusnya sebelum membangun apapun.

Mengenai perilaku yang cenderung menciderai lingkungan, maka komitmen dan keberanian sosok Severn Suzuki, 12 tahun, yang berbicara mewakili enviromental children organization (ECO) di KTT Lingkungan Hidup PBB di Rio de Janeiro pada 1992 perlu diacungi jempol.

Cuplikan pidatonya saat itu, “Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yang akan datang, untuk anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar, untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya karena kehilangan habitatnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita. Anda tidak tahu bagaimana cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang telah punah. Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala. Jika anda tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Tolong, berhentilah merusaknya!

Tindakan pembabatan hutan (deforestasi) dan penebangan liar (illegal logging) bukanlah tindakan yang mencerminkan perilaku ekologis, sekaligus humanis. Akibat dari penebangan pohon itu akan berdampak terhadap kerusakan lingkungan lebih luas (global).

Tajuk pepohonan nan rindang dan berlapis semestinya dapat berperan jadi filter alami bagi derasnya air hujan sebelum jatuh ke permukaan tanah. Habitus pepohonan dan akar di permukaan tanah yang berperan menghambat laju arus permukaan (run off) juga turut lenyap.

Dampak ikutannya, bisa ditebak, kehilangan porositas tanah untuk menyerap air hujan karena terkikis permukaan tanah oleh air hujan akibat dari penebangan pohon secara masal.

Sungguh, bila orientasi pembangunan hanya berujung pada materi sebagai ukuran atas kesejahteraan hidup, maka ungkapan kegelisahan Eric Weiner dalam The Geography of Bliss perlu jadi perhatian bersama. “Ketika pohon terakhir telah ditebang, dan ikan terakhir telah ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa ternyata uang tidak dapat dimakan.”

 

 

 Penulis: Thio Hok Lay, Koordinator Biologi, Teaching Learning Curriculum Department, Yayasan Citra Berkat, Jakarta. Penulis Buku ”Mendidik, Memahkotai Kehidupan” (2020). Tulisan ini adalah opini penulis.

 

******

Foto utama:    Ekosistem hutan rawa gambut, air tawar, hutan mangrove, dan rivarian menjadi penopang utama seluruh kehidupan di kawasan SM Rawa Singkil. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Exit mobile version