Mongabay.co.id

“Sang Garuda” ke Alam Bebas, Paruh Bengkok Makin Terdesak

 

 

 

 

Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) mengepakkan sayap keluar dari kandang seluas lapangan bola voli di kawasan Coban Trisula, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), 29 Oktober lalu. Elang Jawa berusia dua tahun ini melesat, meninggalkan kandang setelah Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, mengayunkan golok. Menebas seutas tali tambang di sebuah batang pohon. Tambang pengikat pintu kandang putus, pintu kandang terbuka.

Elang betina itu bernama Mirah. Kini ia terbang bebas, menghuni kawasan hutan dataran rendah di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut (m.dpl). Elang ini hasil penyerahan tokoh masyarakat Desa Sendangrejo, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman pada 8 Juli 2020 melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta. Tokoh masyarakat menyelamatkan elang dengan membeli di sebuah pasar burung.

Diduga elang Jawa ini dipelihara sejak kecil. Setelah diterima BKSDA Yogyakarta, elang Jawa menjalani proses rehabilitasi selama 15 bulan di Stasiun Flora Fauna (SFF) Bunder. Selanjutnya, diperiksa kesehatan dan diamati perilaku hingga siap lepas liar.

“Setelah dilepasliarkan selanjutnya dipantau relawan dari mahasiswa kedokteran hewan Universitas Brawijaya,” kata Wiratno.

Si Mirah diberi tanda di sayap. Proses monitoring selama sembilan hari, untuk memastikan elang Jawa bisa berburu dan mendapat pakan cukup.

Dia meminta, warga setop penangkapan elang Jawa di alam karena satwa langka dilindungi. “Lebih bagus memcintai burung dengan melihat di alam, bird watching,” katanya.

Di Taman Nasional Gunung Halimun, katanya, proses perkawinan elang di pohon dengan ketinggian 25 meter bisa dipantau dengan kamera pengawas. Sedangkan TNBTS, katanya, tak hanya menyimpan keindahan lanskap semata tetapi keanekaragamanhayati.

Novita Kusuma Wardani, pelaksana tugas Kepala Balai Besar TNBTS mengatakan, populasi elang Jawa di TNBTS ada 35. Mereka tersebar di seluruh kawasan hutan dataran rendah di ketinggian 600-2.000 mdpl seluas 50.276 hektar.

 

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Wiratno mengayunkan golok memotong seutas tali tambang untuk melepas Elang Jawa (Nisaetus bartelsi). Foto: Eko Widianto)/ Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, juga dilepas dua elang Jawa di TNBTS. Tutupan hutan di TNBTS, katanya, relatif bagus dan cocok untuk pelepasan elang Jawa.

Sebelum itu, petugas Balai Besar TNBTS dan Raptor Indonesia melakukan pendataan dan survei lokasi menentukan tempat cocok dan sesuai untuk melepasliarkan elang Jawa.

Kawasan TNBTS habitat bagi 200 jenis burung, mamalia dan primata termasuk macan tutul (Panthera pardus melas) jenis kucing besar penghuni TNBTS. Sensus atau monitoring populasi terakhir, katanya, ada 22 ekor hasil pantai kamera pengintai.

Zaini Rahman, Direktur Raptor Indonesia (RAIN) mengatakan, pemantauan Raptor Indonesia, populasi elang Jawa di habitat ada sekitar 571 tersebar di taman nasional dan hutan lindung. Burung endemik Jawa ini ada indikasi ditemukan di Bali.

“Akan dilaporkan ke IUCN (The International Union for Conservation of Nature) ada catatan baru ditemukan di Bali.” Temuan di Bali pada 1986, dan terdokumentasi fotografer pada 2005.

Populasi elang Jawa sedikit, karena rata-rata bertelur satu sampai dua tahun sekali. Sedangkan telur belum tentu menetas dan anakan bisa bertahan karena ada ancaman predator, dan perburuan dengan mengambil anakan. Anakan elang Jawa ditangkap dan diperjualbelikan.

Reproduksi elang Jawa, rata-rata mulai tiga sampai empat tahun. Untuk usia, katanya, sampai sekarang belum ada penelitian, namun ada genus lain rata-rata berusia 20-25 tahun.

