Mongabay.co.id

Ini Kendala dan Tantangan Perhutanan Sosial di Sikka

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar sosialisasi Forest Programme V (FP-V) dan Forestry Support Programme kepada masyarakat Kabupaten Sikka di Maumere, NTT, atas kerjasama KLHK, Pemprov NTT dan Pemerintah Kabupaten Sikka, Selasa, (16/11/2021).

Koordinator program FP-V wilayah NTT, Timbul Batubara menjelaskan, dari 23 HKm di Sikka, pihaknya sudah melakukan penilaian pendahuluan dan 9 lokasi terpilih karena nilai tertinggi. Ada dua yang tidak aktif dan dua yang proses izinnya macet sehingga akan didorong di tahun 2022.

“Masyarakat jangan dijadikan obyek tetapi subyek pengelolaannya bahkan peningkatan kapasitas masyarakat harus didahulukan. Selain integrasi area, ada market change dan harus ada satu kesatuan,” ungkapnya.

Timbul menambahkan produk masyarakat di lahan perhutanan sosial harus bisa tembus ke pasar. Cara pengelolaan lahannya juga didampingi oleh tenaga ahli sehingga produktifitas hasil komoditi pertanian dan perkebunan meningkat.

Ia tegaskan, masyarakat di lahan perhutanan sosial dilarang menebang pohon dan harus dilakukan penanaman untuk penyerapan emisi karbon terkait isu climate change.

baca : Pemerintah Jerman Biayai Program Perhutanan Sosial di Indonesia. Apa yang Ingin Dicapai?

 

Remiyati, petani Kampung Lembur Hayang, Telukjambe, Karawang Jawa Barat, kembali menggarap lahann etelah beberapa tahun mengalami konflik agraria. Melalui Surat Keputusan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) petani setempat diberikan lahan garapan seluas 1.556 hektar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Potensi Kawasan Hutan

Dari 4 kabupaten di 4 provinsi yang mendapatkan program FP-V,untuk Kabupaten Sikka terdapat 23 izin Hkm dengan luas 12.262 Ha.

Luas hutan yang dikelola UPT KPH Sikka meliputi  35.258,82 Ha hutan lindung, 1.018,07 Ha hutan produksi serta 721,68 Ha hutan produksi terbatas. Totalnya mencapai 36.998 Ha atau 21% dari luas hutan sebanyak 173.200 Ha.

Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KHLK, Muhammad Said dalam pemaparannya menjelaskan tentang skema FP-V di 4 wilayah ini dan potensinya.

Said menyebutkan, potensi dalam kawasan hutan di Kabupaten Sikka berdasarkan studi kelayakan berupa jagung, padi lahan kering dan singkong. Selain itu, ada kemiri, kacang mete, bambu, kopi, kakao, cengkeh dan kopra. Sedangkan hewan yang bisa dipelihara terdiri dari babi, ayam, kambing dan angsa.

“Namun diperlukan pelatihan dalam pengembangan perencanaan, pengembangan kegiatan usaha dan mitigasi konflik,” sebutnya.

Untuk Kabupaten Sanggau, Kalbar, terdapat 10 izin HKm dengan luas 8.456 Ha, tiga izin HTR dengan luas 737 Ha, dua izin hutan adat dengan luas 2.840 Ha. Kawasan hutan yang dikelola KPH Sanggau Timur meliputi 42.806 Ha hutan lindung dan 297.684 Ha hutan produksi.

Untuk KPH Sanggau Barat 63.096 Ha hutan lindung, 137.698 Ha hutan produksi serta  35.789 Ha hutan produksi terbatas. Total kawasan hutannya  577.073 Ha atau 45% dari total luas hutan di wilayah ini sejumlah 1.285.800 Ha.

Potensi di kawasan perhutanan sosial meliputi perkebunan karet dan sawit. Sawah dan bercocok tanam lahan kering serta kebun pekarangan. “Tantangan yang dihadapi yakni rendahnya harga karet di tingkat petani dan ini menjadi salah satu perhatian khusus,” kata Said.

baca juga : Potret Perhutanan Sosial Indonesia Hari Ini

 

Hutan Lindung Mendawak yang berbatasan dengan areal konsesi PT WSL yang masih terjaga ekosistemnya di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan di Kabupaten Garut, Jabar, terdapat 9 izin IPHPS dengan luas 1.484 Ha dan 11 izin KULIN KK dengan 2.308 Ha.

KPH Garut wilayah hutannya meliputi 75.938,29 Ha hutan lindung dan 166,5 Ha Hutan produksi. Total kawasan hutannya 76.104 Ha atau 25% dari luas hutan sejumlah 306.500 Ha.

Potensi di perhutan sosial meliputi jati, pinus, karet, lada, kakao, kopi, cabai, kentang, kubis dan bawang merah.

“Paguyuban Tani Sunda Hejo merupakan salah satu koperasi yang  menjamin hasil panen kopi di kabupaten ini,” jelasnya.

Sedangkan di Madiun, Jatim, dengan luas hutan 101.100 Ha terdapat tiga  izin KULIN KK dengan  luas 2.149 Ha. Hutan yang dikelola KPH seluas 26.490 Ha hutan produksi, 4.729.7 hutan lindung dan  913.5 Ha fungsi kawasan lain

Total kawasan hutannya mencapai 32.132 Ha atau 32% dari luas hutan. Potensi yang bisa dikelola terdiri dari kayu jati dan kayu putih.

