Mongabay.co.id

Teater Sumatera: Jejak Rempah Itu Bukan Hanya Kejayaan

 

 

“Rempah itu bukan hanya kejayaan, rempah itu rasa sakit, dendam, dan kebencian.”

Pernyataan itu disampaikan Ari Pahala Hutabarat, penulis naskah dan sutradara “Nusantara: Amnesia” yang ditampilkan Komunitas Berkat Yakin [KoBER] dari Lampung, dalam Festival Teater Sumatera [FTS] 2021 di Taman Budaya Sriwijaya, 11-13 November 2021 lalu.

FTS 2021 mengusung tema “Sriwijaya dalam Jejak Rempah”. Tema ini diambil sebagai respon terkait upaya pemerintah Indonesia untuk menjadikan Jalur Rempah sebagai Jalur Budaya Warisan Dunia ke UNESCO [The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization].

“Rempah itu yang melahirkan kolonialisme. Rempah mendorong sejumlah individu dan kelompok untuk mendominasi, sehingga menghilangkan berbagai suku, budaya dan tradisi yang tumbuh dan berkembang pada masa sebelumnya. Pertunjukan yang kami sajikan menarasikan hal tersebut,” kata Ary saat diskusi karya, usai pertunjukan di Galeri Cipta, Taman Budaya Sriwijaya, Palembang, Jumat [12/11/2021].

Ary pun mempertanyakan kebesaran peradaban masyarakat di Nusantara di masa Jalur Rempah. “Jika peradaban bangsa ini besar, seharusnya banyak produk budaya atau tradisi dari Nusantara yang menyebar ke berbagai wilayah di dunia,” lanjutnya. Ary bersama KoBER menyajikan karyanya setelah melakukan kajian pada masyarakat Lampung yang di masa kolonial Belanda terkenal dengan produksi ladanya [lada hitam].

Teater Senyawa dari Bengkulu coba menarasikan hal sama dalam pertunjukan “Meja Makan” yang ditulis dan disutradarai Adhyra Pratama Irianto.

“Rempah itu menarik mereka yang tamak. Rempah membuat para pendatang itu bukan hanya memonopoli, juga menghina masyarakat lokal. Bagi kami rempah itu terlihat sebagai sejarah penghinaan,” kata Adhyra.

Iqbal H. Saputra, sutradara dan penulis naskah “Gugat: Bergerak dari Selatan” yang ditampilkan tim Dewan Kesenian Belitung, Kepulauan Bangka-Belitung, menyajikan sejarah penderitaan bagi masyarakat di Pulau Belitung dan pulau-pulau kecil lainnya di masa lalu.

“Rempah bukan hanya melahirkan perdagangan dan pelayaran. Tapi juga peperangan. Rempah membawa darah sepanjang jalan sejarah di Belitung. Rempah menjadi saksi atas siksa,” kata Iqbal.

“Banyak korban jiwa atas perundingan liar, jahat, terkutuk dan biadab terkait perdagangan rempah,” lanjutnya.

Baca: Musik dan Perubahan Bentang Alam di Sumatera Selatan

 

Ku-Tuk oleh Teater Potlot, sebuah narasi tentang perjalanan penindasan akibat perdagangan rempah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ketertindasan bangsa di Nusantara akibat perdagangan rempah bukan hanya pada masa kolonialisme bangsa Eropa. “Kami berasumsi Kedatuan Sriwijaya adalah guru kapitalis di Nusantara. Buktinya, Kedatuan Sriwijaya membuat banyak prasasti yang berisi persumpahan di wilayah yang kaya alamnya. Baik mineral seperti emas dan timah, juga rempah-rempah,” kata Conie Sema, penulis dan sutradara “Ku-Tuk” yang disajikan Teater Potlot.

“Jika masyarakat yang ditaklukan itu tidak setia, maka mereka akan dikutuk sebagai hukumannya,” lanjut Conie.

“Kesetiaan yang diinginkan pemimpin Sriwijaya tentunya tidak ada kelompok masyarakat yang mengganggu aktivitas ekonomi yang dilakukan Sriwijaya, yakni perdagangan rempah-rempah, emas, timah, dan lainnya,” ujar Conie.

Setelah Sriwijaya runtuh, upaya mendominasi perdagangan rempah dilanjutkan penguasa baru, baik kerajaan, kesultanan, hingga bangsa Eropa. “Bangsa Eropa itu menurut kami meniru dengan apa yang sudah berlangsung sebelumnya.”

Dapat dikatakan, lanjutnya, berbagai suku bangsa yang masih hidup di Nusantara pada saat ini, pada masa lalu mungkin pernah menindas dan tertindas, “Tidak ada ciri fisik, bahasa, kepercayaan, seni, dan lainnya yang memastikan sebuah kelompok penindas dan tertindas. Semuanya pasti memiliki ingatan akan keduanya,” kata Conie.

