Mongabay.co.id

Nasib Warga Kala Limbah Cemari Sungai di Telaga Biru

Fasilitas instalasi pengolahan air limbah di TPA Sampah Regional Provinsi Gorontalo. (Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia).

 

 

 

Peristiwa tahun lalu masih membekas dalam ingatan Mustafa Ajulango, warga di Desa Pentadio Barat, Kecamatan Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo. Kala itu, puluhan itik manila miliknya mati usai minum air sungai di belakang rumahnya.

“Kalau bicara sungai ini saya sedikit sakit hati,” katanya.

Mustafa usia 68 tahun. Rumahnya hanya berjarak dua meter dari sungai. Dia duga itik-itiknya terkena limbah.

Beternak itik manila merupakan pekerjaan yang sudah puluhan tahun dia lakoni. Penghasilan dari beternak itik bisa memenuhi kepeluan keluarga.

Harga itik manila jantan Rp.130,000, betina Rp75,000. Untuk pemasaran, dia jual ke Manado, Sulawesi Utara. Sebagian juga jual di Gorontalo.

Pada Desember 2020, usahanya pupus, kala puluhan itik manila mati tiba-tiba usai pakai air sungai di belakang rumah. Kecurigaan dia air sungai terkontaminasi limbah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Regional Gorontalo. Kerugian Mustafa sampai puluhan juta rupiah.

“Awalnya, ada 40 mati, satu bulan kemudian, 40 mati lagi. Saya rugi banyak, saya stres saat itu,” kata ayah enam anak ini. Kini, dia hanya punya lima itik.

Saat ini, Mustafa sudah tidak lagi jual itik manila. Dia kini kerja serabutan.

Serupa dirasakan Sumi Budo, juga warga Desa Pentadio Barat. Itiknya banyak mati, sekitar 130 ekor usai pakai air sungai di belakang rumahnya.

“Saya lihat itik saya sudah mulai sakit-sakitan, saya langsung berikan kepada masyarakat sekitar untuk dipotong. Daripada rugi mati begitu saya, lebih baik bagikan kepada agar ada gunanya,” katanya.

Perempuan enak anak ini bilang, air sungai yang hanya berjarak dua meter dari rumahnya itu, berwarna coklat dan kehitam-hitaman disertai bau menyengat menusuk hidung. Kondisi ini terjadi setelah air limbah TPA mengalir ke sungai.

“Saya menduga, itik saya mati karena mengkonsumsi air sungai yang sudah dicemari limbah dari TPA,” kata Sumi.

 

Yang dialami Sumi Budo dan Mustafa Ajulango sudah sejak 2018. Hanya saja, itik yang mati tidak banyak seperti Desember 2020. Mereka juga tidak pernah melaporkan kejadian ini ke pemerintah desa setempat, bahkan tidak mengeluh ke TPA. Berhadapan dengan hukum, menjadi ketakutan mereka.

TPA Sampah Regional Provinsi Gorontalo ini dibangun pada 2011 seluas 21,05 hektar, dan beroperasi sejak 2012. TPA yang memiliki empat sel pembuangan sampah dengan luas 4,13 hektar, dan kolam lindi 0,14 hektar ini merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat Provinsi Gorontalo.

TPA ini pakai metode sanitary landfil. Yakni, sistem pengelolaan sampah dengan membuang dan menumpuk sampah ke suatu lokasi yang cekung kemudian dipadatkan dan ditimbun tanah.

Setelah penimbunan, akan terciptalah air lindi atau leachate, merupakan jenis limbah cair dari pemaparan air hujan yang menggenang pada timbunan sampah. Limbah cair ini yang mengalir ke salah satu sungai, yang melintasi tiga desa, yaitu Desa Talumelito, Pentadio Barat, dan Pentadio Timur, di Kecamatan Telaga Biru.

Air lindi itu yang diduga menjadi penyebab ratusan ternak mereka mati. Supriadi Napu, Kepala Desa Pentadio Barat, dan Kepala Desa Pentadio Timur, Rahman Adam melaporkan kejadian ini ke Dinas LIngkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Kabupaten Gorontalo. Mereka meminta harus ada pengujian sampel.

Bukan hanya itu, masalah ini juga dilaporkan ke DPRD Gorontalo. Mereka takut, masyarakat jadi korban. Apalagi, sungai yang teraliri lindi itu bermuara ke Danau Limboto, satu danau terbesar di Gorontalo.

“Dulu, sungai itu banyak ikan dari Danau limboto. Saat ada TPA, ikan-ikan tidak ada lagi,” kata Rahman Adam, awal November lalu.

