Mongabay.co.id

Pemerintah Jerman Biayai Program Perhutanan Sosial di Indonesia. Apa yang Ingin Dicapai?

 

Luas Hutan di Indonesia sebesar 120,5 juta hektare atau 63,09 % dari luas daratan. Jumlah penduduk miskin di areal hutan sebanyak 10,2 juta atau 36,73% dari total penduduk miskin di Indonesia.

Program perhutanan sosial dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat telah dilaksanakan oleh pemerintah selama enam tahun. Dari target 12,7 juta hektare perhutanan sosial yang dialokasikan oleh pemerintah, hingga September 2020 sebanyak 4,2 juta hektare telah diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola.

Saat memberikan arahan dalam rapat terbatas yang membahas topik tersebut, Selasa (3/11/2020), Presiden Joko Widodo meminta agar jajarannya bisa menyelesaikan target perhutanan sosial tersebut.

Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK), Muhammad Said, saat pemaparan di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (16/11/2021) menjelaskan terkait Forest Programme V (FP-V).

Said menyebutkan program ini komitmen pendanaannya berasal dari pemerintah Jerman berupa hibah yang dimulai pada 27 September 2021. Program FP-V bertujuan agar instansi pemerintah yang berwenang dan masyarakat menerapkan pengelolaan hutan berkelanjutan secara sosial, ekologis dan ekonomis di areal kawasan hutan yang terpilih guna memperbaiki kondisi ekosistem dan mata pencaharian masyarakat setempat.

“Indikatornya, volume biomassa di 75% areal hutan dipertahankan atau ditingkatkan dan tutupan hutan alam di dalam areal persetujuan terpelihara,” jelasnya.

Selain itu,  pendapatan yang diperoleh dari penjualan kayu, non kayu yang dihasilkan di bawah lima skema perhutanan sosial meningkat sebesar 15%. Juga pengalaman proyek yang relevan menjadi kerangka peraturan di tingkat nasional dan daerah.

baca : Potret Perhutanan Sosial Indonesia Hari Ini

 

Pantauan udara kawasan hutan di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Barat, 80% wilayah Garut merupakan kawasan konservasi. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Realisasi Pencapaian

Terdapat areal Perhutanan Sosial di empat kabupaten yang menjadi lokasi kegiatan Forest Programme V (FP-V) meliputi Kabupaten Garut, Jawa Barat  dengan luas indikatif 70.366 ha, luas definitif  3.367 ha dengan jumlah 73.914 ha.

Kabupaten Madiun, Jawa Timur luas indikatif 5.130 ha, luas definitif 8.630 ha dengan jumlah 14.881 ha. Kabupaten Sikka, NTT, luas indikatif 14.571 ha, luas definitif 12.754 ha dengan jumlah 27.325 ha.

Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, luas indikatif 122.331, luas definitif 12.833 Ha dengan jumlah 135.164 Ha. Total luas indikatif,  212.394 Ha dan luas definitif sebesar 37.584 Ha serta jumlah luasnya mencapai 251.284 Ha.

Konsultan FP-V Yetti Rusli kepada Mongabay Indonesia menjelaskan, program ini murni pembiayaan dari pemerintah Jerman setelah dilakukan feasibility study.

Program ini menyasar Perhutanan Sosial karena ada potensi lahan yang belum termanfaatkan dan sudah dilengkapi dengan aturan.

“Ada tiga alasan yakni pertama ini sebetulnya targetnya perubahan iklim dan kedua sebab Pemerintah Jerman sangat memperhatikan kelestarian sosial. Alasan ketiga, karena targetnya untuk kesejahteraan masyarakat,” paparnya.

perlu dibaca : Perhutanan Sosial ASEAN dan Ketahanan Ekonomi Lokal di Masa Pandemi

 

Hutan Lindung Mendawak yang berbatasan dengan areal konsesi PT WSL yang masih terjaga ekosistemnya di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Said menambahkan, ada lima skenario Perhutanan Sosial dalam koridor Undang-Undang Cipta Kerja meliputi Hutan Kemasyarakatan (HKm) yaitu hutan negara yang dikelola oleh masyarakat dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar agar tercipta kesejahteraan.

Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat yang sebelumnya merupakan hutan negara ataupun bukan hutan negara. Hutan Desa yaitu hutan negara yang dikelola oleh lembaga desa dengan tujuan untuk menyejahterakan suatu desa.

Dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur untuk menjamin kelestarian hutan

Serta Kemitraan Kehutanan, kerjasama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), atau pemegang izin usaha hutan lainnya.

baca juga : Ulasan Tutup Tahun: Kala Perhutanan Sosial Tak Masuk Proyek Strategis Nasional

 

Beragam produk seperti racikan obat-obatan alami yang diperoleh dari hutan adat di Kalimantan. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Said, capaian Perhutanan Sosial hingga 10 Agustus 2021 realisasinya sebesar 4.721.389,78 ha dengan pengelola 1.029.529 Kepala Keluarga (KK) dengan 7.212 Unit SK Izin atau hak.

