Mongabay.co.id

Dilema Nelayan Jambula : Tangkapan Ikan Tuna Makin Kecil dan Menjauh

 

“Tangkap tuna itu lain dulu lain sekarang. Dulu tangkap tuna gampang. Sekarang susah. Sekarang keberadaanya makin jauh, ukuran juga makin kecil. Fenomena apa ini? Apakah sumberdaya ikan makin berkurang, penduduk makin banyak, jenis alat tangkap makin beragam? Kita perlu pikirkan lagi menangkap ikan yang baik untuk keberlanjutan demi anak cucu ke depan,” kata Gafur Kaboli, nelayan champion kelompok fair trade Marimoi Jambula, Kota Ternate, Maluku Utara saat diskui bersama nelayan dan perwakilan masyarakat, Sabtu (21/11/2021).

Diskusi ini bertepatan dengan Hari Perikanan Sedunia (World Fsiheries Day/WFD). Hari penting itu diperingati sebagian nelayan di Jambula, Pulau Ternate, Maluku Utara bersama Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) yang beberapa tahun ini melakukan pendampingan nelayan tuna di Maluku Utara.

Dia memaparkan bahwa ada amanat nasional pengelolaan sumberdaya ikan. Pertama berhubungan dengan hak menangkap ikan bagi nelayan maupun pengusaha perikanan. Kedua, pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan berkualitas dengan memperhatikan keanekaragaman hayati dan sumberdaya ikan. Ini semua demi ketahanan pangan dan penanganan kemiskinan. Hal itu, katanya, menjadi tanggung jawab semua. Nelayan, pengusaha bahkan penjual ikan di pasar bertanggung jawab untuk perikanan yang berkelanjutan.

Sebelum diskusi, diputarkan film Fair Trade dan I Fish tentang pendataan perikanan tuna untuk para nelayan yang tergabung dalam kelompok nelayan tuna.

Film yang berbasis lokasi di Pulau Bisa Obi Maluku Utara  dan beberapa wilayah dampingan lain itu, ingin memberi pemahaman bagi nelayan atas kondisi sumberdaya perikanan yang dimiliki saat ini. Terutama keberlanjutan sumberdaya agar tetap ada demi anak cucu di kemudian hari.

baca : Ikan di Laut Ternate Makin Sulit Didapat, Dampak Destructive Fishing?

 

Nelayan Kelurahan Jambula, Ternate, Maluku Utara pulang melaut dan menurunkan hasil tangkapananya. Foto : MDPI

 

Film ini menceritakan mekanisme pengumpulan data melalui sistem IFish sehingga data bisa diakses pemerintah daerah dan para pihak guna mengetahui kondisi perikanan tuna di Indonesia. Dimulai dengan mengukur sampel tangkapan. Pengumpulan data juga dengan wawancara misal penggunaan es, bahan bakar minyak, dan area penangkapan. Ada juga dokumentasi pemberian insentif dana premium serta pelatihan menciptakan kondisi kerja yang aman (safety at sea) seperti kotak obat dan pelampung.

Dalam pemaparanya terkait kondisi tuna, Gafur mengajak para nelayan, setidaknya memikirkan ada jeda melaut atau istirahat sehari menangkap ikan. Tujuannya untuk memberi waktu jeda, agar ikan bertelur dan bisa berkembang biak.

Mengistirahatkan laut sehari bisa memberikan kesempatan ikan berkembang biak. Telur jadi anakan, lalu dewasa, memijah dan produksi telur lagi. “Bagaimana kalau libur melaut tiap Jumat. Menyisihkan satu hari istirahat untuk mengurangi tekanan penangkapan,”ajak Gafur.

Hal ini penting, katanya, karena ikan semakin besar, telurnya jauh lebih banyak. Kalau ukuran ikan 40 cm menghasilkan telur 350 ribu. Ikan berukuran 50 cm menghasilkan satu juta telur, dan di atas itu bisa bertelur sampai 3 juta. Jika sehari saja memberi waktu rehat tidak menangkap induk tuna, berarti sudah memberi waktu bagi ikan ini bertelur dan memijah yang lebih banyak.

Dia contohkan, sudah ada upaya dilakukan pemerintah. Misalnya di Laut Banda ada penutupan area di zona tertentu selama 3 bulan waktu ikan memijah. Saat itu yang bisa melaut hanya kapal skala kecil. Juga dilakukan pengendalian alat tangkap, pembatasan izin masuk, dan menentukan kuota tangkap.

baca juga : Mengapa Penangkapan Tuna Masih Didominasi Nelayan Skala Kecil?