Selain di Yogyakarta, pusat tehabilitasi raptor tersebar di DKI Jakarta, Pusat Rehabilitasi Elang Kamojang di Garut dan Taman Nasional Halimun Salak, Jawa Barat. Sebanyak 145 elang Jawa menjalani rehabilitasi di Kamojang dan 26 di Pusat Rehabilitasi Raptor RFF, Bunder, Gunungkidul, Yogyakarta.

 

Poster Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) pelepasliaran satwa endemik Jawa di TNBTS. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Kaya raptor

Zaini bilang, Indonesia kaya keragaman jenis elang. Di dunia, ada 311 jenis elang, 90 jenis di Asia sebanyak 82% tercatat di Indonesia. “Sekarang, musim migrasi raptor dari Asia Timur mulai Siberia, Korea, China ke Indonesia. Bromo penting, menjadi jalur migrasi,” katanya.

Perburuan, katanya, jadi faktor paling tinggi dalam laju ancaman elang Jawa. Pada 2005, populasi elang Jawa sekitar 435 pasang, dalam 2010 menyusut jadi 325 pasang. Kurun waktu lima tahun ada 110 pasang elang Jawa hilang. Kerusakan habitat atau hutan jadi satu faktor penyebab lain.

Didik Gatot Subroto, Wakil Bupati Malang, saat pelepasliaran elang Jawa berpesan agar setop perburuan satwa di alam. Dia mengajak petugas TNBTS berkoordinasi dan kalau perlu dukungan personil untuk patroli bersama menjaga kelestarian elang Jawa.

Pemerintah Kabupaten Malang, katanya, mendukung usaha menjaga keanekaragaman hayati. Warga sekitar kawasan, katanya, perlu sosialisasi untuk menumbuhkan kecintaan terhadap keanekaragaaman hayati.

 

Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) yang dilepasliarkan di TNBTS. Foto: TNBT

 

Ancaman bagi satwa di Maluku-Maluku Utara

Di Jawa, elang Jawa terancam perburuan, begitu juga di Maluku Utara dan Maluku, burung-burung endemik seperti elang bengkok juga jadi target.

Dua provinsi ini kaya jenis paruh bengkok. Betapa tidak, sesuai data Burung Indonesia dan Bird Life Internasional   dari 92 jenis paruh bengok di Indonesia, 50 ada di garis Wallacea. Sementara spesies paruh bengkok di pulau-pulau di Maluku Utara dan Maluku ada 34 spesies. Perburuan menggila dan habitat makin menipis bikin paruh bengkok terus terdesak.

BKSDA Maluku-Malut didukung Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP) dan Burung Indonesia adakan pelatihan terpadu penanganan satwa liar di Kepulauan Maluku dan Maluku Utara,  Oktober lalu.

Danny H Pattypeilohi, Kepala BKSDA Maluku-Malut mengatakan, Maluku dan Maluku Utara memiliki banyak pintu masuk dan keluar membuat perburuan dan perdagangan satwa liar sulit terawasi.

“Daerah ini banyak pintu masuk dari pulau-pulau yang dengan pelabuhan laut cukup banyak. Begitu juga dengan bandara. Ini jadi masalah serius karena perlu penanganan bersama melibatkan berbagai pihak terutama penegak hukum,” katanya.

Kedua provinsi ini, katanya, ada tujuh daerah laut yakni Laut Banda, Laut Seram, Laut Maluku, Laut Arafuru, Laut Flores, Laut Timor dan Samudera Pasifik. Daerah ini juga memilki akses area dengan 69 pintu keluar masuk untuk peredaran tanaman dan satwa liar (TSL).

 

Nuri Ternate, jenis paruh bengkok hasil sitaan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

“Di Maluku ada 15 bandar udara dan 21 pelabuhan laut. Di Maluku Utara ada sembilan bandar udara dan 24 pelabuhan laut. Daerah ini juga berbatasan dengan tiga negara   secara langsung yakni Filipina, Australia dan Timor Leste.”