 

Sungai tercemar

Dugaan kuat warga ternyata benar. Air lindi ke sungai, sudah melebihi nilai ambang batas baku mutu. Berdasarkan hasil pengujian Dinas Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Kabupaten Gorontalo di Laboratorium Kualitas Air Dinas Kesehatan mereka. Pengujian itu pada 2 November 2020, sebulan sebelum ratusan itik manila warga mati.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh Mongabay, pengujian sampel di lima tiik berbeda, yaitu, sampel inlet, outlet, sumur sebelum TPA, dap setelah TPA 1, dan dap setelah TPA 2. Hasilnya, air lindi TPA Sampah Regional Provinsi Gorontalo sudah melebihi nilai ambang batas. Pengujian itu merujuk pada PP Nomor 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Hasil uji memperlihatkan, kandungan residu terlarut atau zat padat terlarut di masing-masing lokasi itu mencapai 4.850, 3.700, 195, 265, dan 555. Dua dari lima lokasi, melebihi batas standar baku mutu sebesar 1.000 Mg/L.

Tingkat kandungan biological oxygen demand (BOD5) atau jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk mengurai zat sisa pada limbah di masing-masing lokasi itu mencapai 4.1, 5.3, 0.8, 1.4, dan 1.4. Zat ini juga dinyatakan melebihi ambang batas standar baku mutu sebesar 2 Mg/L.

Tak hanya itu, kebutuhan oksigen kimiawi (COD) di masing-masing lokasi itu mencapai 30, 25, 10, 13, dan 12. Semua melebihi batas standar baku mutu 10 Mg/L. Ion-ion anorganik alami bagian dari siklus nitrogen atau disebut NO3 sebagai N, juga melebihi ambang batas standar baku mutu sebesar 10 Mg/L. Dari masing-masing lokasi itu kandungan NO3 mencapai 25.5, 25.5, 0.8, 1.8, dan 1.4.

Zat Arsen atau senyawa kimia yang dihasilkan secara alami dalam kerak bumi juga melebihi nilai ambang batas baku mutu sebesar 0.05 Mg/L. Dari lima lokasi yang diambil sampel, zat Arsen mencapai 0.05, 0.25, 0.005, 0.005, dan 0.005. Untuk tingkat keasaman suatu larutan atau zat pH [power of hydrogen], dari semua lokasi masih di bawah ambang batas baku mutu sebesar 6-9 Mg/L.

Syaiful Kiraman, Kepala Dinas LIngkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Kabupaten Gorontalo membenarkan hasil uji sampel baku mutu itu. Dia bilang, langsung menyurati Dinas PUPR Provinsi Gorontalo setelah uji sampel. Pencemaran lingkungan oleh TPA, katanya, sudah berlangsung lama.

“Kita langsung merespon pencemaran itu dengan meminta uji sampel. Setelah ada hasil, kami menyurati dinas terkait untuk meminta TPA bisa melakukan tata kelola yang baik sesuai analisis mengenai dampak lingkungan [amdal] yang dibuat,” katanya.

Hasil pengujian sampel baku mutu yang sudah melebihi nilai ambang batas itu, dikuatkan dengan penelitian Rahmat Dani Buloto, mahasiswa Program Studi Geografi Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Muhammadiyah Gorontalo. Penelitian itu pada 2020 dengan judul “Identifikasi Keterdapatan Air Lindi [leachate] di sekitaran TPA Talumelito dengan Metode Geolistrik”

Berdasarkan penelitian itu, ada kontaminasi lindi terhadap air tanah di sekitar TPA di Desa Talumelito. Dia contohkan, pada kedalaman 1,25-6,38 meter dengan panjang bentangan 5-15 meter terdapat air lindi yang memiliki nilai resistivitas <10 yaitu 3,99-7,80 Ω meter. Hasil itu berdasarkan pengukuran dengan panjang bentangan 115 meter, dan kedalaman 24 meter.

Air lindi di sekitar TPA sudah sepanjang 130 meter dari bak penampungan air lindi dan berpotensi merembes ke pemukiman dan mencemari lingkungan sekitar dengan zat berbahaya. Ketersediaan air bersih pun terancam.

 

Tumpukan sampah termasuk sampah medis di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Regional Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Mesin rusak, anggaran terbatas

Marten Jusuf, Kepala UPTD TPA Sampah Regional Provinsi Gorontalo tak menyangkal hasil uji sampel baku mutu sudah melebihi ambang batas. Dia mengaku, air lindi dari pengelolaan sampah sedari dulu mencemari lingkungan sekitar. Keluhan warga terkait kerap dia dapatkan.

“Ini masalah sudah lama saya tahu. Bahkan, warga sering mengeluh ke TPA. Hanya, saya baru enam bulan jadi Kepala TPA. Saya belum memiliki langka kongkret untuk menangani masalah ini,” kata Marten.