 

Nelayan Kelurahan Jambula, Ternate, Maluku Utara pulang melaut dan menurunkan hasil tangkapananya. Foto : MDPI

 

Mahrumi H. Ismail tokoh agama setempat mendukung gagasan istirahat melaut di hari Jum’at. Pasalnya, laut sama dengan manusia, butuh istirahat untuk pemulihan.

Dia juga mengajak para nelayan mendata hasil tangkapannya sebagai sarana aspirasi nelayan melalui data penangkapan.

“Setiap kebijakan yang diambil pemerintah atau pembuat kebijakan perikanan, berdasarkan data-data yang diberikan nelayan. Karena itu penting memberi data data tersebut,” kata Rahman Pelu, Koordinator Daerah MDPI Maluku Utara saat sambutan diskusi.

Tidak itu saja, nelayan juga tidak boleh membuang sampah di laut, serta tidak menangkap satwa terancam punah. Seperti hiu, penyu dan lumba lumba.

Data yang dihimpun MDPI juga menunjukkan tangkapan ikan tuna yang makin kecil ukurannya dan jarak tangkapan yang makin jauh sehingga waktu dan biaya bahan bakar juga makin besar. “Inilah tanda-tanda dari menurunnya hasil tangkapan yang perlu diwaspadai nelayan kecil seperti kita yang memiliki keterbatasan dibanding kapal besar,” ujar Rahman.

perlu dibaca : Pertama di Dunia, Ratusan Nelayan Tuna Pulau Buru Maluku Raih Sertifikat Ekolabel MSC

 

Pengukuran ikan tuna milik nelayan Jambula, Ternate, Maluku Utara oleh enumerator MDPI. Foto : MDPI

 

Gafur lantas membeberkan data perikanan tuna IFish MDPI pada 2014, di mana di WPP 714 dan 715 hasil tangkapan tuna ukurannya 150-170 cm dengan stok yang masih melimpah. Tapi pada 2020, terjadi sebaliknya. Hasil tangkapan tuna kebanyakan ukurannya kecil.

“Ada apa? laut bermasalah? Masalahnya karena ikan tuna bermigrasi serta karena penangkapan berlebih,”ujar Gafur yang juga anggota kelompok nelayan berjumlah 25 orang itu.

Dia juga menceritakan sejarah habisnya ikan kod di Kanada akibat penangkapan berlebihan pada kurun 1.400-an, sehingga membuat pemerintah melakukan moratorium penangkapan ikan itu hingga kini. Saat ini populasi ikan kod hanya pulih 1%. “Ini contoh yang bisa saja suatu saat bisa terjadi untuk ikan tuna saat ini jika tidak dipikirkan keberlanjutannya,” ujarnya.

Menurutnya, nelayan sangat tergantung dengan laut, sehingga penangkapan ikan harus ramah lingkungan, tidak mengganggu satwa yang dilindungi seperti lumba-lumba, penyu, dan hiu. Tidak buang sampah di laut, dan mematuhi prinsip perikanan berkelanjutan. Masalah lainnya adalah banyak kapal ikan besar ikut menggerus hasil tangkapan nelayan kecil seperti mereka.

Selain itu ada juga pengeboman dan penggunaan potassium dari praktek destructive fishing. Akibatnya, terumbu karang sebagai rumah ikan ikut hancur. “Semua punya saling ketergantungan. Kalau ada yang rusak, laut juga tidak sehat, ikan jadi habis,” lanjut Gafur yang juga Pengawas Koperasi Nelayan Bubula Ma Cahaya Jambula itu.

baca juga : Fokus Liputan : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Begini Praktiknya untuk Nelayan Kecil [Bagian 2]

 

Nelayan ikan Tuna di Desa Bere-bere, Pulau Morotai, Maluku Utara sedang menurungkan hasil tangkapannya. Foto : USAID

 

Sedangkan Ruslan S. Djauhar, Lurah Jambula, Kecamatan Pulau Ternate yang hadir dalam diskusi menyatakan mendukung upaya memikirkan perikanan berkelanjutan. “Sudah saatnya dipikirkan sistem perikanan yang keberlanjutan dengan cara-cara penangkapan yang ramah lingkungan,” katanya.

Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip fair trade dalam program pendampingan MDPI di beberapa lokasi perikanan wilayah Maluku Utara. Rahman Pelu, Koordinator Daerah MDPI Maluku Utara mengatakan, MDPI sudah mengembangkan sejumlah sistem perikanan fair trade yang akan meningkatkan penghasilan nelayan kecil jika diterapkan.

Misalnya, pendampingan sertifikasi fair trade di kelompok nelayan tuna skala kecil dan meningkatkan pengorganisasian kelompok untuk praktik penangkapan bertanggungjawab. “Manfaat sertifikat fair trade, bisa mendapatkan dana premium yang digunakan untuk program lingkungan dan sosial oleh nelayan,” pungkasnya.

 

Exit mobile version