Begitu banyak pintu masuk dan keluar ikut membuat spesies endemik kedua daerah ini dampak. Perburuan paruh bengkok terjadi hampir di seluruh pulau mulai Morotai, Halmahera, Tidore, Bacan, Kasiruta, Obi, dan pulau-pulau kecil lain.

Dari penelitian di Pulau Obi pada 2014, sekitar 7.878 paruh bengkok ditangkap dari alam setiap tahun. Penelitian 2018 di Morotai dan Halmahera, katanya, rata-rata penangkapan paruh bengkok 7.012 per-tahun.

 

Penanganan kasus

Untuk data BKSDA Maluku-Maluku Utara, menyangkut kasus penangkapan burung dan satwa lain yang berhasil digagalkan aparat baik polisi maupun petugas BKSDA sejak Januari 2018-September 2021 ada 113 kasus dengan 3.217 terbanyak 2.492 burung, sisanya satwa liar lain, dan bagian-bagiannya.

Sugeng Irianto, Kanit 5 Subdit 1/Indusmen Dittipidter Bareskrim Polri mengatakan, kejahatan perdagangan liar satwa liar masuk kategori kejahatan transnasional terorganisir, Kejahatan ini, katanya, melibatkan jaringan mafia terstruktur lintas batas negara. Nilai kerugian dari perdagangan terlarang ini bersaing dengan perdagangan narkotika, perdagangan manusia dan barang barang palsu.

Skema perdagangan satwa liar, katanya, mulai dari hilir hingga hulu diawali pemburu, pengepul, makelar dan pembeli serta pembantu kejahatan selaku transporter.

Dia contohkan, kasus di Indonesia Timur saja, ada kelompok Sorong yang memperjualbelikan kakatua jambul kuning, kakatua raja, nuri kepala hitam, cendrawasih sampai kanguru tanah.

Mereka mengangkut satwa liar itu dengan kargo udara melalui Bandara Sorong tujuan Soekarno Hatta. Mereka juga mengangkut satwa liar melalui cargo laut pelabuhan Sorong dengan tujuan Tanjung Perak, Surabaya. Pengangkutan ini untuk memenuhi permintaan pesanan dari Pulau Jawa.

Jalur Kargo laut juga melalui Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara yang didistrubusikan ke Filipina lewat kapal dan ditransfer di perairan internasional. Kasus ini dilakukan penangkapan pada April 2018.

 

Penyerahan satwa dari polisi ke BKSDA di Halmahera. Foto: BKSDA

 

Untuk Maluku Utara, ada temuan kasus di Pelabuhan Halmahera Timur dan Ahmad Yani Ternate , satwa dikirim ke Sulawesi Tengah dan Bau-bau lalu ke Pelabuhan Kepulauan Riau.

“Ada juga kasus terbaru penyelundupan 300 nuri dari Medan tujuan Kualalumpur dan Hanoi. Ada lagi importasi ribuan burung dari Belanda dan Inggris pakai surat sertifikat palsu.”

Beny Aladin, Biodiversity Conservation Officer katakan,   mengingat masih banyak ancaman baik terhadap habitat maupun perdagangan ilegal maka perlu pelatihan yang melibatkan multi pihak. Tujuannya, bersama-sama menanggulangi dan melindungi paruh bengkok.

 

Hadapi kendala

Di tengah keterancaman satwa ini masalah serius dihadapi BKSDA. Contoh kasus BKSDA Maluku-Malut memililiki wilayah kerja sangat luas tetapi sumber daya manusia sangat terbatas.

Danny bilang wilayah kerjanya mengelola 29 kawasan konservasi seluas 327.294 hektar tersebar di dua provinsi. Dari situ, hanya ada 70 orang, lima pejabat struktural, 39 polisi hutan, lima PEH, empat penyuluh dan 24 fungsional umum. BKSDA kesulitan.

Pemerintah Malut usulkan penambahan personil BKSDA. Danny bilang, akan membantu menaikkan usulan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ishak Naser, Komisi II DPRD Maluku Utara mengatakan, persoalan konservasi di daerah ini sangat besar tetapi lembaga yang mengurusi kewenangan sangat terbatas.

Exit mobile version