Pencemaran lingkungan, katanya, karena pengelolaan air lindi TPA belum optimal. Mesin aerator yang memberikan suplai oksigen terhadap mikroorganisme atau bakteri aerobik dalam fasilitas instalasi pengolahan juga rusak. Belum lagi, anggaran terbatas.

“Kita sudah beberapa kali memperbaiki mesin aerator itu, tapi tetap rusak. Dari 10 mesin aerator, hanya enam yang berfungsi. Itu juga jadi penyebab air lindi mencemari lingkungan sekitar.”

Selasa 2 November 2021, Mongabay melakukan penelusuran di tempat pengelolaan air lindi yang berjarak sekitar 300 meter dari Kantor UPTD TPA Sampah Regional Provinsi Gorontalo untukmengecek langsung kerusakan mesin aerator. Ternyata, dari 10 mesin aerator, hanya dua yang masih berfungsi.

Nurhadi, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, Bidang Cipta Karya, Dinas PUPR Provinsi Gorontalo juga mengetahui pencemaran lingkungan di UPTD naungannya.

Gorontalo, katanya, kerap hujan hingga menyebabkan air lindi meluap ke pemukiman. Dia benarkan mesin aerator rusak, dan anggaran terbatas.

“Kita sudah merencanakan menambah penampungan air lindi lagi agar tidak meluap. Saat ini, pembangunan sel lima untuk TPA sudah selesai, air di sel 4, akan dipindahkan ke sel 5.”

A.R Mohammad, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia [IDI] Provinsi Gorontalo mengatakan, pencemaran air lindi di TPA Sampah Regional Provinsi Gorontalo berpotensi memicu beberapa jenis penyakit, seperti kanker, hati, ginjal kecacatan janin, bayi lahir prematur, atau bayi lahir dengan berat badan kurang.

Pencemaran air karena limbah TPA, katanya, bisa membuat penduduk sekitar berisiko terkena penyakit hepatitis, kolera, giardiasis, dan blue baby syndrome [methemoglobinemia], akibat mengkonsumsi air yang tercemar. Bahkan, katanya, beberapa zat, seperti benzena, yang diketahui bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker, juga bisa mencemari air di sekitar lokasi TPA.

“Jika warga mengkonsumsi air yang sudah tercemar bakteri atau parasit dari TPA, warga sekitar bisa mendapat penyakit diare. Diare parah bisa berujung kematian. Penyakit methemoglobinemia atau blue baby syndrome juga berpotensi. Bahkan penyakit infeksi, seperti hepatitis A, kolera, dan giardiasis bisa terkena ke warga jika mengkonsumsi air yang sudah tercemar bakteri atau parasit dari TPA,” katanya.

 

 

Sampah era pandemi

Marten mengatakan, pencemaran air lindi ke lingkungan, tidak terlepas dari peningkatan volume sampah di Gorontalo saat pandemi. TPA yang dia kelola mengalami kelebihan kapasitas sejak pandemi COVID-19.

Betul saja, sampah di Gorontalo ternyata mengalami peningkatan selama pandemi. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional [SIPSN] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mencatat sampah Gorontalo dari tiga kabupaten dan satu kota, yaitu, Kabupaten Gorontalo, Bone Bolango, Pohuwato, dan Kota Gorontalo menunjukkan kenaikan saat pandemi.

Dia sebutkan, pada 2019, sampah di Gorontalo 410,07 ton perhari dan 149,675,73 ton pertahun. Saat pandemi atau tahun 2020, sampah meningkat sampai 411,85 ton perhari dan 150.324.70 ton pertahun.

Peningkatan sampah di era pandemi ini, katanya, karena masyarakat hanya menghabiskan waktu di rumah. Pembatasan sosial serskala besar [PSBB], dan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat [PPKM] yang diterapkan pemerintah hingga kini, jadi alasan. Masyarakat yang berbelanja online saat pandemi, juga picu sampah.

Marten bilang, dengan peningkatan sampah, sistem pengelolaan air lindi tidak sesuai perencanaan awal. TPA ini, katanya, hanya bisa tangani dua sel, sekarang mencapai empat sel.

“Itu membuat pengelolaan air lindi tidak optimal, akhirnya mencemari lingkungan. Apalagi, ada beberapa mesin aerator rusak, jadi lebih parah lagi.

Adnan Entengo, anggota DPRD Gorontalo meminta, UPTD TPA segera memikirkan solusi pencemaran yang terjadi. Menurut dia, kelebihan kapasitas yang berakibat pada pencemaran harus jadi masalah serius.

Menurut dia, harus ada pertanggungjawaban atau ganti rugi dari UPTD TPA kepada masyarakat yang tercemar. Dia tak ingin masalah ini terjadi lagi.