“KPH menjalankan prinsip pengelolaan hutan yang berkesinambungan (SFM) yang  berlandaskan pada skema the Forest Stewardship Council (FSC),” jelasnya.

baca juga : Perhutanan Sosial ASEAN dan Ketahanan Ekonomi Lokal di Masa Pandemi

 

Peta kawasan hutan yang dikelola Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT KPH) Kabupaten Sikka, NTT

 

Kendala Perhutanan Sosial

Kawasan hutan wilayah kelola Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT KPH) Kabupaten Sikka, NTT terdiri atas 8 kawasan hutan. Total luas hutan yang dikelola mencapai 37.622,43 Ha

Sementara luas daratan Kabupaten Sikka 173.191 Ha. Perbandingan luas kawasan hutan dengan luas kabupaten (daratan) 21,72 %.

Pada kesempatan yang sama, Kepala UPT KPH Sikka, Benediktus Herry Siswadi mengatakan terkait status kawasan hutan, masih adanya konflik tenurial, status hukum kawasan hutan masih berbenturan dengan hak ulayat atau tanah suku.

Selain itu, masih terjadi jual beli tanah dalam kawasan hutan dan pengukuhan sebagai upaya memperoleh kepastian hukum masih belum tuntas dilakukan.

“Banyak tapal batas yang rusak atau hilang sehingga dilakukan pemetaan ulang dan dipasang patok kembali,” ungkapnya.

Herry menerangkan, terkait penggunaan kawasan hutan, perambahan kawasan hutan untuk lahan pertanian dan pemukiman serta sarana dan prasarana umum lainnya masih relatif tinggi.

Menurutnya, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kehutanan tidak sesuai prosedur yang berlaku. Masih terjadi kebakaran hutan dan penebangan liar.

“Kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan hutan masih sangat rendah,” ucapnya.

perlu dibaca : Ulasan Tutup Tahun: Kala Perhutanan Sosial Tak Masuk Proyek Strategis Nasional

 

Anggota kelompok HKm Watu Ata ,Desa Pruda, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, NTT sedang membersihkan lahan untuk ditanami padi dan jagung. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Herry memaparkan, Perhutanan Sosial di Kabupaten Sikka berawal dari penetapan areal kerja berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI No.SK.388/Menhut-11/2010 tanggal 5 Juni 2010 tentang Penetapan Kawasan Hutan Sebagai Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan seluas 16.755 Ha.

Luas wilayahnya meliputi dua kawasan hutan yakni Egon Ilimedo dan Wukoh  Lewoloroh.

Dia menjelaskan aturan ini ditindaklanjuti dengan pemberian IUP HKm oleh Bupati Sikka untuk 18 kelompok sejak tahun 2012 sampai 2013 dengan total luas 9.970,832 Ha dan jumlah anggota sebanyak  2.832 Kepala Keluarga (KK).

Pasca peralihan kewenangan ditertibkan IUP HKm oleh Dirjen PSKL KLHK untuk 5 kelompok pada Desember 2017 dengan total luas keseluruhan 2.651 Ha dan jumlah anggota sebanyak 694 KK.

“Hingga 15 November 2021, sudah sudah mempunyai Ijin HKm ada 23 kelompok seluas 12.621,83 hektare dengan jumlah anggota 3.526 Kepala Keluarga (KK). Sedang dalam proses 423 hektare,” sebutnya.

Herry tambahkan, yang sudah Vertek (Oktober 2019) skema Hutan Desa (HD) ada 4 kelompok seluas 223 Ha. Selain itu ada yang sedang penyiapan dokumen yakni 1 kelompok dengan skema HD untuk lahan seluas 29 Ha, 3 kelompok skema HKm seluas 121 Ha dan 1 kelompok skema Kemitraan Kehutanan seluas 50 Ha.

 

Areal HKm Watu Ata di Desa Pruda, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, NTT yang telah ditanami tanaman perkebunan. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ia paparkan, kluster perijinan perhutanan sosial di Kabupaten Sikka terdiri atas 3 kelas. Kelas 1 terdiri atas 8 kelompok sudah memperoleh izin dan melaksanakan pengelolaan lembaga,kawasan dan usaha perhutanan sosial.

Kelas 2 ada 15 kelompok sudah memperoleh izin tapi belum melaksanakan pengelolaan lembaga, kawasan dan usaha perhutanan sosial. Kelas 3 ada 9 kelompok dalam proses pengajuan perizinan.

Herry sebutkan kendala pengembangan perhutanan sosial di Kabupaten Sikka selama ini yakni masih terdapat konflik tenurial di kawasan hutan serta kurangnya pemahaman berbagai pihak yang terlibat tentang perhutanan sosial.

Kendala lainnya, dukungan angggaran untuk perhutanan sosial belum memadai dan belum optimalnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi perhutanan sosial.

“Terbatasnya kegiatan fasilitasi pasca perizinan dan terbatasnya pendamping lapangan,” ungkapnya.

 

Exit mobile version