Dia memaparkan, Hutan Desa luasnya 1,869,661.36 ha, Hutan Kemasyarakatan 834,706.05 ha, HTR 349,981.58 ha, Kemitraan Kehutanan meliputi Perlakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) seluas 481,229.56 Ha dan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) seluas 35,613.23 Ha.

Selain itu ada Hutan Adat meliputi Penetapan Hutan Adat seluas 59.443 Ha dan Indikatif Hutan Adat jumlahnya 1.090.755 Ha.

Realisasi per tahunnya, tahun 2007-2014 luasnya 456,266.26 Ha, jumlah KK 109,048 dan jumlah unit SK atau Izin sebanyak 3,215. Tahun 2015, luasnya 96,413.03 Ha,jumlah KK 26,832 serta jumlah SK 125.

Tahun 2016, luasnya 162,168.20 Ha untuk 37,775 KK dan jumlah SK 189, tahun 2017 luasnya 524,291.83 Ha, jumlah KK 157,405 yang terdiri dari 505 SK. Untuk tahun 2018 luasnya mencapai 1,227,611.43 Ha, jumlah KK 298,604 serta jumlah izin 1,293. Tahun 2019 luasnya 1,582,073.16 Ha, jumlah KK 239,951 serta 1,079 SK.

Tahun 2020 capaian luasnya 385,795.57 Ha, jumlah KK 58,178 serta 359 SK dan tahun 2021 luasnya 286,770.30 Ha, jumlah KK 101,736 serta 447 SK.

baca juga : Perhutanan Sosial Tak Sekadar Beri Hak Kelola Hutan

 

Ilustrasi. Seorang warga memperlihatkan biji kopi di Hutan Desa Labbo Kecamatan Tompobulu. Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan yang dikelola dengan skema Perhutanan Sosial sejak 2010. Foto : Burung Indonesia/Rekam Nusantara

 

Apa Targetnya?

Said menambahkan tujuan yang ingin dicapai, instansi pemerintah yang berwenang dan masyarakat menerapkan pengelolaan hutan berkelanjutan secara sosial, ekologis dan ekonomis di areal kawasan hutan yang terpilih guna memperbaiki kondisi ekosistem dan mata pencaharian masyarakat setempat.

Indikator keberhasilan program tolak ukurnya, volume biomassa di 75% areal hutan dipertahankan atau ditingkatkan. Tutupan hutan alam di dalam areal persetujuan terpelihara.

Selain itu, pendapatan yang diperoleh dari penjualan kayu, non-kayu yang dihasilkan di bawah lima skema perhutanan sosial meningkat sebesar 15%.

“Pengalaman proyek yang relevan akan menjadi kerangka peraturan di tingkat nasional dan daerah,” ungkapnya.

Said jelaskan, output  atau keluarannya, pertama, kapasitas para pihak terkait perhutanan sosial baik pemerintah pusat, daerah serta masyarakat meningkat. Indikatornya, sebanyak 500 orang memperoleh keterampilan.

Keluaran kedua, kehutanan yang berkelanjutan secara finansial dan tahan iklim diterapkan oleh masyarakat

Indikator keberhasilannya, 75% Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) menerapkan pola produksi atau pengelolaan yang tahan terhadap iklim. Selain itu, 66% KPS atau KUPS melaksanakan rencana pengelolaan sesuai rencana yang disepakati.

Keluaran ketiga, harmonisasi kebijakan terkait perhutanan sosial meningkat. Indikatornya, pengalaman yang relevan dengan proyek dikompilasi dan dianalisis secara sistematis (10 pengalaman). Serta tiga usulan perubahan pedoman dan  peraturan dijabarkan dan disiapkan untuk disetujui.

perlu dibaca : Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia

 

Warga duduk di sebuah pohon tumbang diatas sungai Tunaohok di dekat perkampungan Leng dalam kawasan hutan Lindung Egon Ilimedo di desa Waiterang kecamatan Waigete kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Koordinator program FP-V Wilayah NTT, Timbul Batubara menyebutkan, kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jerman dilakukan guna mendukung percepatan program perhutanan sosial.

Ia sebutkan, kedua belah pihak sepakat menjalankan FP V, Social Forestry Support Programme yang dilaksanakan selama 7 tahun dari tahun 2021 sampai dengan tahun 2027 dengan pendanaan sebesar 11,5 juta euro dan komitmen tambahan sebesar 10 juta euro.

Pendanaannya, kata mantan Kepala BKSDA NTT ini dibagi 60% untuk Kabupaten Sanggau, Sikka 30% persen dan Garut dan Madiun masing-masing 5% dari total dana.

Menurutnya, FP-V targetnya harus ada kesetaraan jender dalam pengelolaan perhutanan sosial dan menurunkan angka kemiskinan.

“Harus terbukti ada keberhasilan selama 6 tahun pelaksanaan program dan ada peningkatan ekomoni masyarakat minimal 15 persen di setiap wilayah program,” pungkasnya.

 

Exit mobile version