“UPTD TPA harus segera ambil solusi dan bertanggung jawab agar masyarakat sekitar tidak terganggu,” katanya.

Sungai yang sudah tercemari air lindi,ternyata bermuara ke Danau Limboto yang merupakan danau terbesar di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia)

 

Limbah medis

Bukan hanya meningkat, diduga ada limbah medis di TPA itu. Berdasarkan hasil penelusuran Mongabay 2 November lalu, ditemukan masker bekas dan beberapa botol infus pasien yang masih terisi.

Ece Katili, pemulung di TPA mngatakan, kerap menemukan sampah medis, kalau sedang bekerja. Botol infus, masker bekas, jarum suntik, hingga obat-obatan.

“Semua sampah medis itu, biasa dimasukkan di kantong plastik. Hari-hari yang saya temukan itu di TPA ini. Kalau sampah-sampah begitu, kita takut untuk menyentuhnya,” kata Ece.

Dia bilang, sampah medis ini sudah ada sejak dulu. Hanya saja, saat pandemi makin banyak. Dia menduga, sampah itu dari rumah sakit, rumah warga dan apotik di Gorontalo.

Usman Abas, pemulung di TPA ungkapkan hal sama. Dia biasa temukan sampah medis. Ada juga yang sering membuang sampah medis di TPA, tetapi dia takut memarahinya.

“Kita hanya pemulung, tidak bisa berbuat apa-apa. Kita disini juga mencari uang, jadi kita tidak menegur orang yang membuang sampah medis di sini. Meski kita tahu sampah itu sangat berbahaya.”

Berdasarkan Data dari Rumah Sakit Umum Daerah [RSUD] Aloei Saboe Gorontalo, sampah medis mengalami peningkatan saat pandemi COVID-19, terhitung Januari 2020-Juli 2021.

Marten menepis dugaan itu. Dia bilang, tak ada limbah medis di TPA. Sampah pasien COVID-19 yang sedang isolasi terpusat, diizinkan buang di TPA.

Dia bilang, sampah masker, alat pelindung diri (APD) dan bahan yang sering digunakan setiap hari dalam melindungi penyebaran virus corona tidak tercatat sebagai limbah medis di TPA ini.

“Kami tidak menerima sampah medis atau sampah COVID-19. Berbahaya jika dibuang disini,” katanya

Yana Yanti, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo tak mengetahui soal sampah medis di TPA ini. Dia menjamin, sampah bukan dari rumah sakit di Gorontalo.

“Seharusnya, sampah medis di TPA dicari tahu asalnya dari mana. Orang yang membuang sampah medis itu harus dicari tahu,” katanya.

Nasruddin, Kepala Bidang Pengkajian dan Penataan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Gorontalo mengatakan, sampah masker, APD, atau bahan lain yang berkaitan dengan COVID-19, seharusnya dicatat sebagai limbah medis. TPA, katanya, tidak bisa menerima limbah medis itu.

“Kalau bicara aturan, tidak bisa limbah yang berkaitan dengan COVID-19 itu dibuang di TPA. Meski limbah berasal dari tempat karantina, atau milik pasien COVID-19 yang sedang karantina mandiri.”

Seharusnya setiap kabupaten atau kota membangun Depo Sampah yang menjadi tempat pembuangan sementara skala kecil. Depo sampah itu, katanya, bisa jadi tempat pembuangan sampah medis dari tempat isolasi terpusat atau rumah warga. Pengelolaan itu juga diatur oleh Kementerian Kesehatan.

“Kalau sampah medis atau sampah COVID-19 di rumah sakit, sudah ada pihak ketiga yang kelola. Hanya sampah medis dari tempat isolasi terpusat atau rumah-rumah warga yang harus dipikirkan. Jangan masukkan TPA, sangat bahaya,” katanya.

Apapun itu, air lindi dari TPA sudah mengalir ke sungai. Air sungai pun sudah melebihi batas baku mutu. Air tercemar, ternak peliharaan warga seperti Mustafa Ajulango dan Sumi Budo, sudah terdampak. Bukan mustahil kesehatan warga juga terancam.

“Sebenarnya, saat pembangunan TPA itu, kita menolak. Kita sudah prediksi, pencemaran lingkungan akan terjadi. Hanya saja, karena pemerintah yang membuat, jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Sumi Budo.

 

 

*Tulisan ini merupakan fellowship Jurnalisme data dari dari Data and Computational Journalism 2021

 

******

Foto utama: Fasilitas instalasi pengolahan air limbah di TPA Sampah Regional Provinsi Gorontalo. Air limbah inilah yang mengalir ke sungai. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version