Sebagai informasi, Lampung, Bengkulu dan Kepulauan Bangka Belitung, masuk dalam sejarah “tertindas” dalam perdagangan rempah oleh sejumlah penguasa yang berpusat di Palembang. Di masa Kedatuan Sriwijaya, getah damar, kayu manis, gaharu, emas, timah, menjadi komoditas yang dikuras atau diambil guna pemenuhan perdagangan Sriwijaya dengan Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pasca-keruntuhan Sriwijaya, tiga wilayah tersebut menjadi perebutan pada pendatang. Kondisi ini terus berlangsung hingga masa Kesultanan Palembang dan Kesultanan Banten, yang bekerja sama dengan VOC, dalam memperdagangkan emas, timah, dan lada.

“Duka ini terus kami rasakan hingga saat ini. Timah terus membuat banyak persoalan bagi masyarakat di Pulau Belitung hingga saat ini,” kata Iqbal.

Baca: Pandemi dan Kecemasan Manusia Terhadap Persoalan Lingkungan

 

Mereka bukan hanya merampas kekayaan, juga menghina. Begitu disampaikan Teater Senyawa dalam Meja Makan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Narasi kehilangan

Teater Tonggak dari Jambi menampilkan “Tuah Hidang yang Hilang”. Pertunjukan yang naskahnya ditulis dan disutradarai Didin Siroz, mengabarkan jika pada saat ini tuah [berkah] dari rempah sudah hilang. Hilangnya tuah dikarenakan ketamakan manusia yang berdampak rusaknya lingkungan hidup.

Studi Teater dari Palembang menyajikan “Kayu Manis”.

“Awalnya kayu manis digunakan sebagai obat-obatan. Dia bahagia dan tidak mati. Tapi setelah dijadikan komoditas bisnis akibat ketamakan manusia, banyak pohon kayu manis yang berusia pendek. Nasibnya, sama dengan pohon-pohon rempah lainnya seperti gaharu dan damar. Mereka adalah pohon-pohon kesedihan,” kata Dandi Rianto selaku sutradara pertunjukan.

Narasi kehilangan juga terlihat pada pertunjukan “Hikayat Tubuh Rempah” oleh Rumah Seni Glinyoeng Art dari Aceh. “Tidak ada lagi ingatan akan kejayaan rempah pada sebagian masyarakat di Aceh. Mereka hanya memahaminya sebagai sebuah kisah atau dongeng,” kata Rasyidin, penulis naskah dan sutradara.

Suku Seni Riau membawakan “The Terubuk; Migrasi Ikan-ikan Menuju Tuhan”. Pertunjukan ini mengisahkan ikan terubuk [tenualosa macrura] yang sangat terkenal di Riau. Saat ini populasi ikan terubuk mulai berkurang karena rusaknya bentang alam. Mulai dari hutan, sungai hingga laut.

“Berkurangnya populasi ikan terubuk ini bukan hanya berdampak ekonomi bagi masyarakat, juga membuktikan adanya persoalan lingkungan, seperti rusaknya hutan, sungai dan laut, serta hilangnya jejak sejarah perdagangan rempah di Riau,” kata Marhalim Zaini, Kepala Suku Seni Riau, yang menulis naskah dan menyutradarai “The Terubuk; Migrasi Ikan-ikan Menuju Tuhan”.

Baca juga: Melacak Jejak Rempah di Sumatera Selatan

 

Nusantara Amnesia, sebuah pertunjukan oleh KoBER dalam Festival Teater Sumatera [FTS] 2021 di Taman Budaya Sriwijaya Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kondisi rempah di Sumatera

Di masa lalu, Pulau Sumatera dikenal sebagai pulau rempah. Pada masa Kedatuan Sriwijaya, rempah yang dikenal antara lain kapur barus, kayu manis dan getah damar.

Sementara di masa kedatangan bangsa Eropa [Portugasl, Belanda, dan Inggris], ada empat rempah yang terkenal yakni cengkih, pala, kayu manis, dan lada [Marsden,1986].

Namun komoditi rempah yang paling dicari bangsa Eropa di Sumatera yakni lada. Pada awalnya lada banyak diproduksi di Lampung dan Aceh, selain Palembang, Sumatera Timur, Jambi, serta Pulau Bangka dan Belitung.

Saat ini, lada masih diproduksi oleh sejumlah wilayah di Sumatera. Dikutip dari pertanian.go.id, dari tahun 2017 hingga 2021, Kepulauan Bangka-Belitung menjadi produsen tertinggi lada [putih] di Indonesia, bukan hanya di Sumatera. Disusul Lampung dengan lada hitam.

Selain Kepulauan Bangka Belitung dan Lampung, lada dihasilkan Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu.

Rata-rata produksi lada di Kepulauan Bangka Belitung yakni 87.991 ton [2017], 88.235 ton [2018], 87.619 ton [2019], 88.254 ton [2020], dan 89.153 ton [2021].

 

 

Exit mobile version